Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahawa Rasulullah saw bersabda, "Allah SWT berfirman, 'Barangsiapa yang menyakiti seorang wali, bererti telah memaklumkan perang terhadap-Ku melawan dia. Seorang hamba dapat mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan kewajipan-kewajipan yang telah Ku-perintahkan kepadanya. Dia sentiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku men'cintainya. Tidak pernah Aku merasa ragu-ragu melakukan sesuatu seperti keraguanku mencabut nyawa seorang hamba-Ku yang beriman, kerana dia tidak menyukai kematian dan Aku tidak suka menyakiti hatinya; tetapi maut itu adalah sesuatu yang tidak dapat dihindari."
Kata wali (orang suci) mempunyai dua erti. Yang pertama berasal dari pola fa'il (pelaku) dalam pengertian pasif. Ertinya, Allah SWT mengambil alih urusan-urusan (yatawalla) si wali sebagaimana telah difirmankan oleh-Nya,
إِنَّ وَلِـِّۧىَ ٱللَّهُ ٱلَّذِى نَزَّلَ ٱلۡكِتَـٰبَۖ وَهُوَ يَتَوَلَّى ٱلصَّـٰلِحِينَ
Sesungguhnya pelindungku ialah Allah yang telah menurunkan kitab (Al-Quran), dan Dialah jua Yang Menolong dan Memelihara orang-orang yang berbuat kebaikan (Al-A'raf: 196)
Dia tidak menugaskannya mengurusi dirinya sendiri hatta untuk sesaat pun. Allah-lah yang mengurusi dirinya. Erti yang kedua berasal dari pola fa'il dalam pengertian intensif aktif. Ini berlaku pada ordng yang secara aktif melaksanakan ibadah kepada Allah dan mematuhi-Nya sedemikian rupa hingga amal ibadahnya terus menerus bersusulan tanpa diselangi kemaksiatan.
Kedua erti ini mesti ada pada seorang wali untuk dapat dianggap sebagai wali sejati. Pelaksanaan hak-hak Tuhan atas dirinya mesti dilaksanakan sepenuhnya sementara perlindungan dan pemeliharaan Tuhan, di waktu senang mahupun susah, juga mesti ada.
Salah satu syarat seorang wali adalah bahawa Allah melindunginya [dari mengulangi dosa-dosa besar], seperti halnya salah satu syarat seorang nabi adalah bahawa dia terjaga [dari segala dosa]. Siapa pun yang berbuat dengan cara yang menyimpang hukum-hukum Allah bererti menipu diri sendiri.
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan, "Abu Yazid Al-Bisthami berangkat untuk mencari seseorang yang oleh orang.-orang lain digambarkan sebagai seorang wali. Ketika Abu Yazid sampai ke masjid orang tersebut, dia lalu duduk dan menunggu orang tersebut keluar, Orang itu pun keluar setelah meludah di dalam masjid. Melihat itu Abu Yazid pun pergi begitu saja tanpa memberi salam kepadanya, dan berkata, 'Inilah orang yang tidak dapat dipercaya untuk melaksanakan perilaku yang benar seperti dinyatakan dalam hukum Allah. Bagaimana mungkin dia dapat diandaikan untuk menjaga rahsia-rahsia Allah?"'
Terdapat ketidak sepakatan di kalangan kaum sufi mengenai apakah diperbolehkan bagi seseorang untuk menyedari bahawa dirinya adalah seorang wali atau bukan. Sebahagian mereka mengatakan, "Hal itu tidak dibolehkan. Sang wali [mesti] memandang dirinya dengan penuh hina. Jika suatu karamah terjadi terhadap dirinya, dia [harus] merasa takut kalau-kah hal itu merupakan istidraj (yakni pemanjaan kerana kebencian), dan dia [mesti] sentiasa merasa takut kalau-kalau keadaan akhirnya berlawanan dengn keadaannya sekarang.")
Para Sufi yang berpendapat seperti ini mengatakan bahawa sikap setia kepada kewalian sampai saat terakhir hidup sang wali adalah bahagian dari kewalian. Banyak cerita yang menuturkan tentang para syeikh sufi mengenai hal ini. Di antara mereka yang setuju dengan pendapat ini, dan pernah saya temui, adalah Imam Abu Bakr bin Furak; akan tetapi, sebahagian sufi mengatakan, “Boleh saja seorang wali mengetahui bahawa dirinya adalah wali, dan kesetiaan pada kewalian sampai akhir hayat sang wali bukanlah syarat untuk mencapai darjat kewalian di saat ini.
