نَّحۡنُ نَقُصُّ عَلَيۡكَ نَبَأَهُم بِٱلۡحَقِّۚ إِنَّہُمۡ فِتۡيَةٌ ءَامَنُواْ بِرَبِّهِمۡ وَزِدۡنَـٰهُمۡ هُدً۬ى
Kami ceritakan kepadamu (wahai Muhammad) perihal mereka dengan benar; sesungguhnya mereka itu orang-orang muda yang beriman kepada Tuhan mereka dan kami tambahi mereka dengan hidayat petunjuk. (Al-Kahf: 13)
Rasulullah saw menyatakan, “Allah SWT memberikan perhatian kepada keperluan seorang hamba selama hamba itu memperhatikan keperluan saudaranya.” [Hadith yang sama juga diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit].
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq mengatakan, “Kesempurnaan sifat futuwwah hanya ada pada Rasulullah saw saja, sebab pada Hari Kebangkitan semua orang akan mengatakan, “Diriku, diriku,” sedangkan Rasulullah saw mengatakan, “Ummatku, ummatku.”
Al-Fadhl mengatakan, “Futuwwah beerti memafkan kesalahan sesama manusia.” An-Nasrabadhi menyatakan, “Ashabul Kahfi disebut fityah kerana mereka beriman kepada Allah tanpa perantara.” Dikatakan, “Manusia yang futuwwah adalah orang yang berani menghancurkan berhala, sebab Allah SWT berfirman,
فَجَعَلَهُمۡ جُذَٲذًا إِلَّا ڪَبِيرً۬ا لَّهُمۡ لَعَلَّهُمۡ إِلَيۡهِ يَرۡجِعُونَ
قَالُواْ مَن فَعَلَ هَـٰذَا بِـَٔالِهَتِنَآ إِنَّهُ ۥ لَمِنَ ٱلظَّـٰلِمِينَ
قَالُواْ سَمِعۡنَا فَتً۬ى يَذۡكُرُهُمۡ يُقَالُ لَهُ ۥۤ إِبۡرَٲهِيمُ
Lalu dia memecahkan semuanya berketul-ketul, kecuali sebuah berhala mereka yang besar (dibiarkannya), supaya mereka kembali kepadanya. (58) (Setelah melihat kejadian itu) mereka bertanya: Siapakah yang melakukan perbuatan yang demikian terhadap tuhan-tuhan kami? Sesungguhnya adalah dia dari orang-orang yang zalim. (59) (Setengah dari) mereka berkata: Kami ada mendengar seorang anak muda bernama Ibrahim, mencacinya. (Al-Anbiya': 60)
Berhala setiap manusia adalah hawa nafsunya sendiri. Jadi orang yang melawan hawa nafsunya sendiri adalah orang yang benar-benar futuwwah.”
Al-Hariths Al-Muhasibi menyatakan, “Futuwwah menuntut agar engkau berlaku adil kepada orang lain tapi tidak menuntut keadilan dari mereka.”
Ketika Junaid ditanya tentang futuwwah, dia menjawab, “Futuwwah ertinya engkau tidak membenci orang miskin tapi juga tidak menghindari orang kaya.” An-Nasrabadhi berpendapat, “Kemuliaan (muruwwah) adalah bahagian dari futuwwah. Ia beerti berpaling dari dunia ini dan juga akhirat, dengan bangga menjauhi keduanya.” Putera Ahmad bin Hanbal menuturkan, “Ayahku ditanya, ‘Apakah futuwwah itu?’ dan dia menjawab, ‘Futuwwah ertinya meninggalkan apa yang engkau inginkan demi apa yang engkau takuti.”
Ditanyakan kepada salah seorang sufi, “Apakah futuwwah itu?” Dia menjawab, “Futuwwah ertinya engkau tidak peduli apakah tamu yang engkau hadapi adalah seorang wali ataukah seorang kafir.”
Junaid mengatakan, “Futuwwah ertinya menahan diri dari menyakiti orang dan menawarkan kemurahan hati.” Sahl bin Abdullah menjelaskan, “Futuwwah ertinya mengikuti sunnah.” Dikatakan, “Futuwwah ertinya setia dan tidak melanggar batas yang telah ditetapkan oleh Allah.”
