Ahad, September 22

Ma'rifatun Nafs

Bismillahirrahmaanirrahiim

Imam al Ghazaly dalam kitab Ihya Ulumuddin bab Sabar dan Syukur mengatakan bahwa manusia (insan) adalah makhluk yang khas. Berbeda dengan malaikat yang memang dicipta hanya untuk menjadi abdi Allah Ta'ala atau binatang yang memang dicipta hanya untuk mengikuti hawa nafsu dan syahwat, maka di dalam diri manusia ada aspek kemalaikatan dan aspek kebinatangan. Dan kesabaran itu sesungguhnya adalah sebuah keadaan dimana kita berusaha memenangkan aspek kemalaikatan itu dari tarikan aspek kebinatangan.

Aspek kemalaikatan tersebut dalam al Qur'an yang disebut sebagai wujud nafs mutmainnah. Yang apabila dominan dalam diri, maka akan jadilah seorang hamba yang ridlo kepada Allah dan Allah ridlo kepada-Nya.(raadliyatammardliyyah). Sedang aspek kebinatangan inilah yang dalam al qur'an disebut sebagai hawa nafsu dan syahwat.

Wahai nafs muthmainnah. Kembalilah kepada Rabbmu dengan hati yang ridla kepada Allah dan diridlai oleh Nya. Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (QS. 89:27-30) Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai ilahnya dan Allah membiarkannya sesat berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat). Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran (QS.45:23) Sesungguhnya binatang yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apapun. (QS. 8:22)

Segala dosa yang dilakukan manusia pada dasarnya adalah segala sesuatu yang terjadi karena dilandasi oleh hawa nafsunya. Walaupun hal tersebut namapak 'baik' di mata manusia, namun sesungguhnya rusak di hadapan Allah Ta'ala.

Sebelum manusia lahir ke muka bumi, dikatakan dalam al Qur'an bahwa manusia telah bersaksi, bahwa Allah adalah Tuhannya. (QS 7:172) Namun pernahkah kita ingat perjanjian tersebut?

Mungkin kita semua tidak pernah ingat bahwa pernah berjanji kepada Allah.Hal ini terjadi karena yang berjanji itu adalah nafs muthmainnah, sedangkan sekarang ini yang dominan adalah hawa nafsu sedang nafs muthmainnah diperbudak olehnya. Artinya, apabila seseorang ingin tidak lalai dari perjanjiannya, yang harus dilakukan oleh kita semua adalah membebaskan nafs muthmainnah dari perbudakan hawa nafsu. Sebagaimana Musa as. membebaskan Bani Israil dari perbudakan Fir'aun, untuk menuju tanah yang dijanjikan Allah.

Nafs muthmainnah inilah sesungguhnya hakikat diri manusia. Dia yang berjanji kepada Allah Ta'ala, dan dia yang akan mempertanggungjawabkannya kepada Allah. Apabila ia menemui ajalnya dalam keadaan yang telah lepas dari perbudakan, maka ia akan selamat sentosa. Bebas dari siksa kubur dan bahkan di alam akhirat. Namun apabila maut menjemput ia masih terbelenggu oleh hawa nafsu dan syahwat, maka ia akan disiksa oleh Allah Ta'ala di alam kubur dan juga di akhirat kelak.

Hawa nafsu atau aspek kebinatangan diberikan oleh Allah kepada manusia, bukan tanpa alasan. Hal ini ditujukan sebagai ujian buat manusia, serta menjadi kendaraan untuk dapat hidup di dunia.

Imam al Ghazaly menggambarkan hubungan nafs muthmainnah, hawa nafsu syahwat dan jasad seperti kereta kuda. Hawa Nafsu dan syahwat sebagai kuda-kuda yang menarik kereta jasad, sedangkan nafs muthmainnah adalah sais.

Tanpa kuda-kuda hawa nafsu dan syahwat, maka kereta kuda tidak dapat berjalan. Jasad tidak dapat ditarik. Namun apabila sang sais sakit, maka kuda-kuda hawa nafsu dan syahwat akan membawa kereta jasad lari kesana kemari tak terkendali. Demikianlah yang banyak terjadi dikebanyakan manusia.

Untuk mendapatkan surga, seorang harus mengendalikan hawa nafsu dan syahwatnya ini. Kalau tidak dilakukan tentu dia akan menghadapi kehancuran yang amat besar.

Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya). (QS. 79:40-41)

Tiada ulasan:

Catat Ulasan