Ibrahim bin Adham pernah bertanya ke seseorang, "Apakah engkau ingin menjadi wali Allah?” Dia menjawab, 'Ya.' Ibrahim lalu berkata, “Kalau begitu, janganlah engkau menginginkan harta kekayaan duniawi ataupun ukhrawi. Kosongkanlah dirimu untuk Allah SWT. Palingkanlah mukamu kepada-Nya, agar Dia berpaling kepadamu dan menjadikanmu wali-Nya.”
Yahya bin Muadz menggambarkan para wali sebagai berikut, "Mereka itu adalah hamba-hamba berpakaian keakraban dengan Allah SWT setelah mengalami penderitaan, dan yang memperoleh istirehat setelah berjuang ketika mencapai tahap kewalian."
Abu Yazid mengatakan, wali-wali Allah adalah pengantin-pengantin-Nya, dan tidak seorang pun boleh melihat para pengantin selain mereka termasuk dalam keluarganya. Mereka ditabiri dalam ruang khusus di hadirat-Nya oleh keakraban. Tidak seorang pun yang melihat mereka, baik di dunia ini mahupun di akhirat."
Saya mendengar Abu Bakr As-Saidalani, yang adalah seorang saleh, menuturkan,
"Suatu ketika aku berulangkali memperbaiki batu nisan makam Abu Bakr At-Tamastani di pekuburan Al-Hira dan mengukir namanya pada nisan itu. Setiap kali aku selesai memperbaikinya, batu nisan itu digali dan dicuri orang, meskipun makam-makam yang lain tidak diganggu. Kerana bingung menghadapi hal ini, aku bertanya kepada Abu Ali Ad-Daqqaq, yang lalu menjelaskan kepadaku, "Syeikh itu lebih suka tidak dikenal orang di dunia ini, tapi engkau ingin memberinya batu nisan yang akan menghebahkan kenangan kepadanya. Allah SWT menentukan bahawa kuburannya tetap tersembunyi sebagaimana keadaan dirinya yang lebih disukainya waktu hidupnya."
Abu Utsman mengatakan, "Seorang wali mungkin termasyhur ke mana-mana, namun dia tidak akan tergoda oleh kemasyhurannya itu." An-Nasrabadhi berpendapat, "Para wali tidak mengajukan tuntutan; mereka [secara lahiriah] lemah dan tidak terkenal." Dia juga mengatakan, "Langkah terjauh para wali adalah langkah pertama para nabi."
Sahl bin Abdullah mengatakan, "Perbuatan para wali selamanya sesuai dengan hukum syariat." Yahya bin Muadz menyatakan, "Seorang wali berbuat sesuatu demi memperoleh persetujuan manusia, tidak pula dia munafik." Betapa sedikitnya sahabat-sahabat seseorang yang berwatak seperti itu! Abu Ali Al-Juzjani mengatakan, "Seorang wali berpindah-pindah dalam keadaannya namun tetap dalam penyaksian akan Allah SWT. Allah mengambil alih urusan-urusannya hingga, dengan pengarahan itu, cahaya datang kepadanya tanpa gangguan. Dia tidak tahu apa-apa tentang dirinya sendiri, dia mencari kenyamanan hanya pada Allah."
Abu Yazid mengabarkan, "Jumlah para wali yang sudah ditentukan berasal dari empat nama Allah. Masing-masing kelompok wali berbuat sesuai dengan salah satu nama tersebut: Al-Awwal (Yang Terdahulu), Al-Akhir (Yang Akhir), Azh-Zhahir (Yang Lahir) dan Al-Bathin (Yang Bathin). Manakala seorang wali berlalu dari nama-nama tersebut setelah diliputi dengannya, dia disempurnakan. Wali yang keadaannya berasal dari nama Allah Azh-Zhahir akan menyaksikan cahaya Ilahi [yang bersinar] di dalam batin tiap-tiap sesuatu. Wali yang keadaannya berasal dari Al-Awwal disibukkan dengan masa lampau. Wali yang namanya berasal dari Al-Akhir berhubungan dengan masa yang akan datang. Masing-masing diberi penzahiran nama-nama tersebut menurut kemampuannya, kecuali [wali] yang telah dipilih oleh Allah dan dipelihara untuk Diri-Nya"
Kata-kata Abu Yazid ini menunjukkan kelompok terpilih di antara hamba-hamba Allah darjatnya lebih tinggi dari bahagian-bahagian ini, tidak hanya sibuk dengan masa depan, ataupun dipengaruhi oleh apa pun yang menimpa diri mereka. Demikian keadaan mereka yang telah mencapai hakekat; mereka terhapus dari sifat-sifat makhluk.
