Sabtu, Disember 24

RISALAH AL QUSYAIRI BAB 19: YAKIN

Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud bahawa Rasulullah saw dikhabarkan telah berkata, “Janganlah engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun dengan cara membuat murka Allah, janganlah berterima kasih kepada siapa pun di atas anugerah Allah SW, dan janganlah mencari kesalahan siapa pun atas anugerah yang tidak diberikan Allah SWT kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah dibawa kepadamu dengan kerakusan orang yang rakus, tidak pula boleh ditolak darimu oleh kebencian orang yang membenci. Dengan keadilan-Nya, Allah SWT telah menempatkan ketenangan dan kesenangan hati itu dalam rasa puas dan yakin, dan menempatkan penderitaan serta kesedihan itu dalam buruk sangka dan marah.”
Abu Abdullah Al-Antaki menyatakan, “ [Keuntungan] terkecil dari yaqin itu adalah bahawa manakala ia memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan mengusir setiap keraguan dari dalamnya; dan dengan yaqin hati menjadi penuh dengan rasa syukur dan taqwa kepada Allah.”
Ja’far Al-Hadad menuturkan “Abu Turab An-Nakhsyabi melihatku ketika aku sedang berada di padang pasir, duduk di dekat mata air sebuah mata air. Aku sudah 16 hari lamanya tidak makan atau minum. Dia bertanya kepadaku, “Mengapa kau duduk di sini?” Aku menjawab, “Aku terumbang-ambing di antara pengetahuan (ilmu) dan yaqin, menunggu mana yang akan menang agar aku boleh bertindak sesuai dengannya. Jika pengetahuan menguasai diriku, aku akan minum; jika keyakinan yang menang, aku anak terus berjalan.” Dia berkata kepadaku, “Darjat yang tinggi sedang menunggumu.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan, “Keyakinan adalah cabang iman dan hanya berada di bawah tashdiq (penegasan kebenaran iman). Salah seorang sufi mengatakan, “Keyakinan adalah pengetahuan yang dipercayakan kepada hati untuk dijaga.” Orang yang mengucapkan perkataan ini menunjukkan bahawa keyakinan bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan usaha, [melainkan suatu anugerah].
Abu Bakr bin Thahir menyatakan, “Pengetahuan datang melalui penentangan terhadap keraguan, tetapi dalam kayikinan tidak ada keraguan sama sekali.” Pengetahuan seorang sufi pada awalnya bersifat pemerolehan dengan usaha, dan pada akhirnya bersifat ilham.
Salah seorang sufi mengatakan, “Darjat (maqam) pertama adalah pengetahuan, kemudian keyakinan, lalu penyaksian adanya Tuhan, lalu keikhlasan iman, lalu penyaksian (syahadah), kemudian kepatuhan. Dan iman adalah istilah yang mencakup semua ini.” Imam Abu Bakr bin Furak menyentuh pengertian ini ketika saya mendengar beliau mengatakan, “Dzikir dengan lidah adalah sesuatu yang sangat baik yang dengannya hati menjadi penuh.”
Sahl bin Abdullah berpendapat, “Adalah haram bagi hati untuk mencium bau keyakinan yang di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang selain Tuhan.”
Dzun Nun juga mengatakan, “Ada 3 tanda keyakinan, “mengurangi pergaulan dengan manusia, mengurangi pujian kepada mereka demi memperoleh hadiah, dan menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka jika mereka tidak memberi [hadiah]. Selanjutnya ada 3 tanda keyakinan atas keyakinan: melihat kepada Allah SWT dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam setiap persoalan, dan menoleh kepada-Nya untuk memohon bantuan dalam setiap keadaan.”
