Khamis, Mac 29

Rumi : Di Lembah Cinta

Divan-i Syamsi Tabriz Tengah malam, aku bertanya, siapa ini yang ada di dalam rumah qalb-ku? Dia menjawab, Inilah Aku, yang cemerlangnya membuat matahari dan rembulan jadi tertunduk malu. Dia bertanya, Mengapa rumah ini penuh dengan aneka macam lukisan? Aku menjawab, Ini semua adalah bayangan dari-Mu, wahai Engkau yang wajah-Mu membuat iri warga Chigil. [1] Dia bertanya, Dan apa ini: qalb yang berdarah-darah? Aku menjawab, Ini adalah gambaran diriku: hati terluka, dan kaki dalam lumpur. Kuikat leher dari jiwaku, dan menyeretnya kehadapan-Nya sebagai persembahan: Inilah dia yang telah berkali-kali memunggungi Cinta, kali ini jangalah Kau lepaskan. Dia serahkan satu ujung tali, ujung yang penuh kecurangan dan pengkhianatan, Peganglah ujung yang ini, Aku kan menghela dari ujung yang lain, mari berharap tali ini tidak putus. Kuraih tangan-Nya, Dia menepisku, seraya berkata, Lepaskan! Aku bertanya, Mengapa Engkau bersikap keras padaku? Dia menjawab, Ketahuilah, sikap keras-Ku demi tujuan yang baik bagimu, bukan karena niat-buruk atau jahat. Ini untuk memperingatkanmu, barangsiapa masuk kesini dan berkata, 'Inilah Aku!' maka Aku akan memukul dahinya; karena ini adalah Lembah Cinta, bukan kandang hewan. Salahuddiin, [2] sungguh keelokan wajah sejatimu indahnya bagaikan sosok Tamu di tengah malam itu; kawan-kawan gosok matamu, dan tataplah dia dengan pandangan qalb-mu, dengan bashirah-mu. Catatan: [1] Daerah Chigil di Turkesta terkenal dengan keelokan wajah warganya. [2] Salahuddiin Zarkub, salah satu sahabat Mawlana Rumi, belakangan berkembang menjadi sosok inspirasi ruhaniyah baginya; yaitu setelah Mawlana Rumi menerima bahwa Syamsuddin at-Tabriz yang menghilang dan lama dirindukannya, telah wafat. Menurut Sultan Valad, salah satu putra Rumi, tentang Salahuddin ini,Rumi menyatakan: Syamsuddin yang selalu kita bicarakan telah kembali pada kita! Mengapa kita masih tertidur? Bersalinlah kalian dengan baju baru, dia telah kembali menunjukkan dan memamerkan keindahannya. (Dari karya Franklin D. Lewis: Rumi, Past, Present, East and West, Oneworld Publications, 2000). Sumber: Rumi: Divan-i Syamsi Tabriz, ghazal 1335 Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh A.J. Arberry dalam Mystical Poems of Rumi 1, The University of Chicagi Press, 1968.

Rumi : Mengkaji Mukhlish dan Mukhlash

Persepsi inderawi menarik seseorang ke arah dunia, Cahaya-Nya melambungkan dia ke langit. Karena benda-benda terinderai itu letaknya di alam bawah. Cahaya Tuhan itu bagaikan laut, sedangkan yang kita inderai itu bagai setitik uapnya. Apa yang mengendarai indera tidaklah nampak, yang kita tangkap hanyalah akibat dan kata-kata. Cahaya inderawi, yang kasar dan berat, tersembunyi pada hitamnya mata. Penglihatanmu tak dapat menangkap cahaya inderawi, bagaimana mungkin ia dapat melihat cahaya kewalian? Cahaya inderawi yang kasar saja sudah tersembunyi, apalagi apa yang ada dibaliknya, yang lebih murni dan halus? Alam-dunia ini bagaikan jerami, dalam genggaman angin--yakni alam tak-nampak; ia hanya dapat menyerahkan diri, tunduk sepenuhnya pada alam yang tak-nampak. Kadang ia dibuat merunduk, kadang menengadah; kadang bersuara, kadang utuh, kadang terpecah. Kadang ia digerakkan ke kiri, kadang ke kanan; kadang darinya tumbuh duri, kadang menyembul mawar. Perhatikanlah, dibalik pena yang menulis, tersembunyi Tangan; di atas kuda yang berderap, ada Pengendara tak-nampak. Jika anak-panah melayang, mestilah ada Busurnya, walau tak-nampak; jika tampak diri-diri kita, mestilah ada Diri yang tersembunyi. Jangan patahkan anak-panah, karena ia berasal dari Sang Raja; tidaklah ia dilepaskan tanpa suatu maksud, ia berasal dari genggaman jemari Sang