Dikatakan juga, “ Futuwwah adalah perbuatan bijak yang engkau lakukan tanpa melihat dirimu dalam perbuatan itu.” Dikatakan, “Futuwwah ertinya engkau tidak berpaling jika seseorang yang memerlukan datang mendekatimu.” ; “Futuwwah ertinya engkau tidak bersembunyi dari orang yang mencarimu.” ; “Futuwwah ertinya engkau tidak menumpuk-numpuk harta kekayaanmu dan tidak mencari-cari alasan” [jika diminta bersedekah]; “Futuwwah ertinya bersikap murah hati dengan apa saja yang dianugerahkan kepadamu, dan menyembunyikan kesulitan-kesulitanmu.”;
“Futuwwah ertinya bahawa jika engkau mengundang sepuluh orang tamu, maka engkau tidak akan terpengaruh jika yang datang sembilan ataupun sebelas orang;” “Futuwwah ertinya tidak memberikan perbezaan [untuk satu hal atas hal lainnya].”
Dikatakan bahawa seorang laki-laki kahwin dengan seorang perempuan yang terkena penyakit cacar persis sebelum malam perkahwinan tiba. Laki-laki itu berseru kepada orang banyak, “Mataku terkena penyakit. Aku telah menjadi buta!” Pengantin perempuan itu pun lalu dibawa ke rumah lelaki tersebut. Setelah dua puluh tahun kemudian, wanita itu meninggal. Laki-laki itu mendadak membuka matanya. Ketika seseorang bertanya kepadanya apa yang telah terjadi, dia menjelaskan, “Aku sesungguhnya tidak pernah buta. Aku berpura-pura buta agar isteriku tidak merasa malu [tentang kulitnya yang terkena cacar]. Seseorang telah berkata kepadanya, “Engkau telah mengatasi semua orang dalam hal futuwwah!”
Salah seorang sahabat kami menyatakan, “Tidak ada tempat dalam futuwwah bagi tindakan mengambil keuntungan dari sahabat sendiri.” Dia salah seorang pemuda bernama Ahmad bin Sahl si pedagang, dan saya membeli sehelai jubah linen darinya. Dia hanya memintaku membayar harga modal yang dikeluarkannya untuk membeli jubah itu. Aku bertanya kepadanya, “Apakah engkau tidak mahu mengambil sedikit keuntungan?” Dia menjawab, “Tentang harga jubah itu, aku mahu menerima pembayaranmu tapi aku tidak mahu membebankan kewajipan apa pun terhadapmu. Aku tidak akan mengambil keuntungan sebab tidak ada tempat dalam futuwwah bagi tindakan mengambil keuntungan dari sahabat sendiri.”
Seorang laki-laki yang mengaku berfutuwwah datang dari Nisyapur ke Nasa, di mana seseorang mengundangnya makan bersama sekelompok orang yang memiliki sifat futuwwah. Ketika mereka selesai makan, seorang budak perempuan datang untuk mencurahkan air untuk membasuh tangan mereka. Laki-laki dari isyapur itu menarik tangannya dan berkata, “Berdasarkan aturan futuwwah, tidaklah diperbolehkan seorang gadis mencurah air untuk laki-laki.” Tetapi seorang lainnya yang hadir di situ berkata, “Aku telah datang ke sini selama bertahun-tahun tanpa mengetahu apakah laki-laki atau wanita yang mencurahkan air untuk membasuh tangan kita.”
Mansur Al-Maghribi menuturkan, “Seseorang ingin menguji Nuh Al-Ayyar An-Nisaburi. Dia menjual kepada Nuh seorang budak perempuan yang diberi berpakaian laki-laki, dengan pernyataan tersirat bahawa budak itu adalah budak laki-laki. Budak itu mempunyai wajah cantik dan bersinar cemerlang. Nuh membelinya dengan fikiran bahawa budak itu laki-laki. Budak itu tinggal bersamanya selama berbulan-bulan. Seseorang bertanya kepadanya, “Apakah Nuh tahu bahawa engkau adalah seorang gadis?” Dia menjawab, “Tidak, dia belum pernah menyentuhku, kerana mengira bahawa aku laki-laki.”
Dikatakan, seorang laki-lakiyang berfutuwwah diperintahkan menyerahkan seorang budak laki-laki miliknya kepada sultan, tapi dia menolak. Dia lalu dihukum dera seribu kali, tapi masih tetap menolak menyerahkan budaknya. Malam itu udara sangat dingin dan dia terkena junub. Setelah bangun, dia pun segera mandi dengan air yang sangat dingin. Seseorang mengatakan kepadanya, “Engkau mempertaruhkan nyawamu dengan mandi air sedingin ini.” Dia menjawab, “Aku malu kepada Allah SWT kerana aku rela menderita seribu pukulan cambuk demi seorang makhluk, tapi tidak bersedia menahan dinginnya mandi demi kerana-Nya.”
