Ahad, September 29

WEJANGAN SUFI SYEIKH AHMAD AR-RIFA’Y (5) : DIBALIK KEAJAIBAN KASIH SAYANG

Syeikh Ahmad ar-Rifa’y (PENGASAS TAREKAT RIFAIYYAH)


Rasulullah Saw bersabda: “Orang yang memiliki kasih sayang, bakal disayang oleh Allah Yang Maha Penyayang-Yang Maha Memberi Berkah dan Maha Luhur, karena itu berikan
kasih sayang kepada siapa pun di muka bumi, maka yang di langit, akan menyayangimu.” (Hr. Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi)

Dalam hadits yang mulia ini ada keajaiban yang luar biasa dari ilmu-ilmu dan rahasia Allah, dimana Al-Musthofa Nabi Muhammad saw, memerintahkan adanya cinta dan kasih sayang terhadap semua makhluk di muka bumi, agar kasih sayang dari malaikat luhur di langit melimpah pula.

Karena langit adalah jalan bagi turunnya Kasih Sayang Ilahi, dan tempat sumber limpahan-limpahan alam cinta dan kasih sayang, sekaligus tempat hunian para malaikat yang dijadikan sebagai perantara rahasia-rahasia antara DiriNya dan para makhlukNya.

Bila Allah melimpahkan rahmat dalam rahasia malaikat rizqi, maka Allah memberikan pertolongan kepada pencari rizqi.
Bila Allah melimpahkan rahmat kepada rahasia pencatat amal, maka Allah memberikan kelupaan hamba terhadap keburukan-keburukan.
Bila Allah melimpahkan pada rahasia malaikat Raqib, maka Allah memberikan pertolongan dan kasih sayang.

Kasih sayang adalah perilaku jiwa kaum ‘arifin dan sekaligus menjadi mi’raj qalbunya menuju Tuhannya. Sedangkan hamba-hamba Allah yang ‘Arifin tadi merupakan pantulan manifestasi Rahmat Tuhan semesta alam bagi para makhlukNya. Dan Dia adalah Maha Suci nan Maha Cinta dan Kasih.

Anak-anak sekalian…Bila kalian mewujudkan sifat kasih sayang kepada sesama makhluk, anda pasti dirahmati. Jika anda bermajlis dengan kaum ‘arifin, pasti anda sukses jiwamu. Jika
anda bertanya bertanya pada kaum yang penuh hikmah Rabbaniyah pasti anda mendapatkan pengetahuan.

Segala sesuatu itu ada kuncinya. Kunci ilmu itu bertanya (jika tidak tahu). Jika anda bisa hendaklah bermajlis dengan kaum ‘arifin, yang bisa anda gali pengetahuan mereka dan hakikat rumusnya, kelembutan isyaratnya, maka sungguh anda meraih keuntungan. Karena yang paling mulia diantara para Ulama adalah Ulama Robbanyiyyun, yang sangat agung dibanding siapa pun di muka bumi selain Allah. Karena mereka ini adalah Kekasih-kekasih Allah dan pengemban amanah rahasiaNya.
Maka jagalah kehormatan mereka, gerakkan intuisi mereka dengan bertanya yang baik. Karena gejolak ombak dari intuisi kaum ‘arifin itu tidak akan pernah sirna keajaibannya. Maka cukuplah disebut tolol bagi seseorang yang tidak mau belajar pada mereka, meraih limpahan dari kemampuan mereka. Padahal Allah swt telah berfirman:
“Bertanyalah kepada ahli dzikir manakala kalian tidak tahu.”

Nabi saw, juga bersabda:
“Bermajlislah dengan orang-orang yang berjiwa besar dan bertanyalah kepada para Ulama dan bergaulah dengan para ahli hikmah (Ilahiyah).”