Ibn Atha’ menyatakan, “Setaraf-darjat di mana mereka mencapai taqwa kepada Allah, setaraf itu pula mereka memperoleh keyakinan.” Landasan taqwa kepada Allah adalah penentangan terhadap hal-hal yang haram, dan menentang hal-hal yang haram beerti menentang diri sendiri. Jadi, sejauh darjat pemisahan mereka dari diri sendiri, sejauh itulah batas yang mereka capai dalam hal keyakinan.”
Salah seorang sufi mengatakan, “Keyainan adalah terungkapnya tabir, dan terungkapnya tabir terjadi dengan 3 cara: melalui pengetahuan, melalui pengungkapan kekuasaan [Allah], dan melalui kebenaran-kebenaran iman.” Ketahuilah bahawa dalam bahasa sufi, penyingkapa tabir terdiri dari pengungkapan sesuatu ke dalam hati manakala hati dikuasai oleh dzikir kepada-Nya tanpa adanya keraguan sedikir pun. Terkadang istilah penyingkapan (kasyaf) yang mereka maksud adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang dilihat di antara tidur dan bangn. Seringkali mereka menyebut keadaan ini sebagai ketabahan.
An-Nuri mengatakan, “Keyakinan adalah menyaksikan.” Maksudnya bahawa di dalam menyaksikan terdapat keyakinan tanpa keraguan, sebab tidak seorang pun yang menyaksikan Dia SWT jika dia tidak percaya pada yang datang dari-Nya.
Abu Bakr Al-Warraq berpendapat, “Keyakinan adalah landasan hati, dan disempurnakan dengannya iman. Allah SWT diketahui dengan keyakinan, dan akal memahami apa yang datang dari Allah.”
Al-Junaid menyatakan, “Berkat keyakinan, beberapa orang manusia boleh berjalan di atas air, namun ada dikalangan mereka mati kehausan, boleh jadi mereka melampaui dalam hal keyakinan. “
Ibrahim Al-Khawwas menuturkan, “Di padang pasir, aku bertemu dengan seorang pemuda yang tampan bagaikan sepotong perak, dan aku bertanya kepadanya, “Mahu kemana kau, wahai anak muda?” Dia menjawab, “Ke Mekah”. Aku bertanya lagi, “Tanpa bekal, unta dan wang?”Dia menjawab, “Wahai orang yang lemah keyakinan, apalah Dia yang mampu memelihara langit dan dan bumi tidak mampu menyampaikan aku ke Mekah tanpa bekal material?” Ibrahim selanjutnya menuturkan, “Ketika aku tiba di Mekah, kulihat pemuda itu sedang melakukan tawaf sambil berkata,
Wahai mataku yang sentiasa menangis,
Wahai jiwaku yang begitu berduka,
Janganlah engkau mengharapkan siapa pun,
Selain Dia Yang Maha Agung dan Abadi.
Dan ketika dia melihatku, dia bertanya, “Wahai orang tua, apakah setelah ini engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu.”
An-Nahrajuri menyatakan, “Jika seorang hamba menyempurnakan pengertian batiniahnya tentang yakin, maka cubaan akan menjadi rahmat baginya, dan kenyamanan menjadi malapetaka.”
Abu Bakr Al-Warraq menyatakan, “Ada 3 aspek keyakinan, keyakinan akan pengetahuan, keyakinan akan bukti dan keyakinan penyaksian.”
Abu Sa’id Al-Kharraz menjelaskan, “Pengetahuan adalah apa yang membuatmu dapat bertindak, dan keyakinan adalah apa yang mendorongmu bertindak.”
Ibrahim Al-Khawwas berpendapat, “Pernah aku berupaya mencari nafkah yang memungkinkan aku memperoleh makanan yang halal. Aku menjadi nelayan. Pada suatu hari seekor ikan berenang memasuki jaringku, dan aku mengambilnya lalu melemparkan kembali jalaku ke air. Kemudian masuklah ikan lain ke dalamnya, dan sekali lagi aku melemparkan jalaku ke air, lalu menunggu. Kemudian terdengar sebuah suara ghaib berseru, “Apakah engkau tidak dapat mencari penghidupan selain dengan cara menangkap mereka dengan berdzikir kepada Kami, kemudian membunuhnya?” Mendengar itu, aku lalu mengoyak-ngoyak jalaku dan berhenti mencari ikan.”

Tiada ulasan:

Catat Ulasan