Tunggal, yang paling mengenal sasaran. Dia bersabda, "... dan bukanlah engkau yang melempar, ketika engkau melempar ..": [1] tindakan-Nya mendahului tindakan-tindakan kita. Patahkanlah kemarahanmu, bukannya anak-panah itu: tatapanmu yang penuh amarah menganggap susu sebagai darah. Ciumlah anak-panah itu, dan persembahkan kepada Sang Raja; anak-panah berpercik darah, darahmu sendiri. Apa yang tampil di alam nampak, tak-berdaya, terpenjara dan rapuh; apa yang tak-nampak begitu perkasa dan agung. Kita lah hewan buruan, yang ditunggu jebakan sangat menakutkan; kita bagai bola dalam permainan polo, menunggu pukulan tongkat, dan dimanakah Sang Pemukul? Dia menyobek, Dia pula yang merajut: dimanakah Sang Penjahit? Dia meruntuhkan, Dia yang membakar, dimanakah Sang Pemadam api? Dalam sekejap Dia dapat mengubah seorang suci menjadi kufur; sekejap pula Dia dapat mengubah penyembah berhala menjadi seorang zahid. Seorang mukhlish setiap saat dalam bahaya terjatuh kedalam jebakan, sampai dirinya sepenuhnya termurnikan. Karena dia masih berjalan, dan penyamun tak terhingga jumlahnya; yang berhasil selamat hanya mereka yang dijaga-Nya. Jika belum mati seseorang dari dirinya sendiri--bagaikan cermin kemilau, dia tak-lebih dari seorang yang mukhlish: jika dia belum berhasil menangkap burung, maka dia masih berburu. Tapi ketika seorang mukhlish diubah menjadi mukhlash, [2] maka dia telah sampai: dia menang dan selamat. Cermin tak berubah kembali menjadi besi, roti tak berubah lagi menjadi biji gandum. Cairan anggur tak berubah lagi jadi buah; buah matang tak kembali jadi mentah lagi. Matanglah, dan menjauhlah dari kemungkinan berubah jadi kembali buruk: jadilah Cahaya, bagai Burhan-i Muhaqqiq. [3] Catatan: [1] QS Al Anfaal [8]: 17. [2] "(Iblis) berkata: 'Maka bersama dengan ke-Kuasaan Engkau, akan kusesatkan mereka semuanya, kecuali hamba-hamba Engkau yang al-Mukhlashiin." (QS Shaad [38]: 82 - 83). [3] Penerjemah belum berhasil mengindentifikasi siapa gerangan tokoh yang Rumi gelari dengan 'Burhan-i Muhaqqiq' ini. Sumber: Rumi: Matsnavi II 1294 - 1319. Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson.
Rumi: Mengkaji Cahaya di atas Cahaya
Rumi: Matsnavi II 1248 - 1293 Sang Mustapha bertutur tentang permohonan Neraka, ketika dengan berendah-hati dia bermohon kepada pemilik iman sejati: "berlalulah dengan cepat, wahai Sang Raja, karena cahayamu telah memadamkan apiku." Jadi, terang cahaya al-Mukmin berarti padamnya api, karena tanpa tanpa tampilnya yang berlawanan tak mungkin sesuatu sirna. Pada Hari Perhitungan, api akan menjadi lawan cahaya, karena api bersumber dari Murka-Nya, sementara cahaya dari Rahmat-Nya. Jika engkau ingin tanggalkan api kejahatan, tujukan air Rahmat Ilahiah ke jantung api. Mereka yang bertakwa dengan haqq memancarkan aliran air rahmat itu: inti jiwa mereka yang bertakwa adalah Air Kehidupan. Tidak heran engkau yang berjiwa duniawi lari menjauh dari orang seperti mereka, karena engkau tersusun dari api, sementara mereka dari aliran air. Api melarikan diri dari air, karena takut nyala dan asapnya dipadamkan oleh air. Pikiran dan perasaanmu terbentuk dari api; pikiran dan perasaan orang suci tersusun dari cahaya yang indah. Ketika percikan cahaya orang suci menetes di atas api, terdengar suara berdesis, dan lidah api menjilat dengan murka. Ketika datang saat seperti itu, katakanlah, “mati dan musnahlah engkau,” agar padam neraka itu, yaitu api hawa-nafsumu. Sehingga ia tak membakar taman mawarmu, sehingga ia tak membakar keadilan dan hasanah-mu. Setelah berhasil engkau padamkan, barulah bibit yang engkau tanam dapat menghasilkan aneka buah, atau memekarkan bermacam bunga. Wahai Guru tuturmu melantur, mengapa kau tak kembali ke pokok perbincangan? Kita