Adab Pencari Ilmu



Dzun-Nuun al-Mishry berkata: “Ada seorang tokoh di Marokko diceritakan sifat-sifatnya padaku. Hingga akhirnya aku menempuh perjalanan ke sana. Selama 40 hari aku diam di sana, namun aku tidak mendapatkan pengetahuan apa-apa. Saya tahu tokoh itu sangat sibuk dengan Tuhannya. Padahal aku pun juga tidak pernah sedikit pun mengurangi rasa hormatku. Suatu hari ia melihatku:
“Dari mana seorang pengembara ini?” tanyanya.
Aku ceritakan perjalananku dan sebagian kondisi jiwaku.
“Apa yang membuat anda kemari?”
“Saya ingin menggali ilmu anda…” kataku.
“Taqwalah kepada Allah dan pasrahlah kepadaNya. Karena Dia adalah Yang Maha Memelihara nan Maha Terpuji,” katanya kemudian diam begitu lama.

“Mohon ditambah lagi bagiku, semoga Allah merahmatimu. Saya ini orang yang sangat asing, dan datang dari negeri yang jauh. Aku ingin bertanya banyak hal yang bergolak di batinku….”
“Anda ini pelajar, seorang Ulama atau peneliti?” tanyanya padaku.
“Saya ini pelajar yang sangat butuh pengetahuan.”
“Nah, anda sebaiknya tetap di posisi anda sebagai pelajar. Jagalah adab dan jangan melampaui batas. Sebab jika anda melampaui batas adab tadi malah rusak manfaatnya.
Para cendekiawan itu dari kalangan para Ulama. Sedangkan para ‘Arifun itu dari kaum Sufi yang menempuh jalan kebenaran dan menempuh segala jerih payah kesusahan, mereka pergi dengan kebajikan dunia akhirat.”

“Semoga Allah memberikan rahmat padamu. Kapankah seorang hamba sampai pada tahap yang anda ungkapkan sifatnya itu?” tanyaku lagi

“Jika ia telah keluarkan hatinya dari sebab akibat duniawi.”
“Kapan seorang hamba bisa demikian?”
“Jika ia telah keluar dari merasa bisa berdaya dan berupaya.”
“Apakah pangkal akhir seorang ‘arif itu?”
“Jika semuanya seperti tiada ketika semuanya ada.”
“Kapan sampai pada martabat Shiddiqin?”
“Jika sudah mengenal dirinya.”
“Kapan mengenal dirinya?”
“Jika telah tenggelam di lautan anugerah. Dan keluar dari tempat ke-egoannya dan berpijak pada langkah keluhuran.”
“Kapan sampai pada sifat-sifat itu?”
“Bila ia duduk di kapal Ketunggalan.”
“Apa kapal Ketunggalan itu?”
“Menegakkan ubudiyah yang benar.”
“Lalu kebenaran ubudiyah itu yang bagaimana?”
“Beramal hanya bagi Allah Ta’ala, dan ridlo terhadap ketentuan Allah.”
“Kalau begitu berilah aku wasiat…”
“Aku wasiat kepadamu, agar terus bersama Allah.”
“Lagi….”
“Cukup!”