Yahya bin Muadz mengatakan, "Seorang wali adalah tanaman harum yang ditanam Allah di bumi. Kaum Shadiqin (orang-orang yang menetapi kebenaran) menghirup baunya hingga dia merasa rindu kepada Tuhannya. Kemudian mereka meningkatkan ibadah mereka sesuai dengan sifat-sifat mereka yang berbeza.
Al-Wasiti ditanya, "Bagaimana seorang wali dibesarkan dalam kewaliannya?" Dia menjawab', “Pada awalnya dia dibesarkan dengan ibadahnya. Untuk mencapai kematangannya, dia dibesarkan dengan tindakan Allah yang menabirinya dalam luthf (kasih-sayang-Nya). Kemudian Dia mengembalikannya ke dalam sifat-sifatnya yang terdahulu; dan akhirnya Dia menjadikannya menikmati hasilnya dengan diberi rezeki oleh-Nya setiap waktu."
Dikatakan, "Ada tiga –tanda wali: dia sibuk dengan Allah, dia lari kepada Allah dan dia memberi perhatian hanya dengan Allah”.
Al-Kharraz berkata' "Jika Allah berkehendak mengangkat salah seorang hamba-Nya menjadi wali, maka Dia akan membuka baginya pintu gerbang dzikir kepada-Nya. Jika dia telah merasakan manisnya dzikir, maka Dia akan membukakan baginya pintu kedekatan. Kemudian diangkat-Nya dia ke kelompok yang akrab dengan-Nya. Kemudian ditempatkan-Nya dia di atas tahta tauhid. Kemudian diangkat-Nya tabir yang menghalanginya dan dibimbing-Nya dia ke Rumah Kesatuan dan mengungkapkan baginya kecemerlangan dan keagungan llahi, maka tidak ada satu pun dari dirinya yang akan tertinggal. Pada saat itulah si hamba untuk sesaat sama sekali lenyap. Setelah itu dia akan berada di dalam perlindungan Allah, bebas dari keinginan nafsu apa pun mengenai
dirinya sendiri.”
AbuTurrabAn.Nakhsyabi menyatakan, “Manakala hati seseorang menjadi terbiasa berpaling dari Tuhan, maka kejadian itu diketahui oleh para wali Allah SWT'"
Dikatakan, "Salah satu pengenalan seorang wali adalah bahawa dia tidak punya rasa takut, sebab takut adalah mengambarkan suatu kejadian yang tidak menyenangkan yang mungkin terjadi atau menduga-duga bahawa sesuatu yang dicintai akan lenyap di masa akan datang. Sang wali hanya memberi perhatian pada saat kini. Dia tidak punya masa mendatang yang harus ditakutinya."
Sebagaimana halnya dia tidak punya rasa takut, maka sang wali juga tidak punya harapan, sebab harapan adalah menantikan terjadinya sesuatu yang baik atau hilangnya sesuatu yang buruk. Hal itu juga berada di luar lingkup masa kini. Sang wali juga tidak pernah merasa sedih, sebab sedih adalah penderitaan dalam hati. Bagaimana mungkin orang yang telah merasakan agungnya ketenangan hati dan nikmatnya berada di dalam harmoni dengan hukum Ilahi, merasa sedih? Allah SWT berfirman,
أَلَآ إِنَّ أَوۡلِيَآءَ ٱللَّهِ لَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ
Ketahuilah! Sesungguhnya wali-wali Allah, tidak ada kebimbangan (dari sesuatu yang tidak baik) terhadap mereka dan mereka pula tidak akan berdukacita. (Yunus: 62)
Tiada ulasan:
Catat Ulasan