Sekelompok pemuda futuwwah pergi mengunjungi seorang laki-laki yang terkenal kerana futuwwahnya. Laki-laki itu menyuruh pelayannya membawa tilam makanan. Pelayan itu tidak mengerjakan perintahnya, maka orang itu lalu memanggilnya sekali lagi dan sekali lagi. Para tamu saling berpandangan dan berkata, “Ini tidak benar. Dalam aturan futuwwah, seseorang tidak boleh mengerjakan pelayan yang berulang kali menolak membentangkan tilam makan.” Laki-laki itu bertanya kepada pelayannya itu, “Mengapa begitu lama baru engkau mendatangkan tilam itu?” Si pelayan menjawab, “Ada seekor semut pada tilam itu. Tidaklah patut, menurut futuwwah, membentangkan tilam untuk para tamu yang satria manakala ada semut di atasnya; sebaliknya tidaklah benar pula mencampakkan semut dari kain tilam itu. Jadi, saya menunggu sampai semut itu merayap pergi sendiri.” Para tamu berkata kepada pelayan itu, “Engkau telah menunjukkan pemahaman yang tinggi. Engkau adalah pelayan yang patut melayani para satria.”
Suatu ketika ada seorang jemaah haji yang bermalam di Madinah. Dia mengira pundi-pundinya dicuri orang. Dia melihat Jaafar Ash-Shadiq dan memegang tangannya serta bertanya, “Apakah engkau yang mencuri pundi-pundiku?” Jaafar bertanya, “Apakah isi pundi-pundimu itu?” Laki-laki itu menjawab, “Wang sebanyak seribu dinar!” Jaafar lalu membawa laki-laki itu ke rumahnya dan memberinya wang seribu dinar. Laki-laki itu kembali ke tempatnya menginap, masuk ke kamarnya dan menemukan pundit-pundinya yang dikiranya hilang tadi. Maka dia pun lalu pergi menemui Jaafar Ash-Shadiq dan meminta maaf kepadanya serta mengembalikan wangnya. Tapi Jaafar menolak mengambil wangnya kembali dan berkata, “Saya tidak pernah menuntut kembali barang yang telah saya berikan.” Orang itu bertanya kepada seseorang yang ada di tempat itu, “Siapa laki-laki itu?” Yang ditanya menjawab, “Jaafar Ash-Shadiq.”
Diriwayatkan bahawa Syaqiq Al-Balkhi bertanya kepada Jaafar bin Muhammad (Ash-Shadiq) tentang futuwwah. Kata Jaafar, “Apa pendapatmu?” Syaqiq menjawab, “[Futuwwah adalah] jika diberi sesuatu, kita bersyukur dan jika tidak diberi, kita bersabar.” Jaafar berkata, “Anjing-anjing kita di Madinah juga begitu.”
Syaqiq bertanya, “Wahai cucu puteri Rasulullah, kalau begitu apakah futuwwah itu dalam pandangan anda?” Jaafar menjawab, “[Futuwwah adalah] jika kita diberi sesuatu, kita berikan kepada orang lain, dan jika tidak diberi kita bersyukur.”
Ketahuilah bahawa di antara tuntutan-tuntutan futuwwah itu adalah menyembunyikan cacat sahabatnya , khususnya cacat yang membuat musuhnya bersenang hati. Saya mendengar Abu Abdulrahman As-Sulami berulangkali mengatakan kepada An-Nasrabadhi, “ Ali si penyanyi minum-minum di malam hari dan siang harinya dia menghadiri pengajian anda.” An-Nasrabadhi tidak mempedulikan pengaduan ini sampai suatu hari beliau berjalan bersama orang yang mengadukan cacat Ali itu. Mereka mendapati Ali rebah di tanah dalam keadaan jelas mabuk. An-Nasrabadhi mulai membasuh mulut Ali. Orang yang menyertai beliau berkata, “Berapa kali saya telah menyatakan kepada syeikh tentang hal ini tanpa syeikh mahu mendengarkannya? Inilah Ali dalam keadaan yang telah saya ceritakan itu!” An-Nasrabadhi memandang kepadanya dan berkata, “Angkatlah dia di atas bahumu dan bawalah dia ke rumahnya.”
Al-Murta’isy mengabarkan, “Kami sekelompok bersama Abu hafs pergi menjenguk seorang yang sakit yang biasa kami jenguk. Abu Hafs bertanya kepada si sakit, “Apakah engkau ingin sembuh?” Dia menjawab, “Ya.” Maka Abu Hafs menyuruh para sahabatnya, “Tanggunglah bebannya.” Maka si sakit lalu bangkit dan berjalan bersama kami, dan kami semua lalu jatuh sakit dan dikunjungi orang-orang lain.”
Tiada ulasan:
Catat Ulasan