Abdul Wahid bin Zaid ra, mengisahkan, “Suatu hari aku bertemu dengan seseorang ketika di perjalananku, ia memakai baju dari bulu. Aku ucapkan salam padanya.
“Semoga Allah merahmatimu, aku ingin bertanya suatu hal.”
“Silakan. Hari-hari telah lewat dan nafas itu dihitung dan dibatasi. Sedangkan Allah terus menerus mendengar dan melihat.”
“Apakah pangkal taqwa itu?”
“Sabar bersama Allah Ta’ala,” jawabnya.
“Sabar itu pangkalnya apa?”
“Tawakkal pada Allah.”
“Pangkal tawakkal?”
“Memutuskan diri hanya bagi Allah.”
“Pangkal memutuskan diri hanya bagi Allah?”
“Menyendiri bersama Allah.”
“Pangkal menyendiri?”
“Membuang dari hati, segala hal selain Allah.”
“Kalau hidup paling nikmat?”
”Berbahagia dengan dzikrullah.”
“Kalau hidup paling bagus?”
“Ya, hidup bersama Allah.”
“Apa yang disebut paling dekat?”
”Bertemu Allah.”
“Apa yang paling membuat hati lapar?”
“Pisah dengan Allah.”
Apa sesungguhnya cita-cita sang ‘arif?”
“Bertemu Allah.”
“Kalau tanda-tanda pecinta Allah itu?”
“Mencintai Dzikrullah.”
“Apakah mesra berbahagia dengan Allah itu?”
“Meneguhkan rahasia jiwa bersama Allah.”
“Apakah pangkal kepasrahan diri itu?”
“Menyerahkan diri total terhadap perintah Allah.”
“Lalu pangkal menyerahkan diri total?”
“Mengingat pertanggung-jawaban di hadapan Allah.”
“Apakah kegembiraan paling agung?”
“Husnudzon kepada Allah.”
“Kalau manusia paling agung?”
“Manusia yang merasa puas jiwanya pada Allah.”
“Lalu siapa manusia paling kuat?”
“Orang yang meraih kekuatan bersama Allah.”
“Kalau orang yang bangkrut itu siapa?”
“Orang yang rela pada selain Allah.”
“Apakah kehilangan harga diri itu?”
“Bila menanjak jiwanya tanpa bersama Allah.”
“Kapan seorang hamba terjauhkan dari Allah?”
“Bila ia tertutup dari Allah.”
“Kapan seseorang itu tertutup dari Allah?”
“Bila di hatinya masih ada hasrat selain Allah.”
“Siapakah orang yang alpa itu?”
“Siapa pun yang menghabiskan umurnya tanpa disertai ketaatan pada Allah.”
“Apakah zuhud di dunia itu?”
“Meninggalkan segala hal yang menyibukkan hatinya dari Allah.”
“Siapakah orang yang menghadap Allah?”
“Ya, siapa pun yang menghadap pada Allah.”
“Lalu siapa yang lari dari Allah?”
“Siapapun yang lari dari Allah.”
“Apakah Qalbun Salim itu?”
“Qalbu yang di dalamnya tidak ada lagi selain Allah.”
“Tolong beri tahu aku, darimana anda makan?”
“Dari kekayaan Allah.”
“Apa sih yang anda sukai?”
“Apa pun yang ditentukan Allah padaku.”
“Kalau begitu beri aku wasiat…”
“Lakukan taat kepada Allah dan ridlo-lah kepada ketentuanNya, bersenanglah dengan dzikrullah, maka kalian akan jadi pilihan Allah.”

Orang Yang Mengenal Allah Tidak Akan Maksiat.
Suatu hari dalam perjalananku, kata Dzun Nuun al-Mishry, aku bertemu dengan orang tua, yang di wajahnya ada tanda sebagai kaum ‘arifin.
“Semoga Allah merahmati anda. Manakah jalan menuju Allah?” tanyaku padanya.
“Kalau anda mengenalNya pasti anda tahu jalan menuju padaNya.”
“Apakah seseorang bisa beribadah kepadaNya tanpa mengenalNya?”
“Apakah orang yang mengenalNya itu maksiat padaNya?” jawabnya.
“Bukankah Adam as, itu maksiat padaNya dengan keparipurnaan ma’rifatnya?”
“Maka dia lupa, dan Kami tidak menemukan baginya tekad”, Sudahlah kita jangan berdebat!”
“Bukankah perbedaan Ulama itu rahmat?”
“Memang. Kecuali dalam soal konsentrasi Tauhid.”
“Konsentrasi Tauhid yang bagaimana?”
“Menghilangkan pandangan selain Allah karena Kemaha tunggalanNya.”
“Apakah orang ‘arif itu gembira?”
“Apakah orang ‘arif itu gelisah?” katanya balik bertanya.
“Bukankah orang yang mengenal Allah itu selalu gundah hatinya?”
“Tidak, bahkan orang yang mengenal Allah kegundahan hatinya sirna.”
“Apakah dunia bisa merubah hati orang ‘arifin?”
“Apakah akhirat bisa mengubah hatinya?” katanya lebih tajam.
“Bukankah orang ‘arif itu sangat menghindari makhluk?”
“Na’udzubillah, sang ‘arif tidak pernah gentar dengan makhluk, hanya saja dia hatinya hijrah dan menyendiri bersama Allah.”
“Apakah ada yang mengenal orang ‘arif?”
“Nah, apakah ada yang tidak mengenalnya?” jawabnya.
“Apakah sang airf bisa putus asa terhadap perkara selain Allah?”
“Apakah ada orang arif yang masih memandang selain Allah? Hingga ia harus putus asa?”
“Apakah sang ‘arif itu juga rindu pada Tuhannya?”
“Apakah sang ‘arif pernah kehilangan Allah, sampai ia harus rindu padaNya?”
“Apakah Ismul A’dzom itu?”
“Hendaknya anda katakan, Allah.”
“Banyak sekali ucapan anda tetapi tidak bisa membuat diriku bergetar oleh kharisma Ilahi!” kataku.
“Karena anda berkata dari dorongan dirimu, bukan dari dorongan Ilahi.”
“Nasehati diriku!”
“Sudah cukup banyak nasehat bagimu, yang penting anda tahu bahwea Dia melihatmu.”
Lalu aku meninggalkan orang itu. Namun begitu bangkit aku bertanya lagi.
“Apa yang ingin kau perintahkan padaku?”
“Cukuplah dirimu melihat dirimu dalam seluruh tingkah laku jiwamu…”

