Jumaat, Disember 30

RISALAH AL QUSYAIRI BAB 39: TASAWWUF

Kemurnian (atau kesucian, shafa’) adalah sifat yang dikagumi dalam setiap bahasa, dan lawannya, yakni kekotoran, adalah sifat yang sangat tercela.

Abu Huzaifah menuturkan, "Pada suatu hari Rasulullah saw keluar menemui kami dengan wajah pucat, lalu beliau berkata, “Kesucian dunia telah lenyap, hanya tinggal kekotoran belaka. Hari ini, kematian adalah rahmat bagi setiap Muslim.”
Sebutan "sufi" telah menjadi sebutan umum ini bagi kelompok ini. Jadi, seseorang dikatakan seorang sufi dan kelompoknya disebut "Sufiyah." Orang yang berusaha menjadi seperti salah seorang mereka disebut mutashawwif, dan kelompoknya disebut mutashawifah.
Tidak ada etimologi ataupun analogi dengan kata lain dalam bahasa Arab yang dapat diturunkan dari sebutan sufi. Penafsiran yang paling masuk akal adalah bahawa sufi banyak serupa dengan nama diri. Ada orang-orang yang mengatakan bahawa kata sufi diambil dari kata suf (bulu). Jadi, tashawwuf digunakan dengan erti "memakai kain bulu," sebagaimana kata taqammus digunakan dengan erti "memakai baju" (qamis). Itu hanya kemungkinan saja. Tapi sesungguhnya kaum Sufi tidaklah dibezakan kerana memakai pakaian dari bulu. Orang-orang lain mengatakan bahawa kaum sufi berhubungan dengan [orang-orang yang duduk] di serambi (shuffah) di luar masjid Rasulullah saw. Tetapi kata shuffah tidaklah diturunkan dari shufi. Kelompok lain mengatakan bahawa kata shufi, berasal dari kata shafa', yang bererti "kemurnian." Penurunan kata shufi dari shafa' tidaklah mungkin ditinjau dari sudut bahasa.
Sebahagian orang mengatakan bahawa kata shufi berasal dafi shaff yang bererti "jajaran" atau "darjat" kerana kaum Sufi berada di darjat yang paling tinggi disebabkan kebaikan hati mereka. Ini memang benar dari segi erti. Namun kata shufi. tidak dapat menjadi bentuk fa'il (pelaku) dari kata shaff. Kesimpulannya, kelompok ini [kaum Sufi] begitu terkenal sehingga tidaklah perlu mencari analogi atau istilah untuk sebutan bagi mereka.
Setiap orang yang berbicara tentang erti tasawwuf dan siapa yang disebut sufi, adalah berbicara menurut pengalamannya sendiri.
Ketika Muhammad Al-Jurairi ditanya tentang tasawwuf, dia menjelaskan, "Tasawwuf bererti menyandang setiap akhlak yang mulia dan meninggalkan setiap akhlak yang tercela." Al-Junaid rnengatakan, "Tasawwuf ertinya Allah menjadikan engkau mati terhadap dirimu sendiri dan memberimu hidup dalam Diri-Nya." Al-Husain bin Manshur, ketika ditanya tentang sufi, menjawab, "Dia adalah manusia yang berwatak menyendiri. Tidak seorang pun yang menerimanya, dan dia pun juga tidak menerima siapa pun."
Abu Hamzah Al-Baghdadi berkata, "Tanda seorang sufi sejati adalah dia menjadi miskin setelah kaya, mengalami kehinaan setelah dihormati, dan dia menjadi tidak terkenal setelah mengalami kemasyhuran. Tanda seorang Sufi palsu adalah dia menjadi kaya setelah miskin, diberi penghormatan tinggi setelah mengalami kehinaan, dan dia menjadi masyhur setelah tidak terkenal."
Amr bin Utsman Al-Makki ditanya tentang tasawwuf, dan dia menegaskan, "Tasawwuf adalah si hamba berbuat sesuai dengan apa yang paling sesuai pada saat itu." Muhammad bin AIi Al-Qassab menyatakan, 'Tasawwuf terdiri dari akhlak mulia yang diperlihatkan oleh seorang yang mulia di tengah-tengah kumpulan orang mulia." Ketika ditanya tentang tasawwuf, Samnun berkata, "Tasawwuf bererti bahawa engkau tidak memiliki apa pun, tidak pula dimiliki oleh apa pun." Ruwaim berkata tentang tasawwuf, "Tasawwuf ertinya menyerahkan diri kepada Allah dalam setiap keadaan apa pun yang dikehendaki-Nya." Al-Junaid ditanya tentang tasawwuf, dan dia menjelaskan, ''Tasawwuf adalah bahawa engkau berada semata-mata bersama Tuhan tanpa sebarang ikatan [kepada yang lain]."
Ruwaim bin Ahmad Al-Baghdadi berkata, ''Tasawwuf didasarkan pada tiga sifat: memeluk kemiskinan dan bergantung hanya pada Tuhan, mencapai sifat murah hati dan memberi dengan mendahulukan kepentingan orang lain atas kepentingan diri sendiri, dan meninggalkan sikap menentang dan memilih."
Ma'ruf Al-Karkhi menjelaskan, "Tasawwuf ertinya berpegang pada hakekat-hakekat yang tersembunyi dan memutuskan harapan dari semua yang ada di tangan manusia."
Hamdun Al-Qassar berkata, "Bertemanlah dengan para Sufi, kerana mereka melihat alasan-alasan untuk memaafkan perbuatan-perbuatan yang tidak baik, dan mereka tidak terjejas oleh perbuatan-perbuatan baik, sedemikian rupa sehingga mereka akan menganggapmu besar kerana mengerjakannya." Ketika ditanya tentang para penganut tasawwuf, Al-Kharraz menjawab, ''Mereka adalah kelompok manusia yang mengalami kelapangan, yang mencampakkan segala milik mereka sampai mereka kehilangan segala-galanya. Kemudian, mereka diseru oleh rahsia-rahsia yang mengeliling mereka, “Bangkitlah, menangislah kerana kami."
Al- Junaid berkata, "Tasawwuf adalah perang tanpa damai.” Dia juga mengatakan, "Para sufi adalah anggota dari satu keluarga yang tidak dapat dimasuki oleh orang-orang selain mereka." Dia juga menjelaskan lagi "Tasawwuf adalah menyeru Tuhan bersama dengan penumpuan batin, kerohanian yang disertai pendengaran yang penuh, dan tindakan yang digabung dengan mengikuti Sunnah."'
Al-Junaid menyatakan, "Kaum sufi adalah seperti bumi: selalu bersikap baik terhadap keburukan yang dicampakkan kepadanya, namun tidak menumbuhkan apa pun selain kebaikan." Dia juga mengatakan "Seorang sufi adalah bagaikan bumi: baik orang saleh mahupun durhaka berjalan di atasnya. Dia juga seperti awan: memberikan keredupan kepada semua makhluk. Dia seperti air hujan: mengairi segala sesuatu."
Dia juga mengatakan, "Jika engkau melihat seorang sufi menaruh perhatian kepada penampilan lahiriahnya, maka ketahuilah bahawa wujud batinnya rosak." Sahl bin Abdullah berpendapat, "Sufi adalah orang yang tidak akan keberatan jika darahnya ditumpahkan dan harta bendanya diambil."
An-Nuri berkata, "Tanda seorang sufi adalah dia merasa rela apabila tidak punya apa-apa, dan memberi dengan berlimpah tatkala punya banyak." Al-Kattani menegaskan, "Tasawwuf adalah akhlak yang baik. Barangsiapa yang melebihimu dalam akhlak yang baik, bererti ia melebihimu dalam tasawwuf."
Abu Ali Ar-Rudzbari mengatakan, "Tasawwuf adalah tinggal di pintu sang kekasih sekalipun engkau diusir." Dia juga mengatakan, "Tasawwuf adalah sucinya berdekatan [dengan Allah] setelah kotornya berjauhan [dari-Nya].” Dikatakan, "Tasawwuf adalah tangan yang kosong dan hati yang suci." Asy-Syibli mengatakan, "Tasawwuf adalah duduk bersama Tuhan, tanpa peduli [pada yang lain]." Abu Manshur berkata, "Sufi adalah orang yang petunjuknya datang dari Allah SWT kerana sesungguhnya manusia menampakkan sesuatu dari Allah." Asy-Syibli mengatakan, "Sufi terpisah dari manusia dan bersatu dengan Tuhan sebagaimana difirmankan Allah kepada Musa,
وَٱصۡطَنَعۡتُكَ لِنَفۡسِى


Dan Aku telah memilihmu untuk Dri-Ku. (Ta-Ha: 41)
Dan memisahkannya dari yang lain. Kemudian Dia berfirman kepadanya,
وَلَمَّا جَآءَ مُوسَىٰ لِمِيقَـٰتِنَا وَكَلَّمَهُ ۥ رَبُّهُ ۥ قَالَ رَبِّ أَرِنِىٓ أَنظُرۡ إِلَيۡكَ‌ۚ قَالَ لَن تَرَٮٰنِى وَلَـٰكِنِ ٱنظُرۡ إِلَى ٱلۡجَبَلِ فَإِنِ ٱسۡتَقَرَّ مَڪَانَهُ ۥ فَسَوۡفَ تَرَٮٰنِى‌ۚ فَلَمَّا تَجَلَّىٰ رَبُّهُ ۥ لِلۡجَبَلِ جَعَلَهُ ۥ دَڪًّ۬ا وَخَرَّ مُوسَىٰ صَعِقً۬ا‌ۚ فَلَمَّآ أَفَاقَ قَالَ سُبۡحَـٰنَكَ تُبۡتُ إِلَيۡكَ وَأَنَا۟ أَوَّلُ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ 
Dan ketika Nabi Musa datang pada waktu yang Kami telah tentukan itu dan Tuhannya berkata-kata dengannya, maka Nabi Musa (merayu dengan) berkata: Wahai Tuhanku! Perlihatkanlah kepadaku (ZatMu Yang Maha Suci) supaya aku dapat melihatMu. Allah berfirman: Engkau tidak sekali-kali akan sanggup melihatKu, tetapi pandanglah ke gunung itu, maka kalau dia tetap berada di tempatnya, nescaya engkau akan dapat melihatKu. Setelah Tuhannya "Tajalla" (menzahirkan kebesaranNya) kepada gunung itu, (maka) "TajalliNya" menjadikan gunung itu hancur lebur dan Nabi Musa pun jatuh pengsan. Setelah dia sedar semula, berkatalah dia: Maha Suci Engkau (wahai Tuhanku), aku bertaubat kepadaMu dan akulah orang yang awal pertama beriman (pada zamanku) (Al-A'raf: 143)
Asy-Syibli juga mengatakan, "Para Sufi adalah anak-anak di pangkuan Tuhan," -"Tasawwuf adalah kilasan kilat yang menyala," dan "Tasawwuf terlindung dari menaruh perhatian kepada makhluk." Ruwaim menyatakan, “ Para Sufi akan tetap penuh dengan kebaikan selama mereka bertengkar satu dengan yang lain. Tapi segera setelah mereka berdamai, maka tidak ada lagi kebaikan pada mereka."
Al-Jurairi mengatakan, "Tasawwuf bererti menyucikan kesedaran yang hidup atas keadaan-keadaan diri sendiri dan berpegang pada perilaku yang benar,'' Al-Muzayyim menegaskan, "Tasawwuf adalah penyerahan kepada Tuhan." Abu Turrab An-Nakhsyabi menyatakan, "Seorang sufi tidaklah dikotori oleh sesuatu pun, [tapi sebaliknya] segala sesuatu dijadikan suci olehnya."
Dikatakan, "Pencarian tidaklah meletihkan sang sufi, dan hal-hal duniawi tidaklah mengganggunya." Ketika Dzun Nun Al-Mishri ditanya tentang kaum Sufi, dia menjawab, "Mereka adalah kelompok manusia yang mengutamakan Allah SWT di atas segala-galanya dan yang diutamakan oleh Allah di atas segala makhluk." Al-Wasiti mengatakan, "Mula- mula para Sufi diberi petunjuk-petunjuk yang jelas kemudian petunjuk-petunjuk itu menjadi hanya sekadar gerakan-gerakan saja, dan sekarang tidak ada sesuatu pun yang tinggal selain kesedihan.”
An-Nuri ditanya tentang sufi, dan dia menjawab "Sufi adalah manusia yang mendengar pendengaran dan yang mengutamakan sebab-sebab [keselamatan] [yang direstui]." Abu Nasr As-Sarraj menuturkan, "Aku bertanya kepada Al-Husri, "Siapakah, menurutmu, yang disebut sufi?" Dia menjawab, "Bumi tidak membawanya, dan langit pun tidak menaunginya." Dengan ucapannya ini Al-Husri merujuk kepada terhapusnya sang sufi. Dikatakan, "Sufi adalah orang yang manakala disogok dua keadaan atau dua akhlak yang baik, dia akan memilih yang lebih baik di antaranya."
Asy-Syibli ditanya, "Mengapa para sufi itu disebut sufi?" Dia menjawab, "Hal itu kerana adanya bekas-bekas diri yang tertinggal pada mereka. Jika bukan demikian halnya, nescaya tidak akan ada nama yang dilekatkan pada mereka." Ibn Al-Jalla' ditanya, "Siapakah yang disebut sufi?" Dia menjawab, "Kita tidak mengenal mereka dengan keadaan yang ada dalam ilmu pengetahuan. Tapi kita tahu bahawa mereka adalah orangorang yang miskin, sama sekali tidak memiliki kebanggaan duniawi. Mereka bersama Tuhan tanpa terikat pada suatu tempat, tetapi Allah SWT tidak menghalangnya dari mengenal semua tempat. Itulah yang disebut Sufi."
Salah seorang Sufi menyatakan, "Tasawwuf bererti kehilangan kemuliaan dan darjat serta menghitamnya muka di dunia dan di akhirat." Abu Ya'qub Al Mazabili menjelaskan, "Tasawwuf adalah keadaan di mana semua penghargaan manusia pudar" Abul Hasan As-Sirwani mengatakan, "Sufi adalah dia yang perhatiannya hanya pada keadaan-keadaan yang diilhamkan, bukan dengan lafaz-lafaz dzikir dan bacaan-bacaan."
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, "Perkara paling baik yang pernah dikatakan tentang masalah ini adalah, “Jalan [Sufi] ini hanya sesuai untuk orang-orang yang jiwanya telah digunakan Tuhan untuk menyapu kotoran binatang.” Kerana alasan ini Abu Ali pada suatu hari menyatakan, "Seandainya sang sufi tidak punya apa-apa lagi yang tersisa selain jiwanya, dan jiwanya itu ditawarkannya kepada anjing-anjing di pintu ini, nescaya tidak seekor pun yang akan menaruh perhatian kepadanya." Syeikh Abu Sahl As-Su'luki berkata, "Tasawwuf adalah berpaling dari keberatan-keberatan batin [terhadap apa yang ditetapkan Tuhan]."
Al-Husri berpendapat, "Sang sufi tidaklah ada setelah ketiadaannya, tidak pula dia tidak ada setelah keberadaannya." Ucapan ini tidak mudah difahami. Kata-kata "Dia tidaklah ada setelah ketiadaannya" bererti bahawa setelah cacat-cacatnya hilang, cacat-cacat itu tidaklah kembali lagi. Perkataan "Tidak pula dia tidak ada setelah keberadaannya" bererti bahawa dia sama sekali berhubung kepada Tuhan, dia tidak merosot kepada darjat ummat manusia pada umumnya, hingga kejadian-kejadian dunia tidaklah mempengaruhinya.
Dikatakan, "Sang sufi terhapus dalam kilasan yang diterimanya dari Allah." Dikatakan pula, "Sang sufi dibanjiri oleh limpahan Ilahi dan ditabiri oleh prilaku kehambaan." Juga dikatakan. “Sufi itu tidak berubah. Tapi seandainya dia berubah juga, dia tidak akan bersedih." Al-Kharraz menuturkan, "Aku sedang berada di masjid Qairuwan pada suatu hari Jumaat. Kulihat seorang laki-laki berjalan di antara saf-saf jamaah sambil berkata, “Berilah saya sedekah, kerana saya adalah seorang sufi, dan saya telah menjadi lemah.” Maka aku pun menawarkan sedikit sedekah kepadanya tapi dia lalu berkata kepadaku, “Tinggalkan saja aku; celaka engkau! Ini bukanlah yang kucari.” Dan dia tidak mahu menerima sedekah itu."

Tiada ulasan:

Catat Ulasan