sedang memperlihatkan melanturnya dirimu, wahai pemendam iri-dengki; tak kau sadari, keledaimu pincang, sedangkan kota cahaya sangatlah jauh, alangkah lambat jalanmu. Telah sekian tahun kita habiskan; sudah hampir lewat masa tanam; tak ada hasil panenmu, kecuali wajahmu yang menghitam, dan amalmu yang berbau busuk? Cacing telah bersarang, di akar pohon dirimu: galilah dan bakarlah. Kuperingatkan lagi, wahai pencari, waktu telah hampir habis, hari telah senja, matahari jelang tenggelam. Hanya tersisa satu dua hari lagi, ketika masih tersisa kekuatan pada dirimu, kepakkan sayapmu dengan bersemangat. Manfaatkanlah baik-baik sisa benihmu, agar dari bibit-waktu yang sedikit itu dapat tumbuh pohon abadi. Sementara lampu hidupmu belum padam, kecilkanlah sumbunya, dan jagalah minyaknya. Jangan lagi engkau berkata, besok, besok; sudah terlalu banyak besokmu yang terlewat. Jangan sampai tiada hari tanam tersisa. Dengarkanlah nasehatku, jasmanimu itu yang mengikatmu, tanggalkan jasmanimu rentamu, jika kau inginkan pembaruan. Tutup mulutmu, dan bukalah buah berisikan emas: tanggalkan keakuanmu, perlihatkan kemurahanmu. Kemurahan berarti meninggalkan syahwat dan hawa-nafsu; orang yang tenggelam dalam hawa-nafsunya, sulit mentas lagi. Kemurahan adalah salah satu cabang cemara di al-Jannah: malang lah orang yang tak berpegangan pada cabang semacam itu. Menanggalkan hasratmu adalah pegangan yang paling kuat: cabang itu menarik jiwamu ke Langit. Karena itu jadilah pemurah, wahai penganut ad-Diin, sehingga terangkat engkau ke sumber cabang itu. Jadikan Yusuf yang cantik sebagai teladan keindahan jiwamu, perlakukan alam-dunia ini sebagai sumur, gunakan kemurahan dan keberserahan kepada karsa Rabb sebagai tali untuk mentas ke atas. Wahai peneladan keindahan Yusuf, tali telah diturunkan, raihlah dengan ke dua belah tanganmu; jangan kau lepaskan, karena hari telah larut. Berpujilah kepada-Nya ketika tali telah terjulur; itu dari semesta yang sangat nyata, tapi tak nampak. Semesta fenomenal ini, sebenarnya hanya wujud yang mungkin, tapi telah menjadi sangat nyata bagimu, sementara semesta yang sejati, semakin tersembunyi. Seperti debu bertaburan dipermainkan angin, bagaikan fatamorgana yang menghijab. Yang tampak ramai ini sejatinya hampa dan dangkal, bagai bebauan; yang tersembunyi itulah inti dan sumbernya. Debu hanya tanda dari adanya angin: angin itulah yang bernilai, dan tinggi derajatnya. Mata yang tersusun dari tanah-liat, hanya akan menatap debu; untuk melihat angin itu diperlukan penglihatan yang berbeda. Seekor kuda mengenal kuda yang lain, karena mereka sejenis: hanya penunggang kuda dapat mengenali sesama penunggang. Yang dimaksud dengan kuda itu adalah mata syahwatiah, sedangkah sang penunggang adalah Cahaya Ilahiah; tanpa sang penunggang, kuda itu sendiri tak berguna. Karena itu latihlah kudamu, agar dia sembuh dari kebiasaan buruknya; jika tidak, dia akan tertolak dari majelis Sang Raja. Penglihatan si kuda mendapati jalan, bersumberkan pandangan Sang Raja; tanpa pandangan Sang Raja penglihatan si kuda kehilangan panduan. Penglihatan si kuda akan selalu menolak panduan, kecuali ke arah makanan dan padang rumput. Cahaya Ilahiah itu yang seyogyanya jadi penentu arah bagi penglihatan si kuda, barulah jiwa dapat merindu Rabb. Tidaklah mungkin kuda tanpa pengendara dapat membaca tanda-tanda jalan. Hanya penunggang bermartabat Raja dapat mengenali jalan Sang Raja. Tempuhlah arah selaras dengan rasa-jati yang dikendarai oleh Cahaya, Cahaya itu pengendara terpercaya. Cahaya Ilahiah mengendarai cahaya rasa-jati, ini salah satu makna dari Cahaya di atas cahaya. Sumber: Rumi: Matsnavi II 1248 - 1293 Terjemahan ke Bahasa Inggris oleh Nicholson, ngrumi.blogspot.com