***

Yahya bin Mu’adz – Rahimahullah Ta’ala – ditanya:
“Apakah tanda hati yang benar itu?”
“Hati yang istirahat dari kesusahan dunia.” Jawabnya.
“Kalau konsumsi hati?”
“Dzikir yang hidup, tak pernah mati.”
“Lalu kehendak yang benar itu seperti apa?”
“Meninggalkan kebiasaan-kebiasaan manusiawi.”
“Makna rindu?”
“Terus menerus fokus pada Yang Di Atas…”
“Kapan perkara hamba Allah tuntas?”
“Jika tenteram bersama Allah tanpa hasrat.”
“Kalau tanda-tanda seorang penempuh?”
“Tandanya ia tidak sibuk (hatinya) dengan urusan makhluk…”
“Lalu pangkal hidayah itu apa?”
“Ketaqwaan yang benar!”
“Apa yang disebut dengan kenikmatan?”
“Berserasi dengan Allah.”
“Siapa yang disebut sebagai orang asing?”
“Siapa pun yang cinta di hatinya, tidak mencari keuntungan”
“Kapan seorang hamba sampai pada wilayah Tuhannya?”
“Bila hatinya lepas dari segala hal selain Allah Ta’ala.”
“Apakah yang disebut dengan kebebasan agung itu?”
“Penyerahan total kepada Sang Tuhan…”
“Apakah amal paling utama?”
”Dzikir kepada Allah kapan dan dimana saja”.
“Apa yang disebut dengan kebutuhan besar?”
“Kebutuhan besar adalah melanggenggkan bahagia bersama Allah.”
“Apakah yang menjadi hijab qalbu?”
“Merasa puas (selesai) dengan Tuhannya.”
“Apakah hidup yang indah itu?”
“Hidup bersama Yang Maha Agung.”
“Lalu hakikat berserasi dengan Allah?”
“Adalah berlangkah benar dan bersih.”
“Siapakah para pecinta itu?”
“Kaum ‘arifin.”
“Siapa yang disebut orang mulia?”
“Siapa pun yang meraih kemuliaan bersama Yang Maha Mulia.”
“Siapa yang disebut manusia utama?”
“Siapa pun yangbermesra bahagia dengan Yang Maha Lembut.”
“Siapa yang disebut orang alpa?”
“Siapa pun yang menyia-nyiakan usianya.”
“Apakah yang disebut dunia?”
“Segala hal yang membuat anda lupa pada Allah.”

Memang benar, sumber kema’rifatan adalah qalbu, karena firman Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya syi’ar itu dari ketaqwaan qalbu.”
Sedangkan sumber Musyahadah adalah kedalaman qalbu. Karena firmanNya:
“Kedalaman qalbu tak pernah dusta terhadap apa yang dilihatnya.”

Sumber cahaya adalah dada, karena firmanNya:
“Bukankah orang yang dilapangkan dadanya oleh Allah terhadap Islam, maka dialah yang mendapatkan cahaya dari TuhanNya?”

Dan segala cinta yang semakin bertambah, senantiasa menambah rasa cinta kita kepada Rasulullah saw, dan para wali-waliNya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan