Ahad, September 15

AWLIYA, DERAJAT MANUSIA PILIHAN ALLAH

Syekh Muhammad Nâzim ‘Adil al-Qubrusî al-Haqqânî al-Naqsyabandî

12 Rabiul Awal 1424,11 Mei 2003,Lefke, Cyprus


Al-Hasan ibn al-Manshûr berkata:
Diri seorang hamba pilihan Tuhan melebur dalam Kehadiran Tuhan. Tidak ada orang yang tahan dengan orang semacam itu, dan orang itu juga tidak tahan dengan (standar perilaku yang diterima oleh) orang kebanyakan. Namun, seorang hamba pilihan Tuhan itu laksana bumi; ia menerima segala jenis sampah tapi hanya menghasilkan yang baik-baik. Baik orang saleh maupun pendosa berjalan dan berkeliling di bumi sebagai hamba Tuhan. Dan seburuk-buruknya makhluk ciptaan Tuhan adalah mereka yang merasa menjadi pilihan Tuhan, padahal mereka sebenarnya pelit.

Al-Syiblî mengatakan, “hamba pilihan Tuhan terlepas dari ciptaan dan terkait pada Kebenaran (al-Haqq).” Ibn ‘Ajîbâh meriwayatkan, “Seseorang yang telah mencapai maqam yang begitu dekat dengan Tuhan, ia menjadi tak tertahankan. Gunung pun tidak dapat memanggulnya.” Kondisi semacam ini merupakan karakteristik orang yang telah mencapai maqam peleburan diri (fanâ’). Al-Hasan ibn al-Manshûr menulis tentang seseorang yang lebur dalam cintanya kepada Allah: Orang kebanyakan sulit menerima orang yang telah kehilangan segenap kesadaran dirinya, dan yang kehilangan kesadaran diri di sisi berada dalam ketakjuban yang sangat di hadapan Eksistensi Mutlak Tuhan. Siapa pun yang mencapai maqam itu dan berusaha membeberkan rahasianya, maka ia akan bertingkah laku di luar kebiasaan manusia kebanyakan.

Oleh karena itu, kekasih Tuhan (awliyâ’ Allâh) yang mencapai maqam itu akan menyembunyikan diri. Kisah dalam Alquran tentang Khidhr melukiskan fenomena ini. Ia melakukan tindakan yang tidak biasa dilakukan orang lain; tindakan-tindakan yang sulit diterima oleh Mûsâ sekalipun. Dengan contoh kisah tersebut, Allah memerintah kan kita untuk mengambil pelajaran, bukan karena Mûsâ lebih rendah maqamnya (daripada Khidhr). Bagaimanapun juga ia adalah salah seorang dari lima nabi teragung (ûlû al-‘azm). Tak seorang pun mencapai derajat para nabi ataupun sahabat nabi. Dengan menginformasikan kisah pertemuan Mûsâ dengan Khidhr, Alquran hendak memberi kita contoh tentang seseorang yang telah begitu dekat dengan Allah dan menjadi salah satu hamba-Nya yang suci. Manusia semacam itu dilukiskan dalam sebuah hadis qudsi sebagai berikut, “Hamba-hamba-Ku yang suci ada di bawah kubah-Ku; hanya Aku yang tahu tentang mereka.” Allah sendiri menyembunyikan hamba-hamba-Nya yang suci, karena mereka luar biasa berharga bagi-Nya. Hadis lain melukiskan, “Siapa pun yang bermusuhan dengan kekasih-Ku, maka Aku mengumumkan perang terhadapnya.”
Di tengah-tengah masyarakat kebanyakan, para kekasih Tuhan akan mengucapkan dan melakukan sesuatu yang sulit diterima orang lain. Inilah maksud dari perkataan Ibn ‘Ajîbâh, “Tidak ada orang yang tahan dengan orang semacam itu.” Itulah sebabnya, ketika Nabi Muhammad saw. diutus Tuhan, masyarakatnya menolak dirinya. Semua nabi mendapatkan penolakan dari masyarakat mereka. Kalau kasus semacam itu terjadi pada para nabi, bagaimana dengan para wali? Sudah menjadi sunatullah bahwa mereka akan sepenuhnya ditolak oleh masyarakat kebanyakan, karena para wali adalah manusia biasa yang dianugerahi Tuhan dengan kekuatan langit.

Para ulama masa kini mengatakan bahwa para wali sudah tak ada lagi. Ini tidak benar. Yang benar, mereka sudah buta sehingga tak bisa mengetahui keberadaan para wali. Mengapa buta? Karena para wali menyembunyikan diri mereka, terutama pada masa sekarang ini. Mereka tahu bahwa tidak ada orang yang akan menerima mereka beserta kekuatan yang diberikan Tuhan kepada mereka. Jika mereka memperlihatkan kekuatan yang mereka miliki, orang-orang akan menentang mereka. Maqam tertinggi wali adalah ketika ia bertingkah seperti manusia biasa dan tidak menampakkan perbedaan perilaku dengan masyarakat kebanyakan. Seorang wali berperilaku layaknya manusia biasa hingga orang lain akan berkomentar, “Dia seperti kita. Apa bedanya?” Yang tidak mereka ketahui tentang dirinya adalah bahwa ia telah diuji oleh para wali; para nabi; dan Tuhan yang Mahaagung. Ia telah lulus dalam tes tersebut dan memperoleh amanat spiritual. Ibn ‘Ajîbâh melanjutkan, “orang itu juga tidak tahan dengan (standar perilaku yang diterima oleh) orang kebanyakan.” Ini berarti ia menyaksikan betapa mereka telah tersesat, dan menyeru mereka untuk kembali ke jalan Tuhan, tetapi mereka tak mau mendengar. Setelah beberapa lama, akhirnya wali itu pergi meninggalkan mereka. Bayâzîd al-Bisthâmî, salah seorang wali terbesar, selalu beribadah kepada Allah, bertakarub hingga ia bisa mendengar pembicaraan para malaikat. Ia telah sampai pada maqam di mana ia berusaha mendekati Tuhan sambil berdoa, “Ya Rabb, bukalah bagiku pintu menuju Kehadiran-Mu!” Ia lalu mendengar suara dalam hatinya yang berujar, “Hai Bayâzîd, jika engkau ingin berada di sisi-Ku, engkau harus menjadi tiang yang tak diindahkan orang.” Makanya al-Hasan ibn al-Manshûr berkata, “hamba pilihan Tuhan ibarat bumi; ia menerima segala jenis sampah tapi hanya menghasilkan yang baik-baik. Baik orang saleh maupun pendosa berjalan di atasnya (bumi).”

“Bumi” dimaknai sebagai kekuatan. Apa pun Kehendak Tuhan, bumi menerimanya. Ia tak memiliki kehendak sendiri. Nah, para waliullah mirip dengan bumi: “semua hal yang kotor dan buruk dilempar ke bumi,” dan ia tetap menerimanya. Kata Arab “qabîh” tak sekadar bermakna “kotor” dan “buruk” tapi juga bermakna “bau” dan “busuk” yang menggambarkan sampah paling jelek yang dibuang ke bumi. Tetapi, setelah menerima sampah busuk itu, “bumi hanya menghasilkan yang baik-baik.” Wali tidak memperlakukan kita seperti kita memperlakukan dirinya. Segala bentuk keburukan yang ia terima, akan ia balas dengan kebaikan. Diriwayatkan bahwa Bayâzîd perna menguji para ulama dengan ungkapan-ungkapan yang sangat ekstatis (syathâhât) hingga akhirnya mereka merajamnya. Itu terjadi karena ketidakpahaman mereka terhadap maqam di mana ia berucap. Bayâzîd bukanlah orang yang suka memperbuat bidah, bahkan Ibn Taymiyyah sekalipun memuji kesalehannya. Tetapi, ia hanya bermaksud menguji mereka, karena mereka juga sebenarnya telah berusaha menguji dirinya.

Akhirnya, seusai mereka merajam Bayâzîd, jasadnya dilemparkan ke tempat pembuangan sampah. Sebenarnya ia masih hidup, tetapi badannya sangat lemah. Setelah terbaring dalam kondisi luka-luka selama tujuh hari, tenaganya sedikit pulih dan ia bisa menggerakkan badannya. Ia mulai mencari sesuatu yang bisa dimakan, dan menemukan sepotong tulang dengan sedikit daging busuk, yang mungkin dibuang orang seminggu sebelumnya. Ketika ia hendak memungutnya, muncul seekor anjing yang menggonggong dan berkata kepadanya, “Ini wilayah kekuasaanku, dan itu makananku. Kamu tak boleh mengambilnya.” Tuhan memberinya kemampuan memahami bahasa binatang. Bayâzîd meriwayatkan, “Aku bermunajat kepada Tuhan, ‘Ya Allah, ya Tuhanku, apa yang telah aku lakukan adalah demi cintaku pada-Mu. Aku ingin mereka membunuhku, tapi Engkau membuatku bergerak dan hidup. Dan ketika aku hidup kembali, aku ingin mereka kembali mengantarku kepada kematian; lalu Engkau kembali membuatku bergerak dan hidup, dan mereka akan merajamku lagi kemudian. Engkau pun kembali menghidupkanku, begitu berulang-ulang karena setiap kali mereka merajamku, aku berdoa agar Engkau, Tuhanku, mengampuni dosa-dosa mereka. Apa pun yang Engkau berikan sebagai balasan doa dan perjuangan batinku, Engkau, ya Rabb, membuat mereka berbagi pahala denganku.” Kisah ini menunjukkan bagaimana kebanyakan wali akan mencintai hamba-hamba-Nya ketika ia masuk ke dalam cinta-Nya.

Kini banyak sarjana muslim berkata, “Para wali sudah tak ada lagi.” Sebenarnya mereka masih ada, namun karena hanya sedikit orang yang akan bisa memahami kondisi para wali, maka mereka bersembunyi. Pernyataan lain dari para ulama masa kini adalah, “Setiap mukmin itu wali.” Kalaulah demikian, tentu Tuhan tak akan membedakan antara mukmin dan wali. Walaupun demikian, siapakah yang benar-benar bisa mengatakan bahwa dirinya seorang mukmin? Apakah mereka tidak ingat dengan firman Allah:
Orang-orang Arab badui itu berkata, “Kami telah beriman.” Katakanlah (kepada mereka), “Kalian belum beriman, tetapi katakanlah bahwa kami telah tunduk.” Karena iman itu belum masuk ke dalam hati kalian, dan jika kalian taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada akan mengurangi sedikit pun pahala amalan kalian. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q 49:14)

Siapa yang dapat menjamin seseorang bahwa iman sudah masuk ke dalam hatinya? Jaminan semacam itu tidak diberikan oleh seorang muslim kepada muslim lainnya; itu diberikan oleh Allah kepada orang yang percaya. Di mana pun mereka berada, para wali akan membangun tempat ibadah, zawiat, khâniqah, atau ribat (tempat-tempat berkumpul untuk latihan dan praktik spiritual). Setelah selesai dibangun, orang-orang dari tempat yang jauh akan berdatangan mengunjungi tempat tersebut, dan akan disambut. Mereka (para wali) tak akan mengatakan, “Kami tidak mau menemui si ini atau si itu.” Pada zaman sekarang, orang-orang biasanya berkata, “Orang-orang ini musuh. Kami tak bisa menemui mereka. Orang-orang ini suka menghujat kami. Kami tak bisa menjumpai mereka.” Tetapi, Nabi saw. menemui semua orang, entah kawan maupun lawan.
HDan Kami tidak mengutus kamu melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui. (Q 34:28)

Jika musuh hendak menemui, beliau tetap akan berkenan membukakan pintu. Karena para waliullah merupakan pewaris maqam dan sifat para nabi, pintu mereka juga harus selalu terbuka. Jika tidak, maka apa gunanya kewalian? Allah menganugerahi kewalian kepada mereka agar mereka membukakan telinga kepada manusia, bergaul dengan mereka, dan menyeru mereka ke dalam Islam. Ketika kita menutup pintu dan berkata, “Aku tidak bergaul dengan orang-orang itu,” berarti kita telah mengucilkan diri sendiri dan menjadi penghalang jalan menuju-Nya. Kita harus bergaul dengan orang-orang dari berbagai keyakinan, agama, dan kelompok untuk membawa mereka kepada Kebenaran. Itulah sebabnya Syekh Agung menemui setiap orang, dan kita berusaha mengikuti langkahnya. Kita tak bisa menutup pintu dan berkata, “Kalian bukan anggota kelompok kami.” Kini segala sesuatu didasarkan pada keanggotaan–demi uang. Mereka akan berkata, “Bayarlah lima ratus ribu dan Anda bisa menjadi anggota kami.” Tidak ada lagi amal yang dilakukan secara ikhlas karena Allah.

“Baik orang saleh maupun pendosa berjalan dan berkeliling di atas bumi sebagai hamba Tuhan.” Artinya, ia akan menanggung beban–ia tempat pembuangan sampah semua orang. Sebagai balasannya, ia justru mendoakan orang-orang agar hati mereka berpaling kepada Tuhan. Hamba pilihan Tuhan mengerahkan kemampuan terbaik mereka untuk orang lain meskipun mereka memperlakukannya dengan sangat buruk. Itulah sebabnya dikatakan bahwa baik orang saleh maupun pendosa berjalan di atas bumi. Ibn ‘Ajîbâh berkata, “Dan sejahat-jahatnya makhluk ciptaan Tuhan adalah mereka yang merasa menjadi pilihan Tuhan, padahal mereka sebenarnya tidak dermawan.” Seorang hamba pilihan Tuhan sangat dermawan. Ia tidak pelit. Seorang hamba Tuhan selalu bermurah hati dengan segala pemberian Tuhan, dan tidak menahannya. Dan Allah Maha Memberi.
Nabi Muhammad saw. digambarkan Tuhan sebagai berikut: amat belas kasih lagi penyayang terhadap orang-orang yang beriman. (Q 9:128) Dan tiada Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (Q 21:107)

Kedua ayat tersebut menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw. akan meminta ampunan kepada Allah bagi semua orang. Singkatnya, seorang hamba Tuhan tidak boleh kikir. Manusia terburuk adalah mereka yang mengklaim sebagai hamba pilihan Tuhan padahal mereka bakhil. Bukan bakhil dalam urusan harta, tetapi bakhil dalam arti tidak mau menanggung kesulitan orang lain dan mengambil apa pun bentuk kebaikan yang dilimpahkan Tuhan, untuk diberikan kepada orang lain. Yang lebih buruk lagi adalah para hamba Tuhan yang telah dianugerahi ilmu pengetahuan agama dan makna-maknanya yang terdalam tetapi menyimpan ilmu pengetahuan itu untuk diri sendiri dengan tidak mengajarkannya kepada orang yang mampu menerimanya. Mereka adalah para ulama yang mengemukakan kebohongan tentang Tuhan dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan Tuhan. Pada masa sekarang kita bisa menunjukkan banyak contoh mengenai hal semacam itu. Mereka, misalnya, mengatakan bahwa Tuhan menginginkan agar manusia mengabdikan hidupnya untuk kejahatan, mengejar tujuan yang keliru, atau menyebarkan doktrin palsu. Mereka hamba-hamba Tuhan yang bakhil secara spiritual. Orang-orang semacam itu tak akan sukses dan, pada hari pembalasan kelak, mereka akan dimasukkan ke dalam golongan yang merugi. Mereka ibarat pohon yang dihiasi dengan bunga-bunga yang indah pada musim semi, tetapi meranggas dan tak berbuah pada musim gugur.

Untuk lebih jelasnya, seorang hamba Tuhan yang sejati akan membawa dosa-dosa mereka yang berada dalam bimbingannya dengan memohon ampunan Tuhan bagi mereka dan dengan meminta-Nya untuk menganugerahi mereka apa pun balasan pahala yang ia terima dari maqam apa pun yang ia duduki saat itu. Ini berlaku bagi siapa pun yang datang menemuinya. Nabi bersabda: Tuhan memerintahkan para malaikat untuk menelusuri jalanan guna mencari orang-orang yang sedang mengingat diri-Nya (berzikir). Ketika mereka menemukan sekelompok orang yang sedang berzikir, mereka akan memanggil malaikat yang lain dan para malaikatpun mengerumuni tempat itu secara berlapis-lapis hingga langit pertama … Lalu seseorang yang bukan berasal dari kelompok tersebut, tapi hanya datang untuk mendengarkan persoalan khusus, duduk bersama mereka. Allah berfirman, “Penyesalan tak akan menimpa siapa pun yang duduk bersama mereka.”

Itu berarti seseorang yang datang hanya selama beberapa menit, meskipun bukan termasuk anggota kelompok tersebut, tetap akan memperoleh balasan karena telah berkumpul bersama mereka. Siapa pun yang datang menemui seorang wali, ia akan memberi orang itu apa pun yang telah diberikan Tuhan dan nabi-Nya kepada dirinya. Itulah makna kemurahan hati–lawan dari sikap kikir. Itu berarti memberikan dengan penuh kasih sayang apa yang telah Allah anugerahkan kepada dirinya. Itu berarti mengambil alih dan menanggung kesusahan dan persoalan orang-orang yang datang menemuinya. Al-Syiblî mengatakan, “hamba pilihan Tuhan terlepas dari ciptaan dan terkait pada Sang Mahabenar (al-Haqq).” Ia melanjutkan, “munqathi‘ ‘an al-khalq,” bermakna, “hatinya terputus dari orang banyak dan terhubung dengan Ilahi.” Secara harfiah, ungkapan itu berarti bahwa ia melepaskan diri dari makhluk dan secara spiritual menghubungkan diri dengan cinta-Nya. Akan tetapi, dalam maknanya yang lebih dalam, ungkapan itu juga berarti bahwa ia menolak segala bentuk kepalsuan dan mencintai segala bentuk kebenaran. Seorang hamba Tuhan tidak akan melibatkan diri ke dalam persoalan yang tidak penting baginya, atau ke dalam perbuatan dan pembicaraan orang-orang yang bertentangan dengan Kebenaran. Ia terhubung dengan Kebenaran. Ia menyukai segala sesuatu tentang Kebenaran dan membenci segala bentuk kepalsuan. Ketika ia melepaskan diri dari kepalsuan, ia membungkusnya, seolah-olah ia tidak melihatnya, meskipun sebenarnya ia benar-benar menyadarinya. Pada saat yang sama, ia juga tidak mengecam atau membeberkan kepalsuan dan perbuatan buruk yang dilakukan oleh orang-orang.

Ia menggabungkan diri dengan Kebenaran dan melepaskan diri dari kepalsuan. Ia melakukan hal ini untuk mengimbangi kepalsuan orang-orang dengan meletakkan Kebenaran pada sisi timbangan lainnya. Jika kepalsuan tidak terkendali, itu akan menyebabkan kehancuran baik bagi umat maupun bagi dunia secara keseluruhan. Jadi, para wali itu ibarat gunung dalam kehidupan umat; mereka mengimbangi segala sesuatu sebagaimana gunung membuat bumi tetap seimbang. Dan gunung-gunung sebagai pasak. (Q 78:7).Jika kepalsuan semakin tak teratasi, tidak akan ada lagi keseimbangan di bumi, dan bumi akan terbalik. Maka para wali membuat seimbang segala sesuatu. Itulah makna dari firman Allah: Supaya kamu jangan melampaui batas neraca itu. Dan tegakkanlah timbangan itu dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. (Q 55:8–9)

Kedua ayat itu mengandung arti, “Jadikanlah segala sesuatu seimbang dalam timbangan.” Jika para wali tidak mengimbangi kepalsuan dengan beribadah, jika mereka tidak menyeimbangkan kesalahan yang dilakukan oleh para pelaku kejahatan dengan kebenaran, maka dunia sudah musnah sejak lama. Mengenai salah satu tanda datangnya kiamat, ‘Abd Allâh ibn ‘Amr ibn al-‘Âsh meriwayatkan bahwa Nabi saw. pernah berkata:
Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari dada para ulama, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mencabut nyawa mereka hingga tiada lagi orang yang menggantikan posisi mereka, dan orang-orang pun menjadikan orang bodoh sebagai pimpinan mereka. Mereka (para pemimpin bodoh) akan dimintai pendapat lalu memberikan fatwa tanpa ilmu. Mereka sesat dan menyesatkan.

Hamba-hamba yang saleh telah menyeimbangkan segala sesuatu sejak masa Nabi Muhammad saw. Memang, sepanjang zaman, mereka selalu menyeimbangkan kepalsuan dengan kebenaran. Tetapi, sekarang keseimbangan yang mereka bawakan kepada dunia itu sudah mencapai batas akhir, sehingga tidak lagi tercipta keseimbangan. Memang, lemahnya naluri keseimbangan telah menjadi ciri umum zaman kita sekarang. Itulah sebabnya saat ini kita menyaksikan banyak sekali pembunuhan. Dan ketika semua orang berbicara tentang perdamaian, kenyataannya di mana-mana orang meregang nyawa. Semoga Tuhan menjaga kita dalam lindungan hamba-hamba-Nya yang saleh yang telah Dia anugerahi pengetahuan, dan Dia amanatkan bimbingan umat Muhammad, serta mengimbangi perbuatan kita dengan kebaikan. Nabi Muhammad saw. bersabda: Setelahku akan ada para khalifah, dan setelah para khalifah akan ada para pangeran, dan setelah para pangeran akan ada para raja, dan setelah para raja akan ada para penguasa tiran. Dan setelah para penguasa tiran akan ada seseorang dari keluargaku (ahlulbait) yang akan memenuhi dunia dengan keadilan, dan setelahnya akan ada al-Qahtânî. Demi Yang memberiku Kebenaran, tiada kabar yang terlewat.

Para khalifah yang disebut dalam hadis ini adalah empat khalifah teladan, yaitu Abû Bakr, ‘Umar, ‘Utsmân, dan ‘Alî—semoga Allah meridai mereka. Sedangkan para pangeran dalam hadis itu adalah para khalifah Bani Umayyah di Damaskus dan para khalifah Bani Abbasiyah di Bagdad. Sementara para raja adalah para sultan Utsmani di Istanbul. Setelah para raja, menurut hadis itu, akan ada para penguasa tiran, yaitu yang biasa kita saksikan sekarang. Para wali tidak melihat masa depan yang disebutkan dalam hadis semacam itu sebagai masa depan yang sangat jauh. Mereka berbicara kepada siapa yang mau belajar dari mereka, bahwa hadis-hadis tersebut adalah rambu-rambu bagi manusia di sepanjang jalan menuju akhirat. Kalau kita berperilaku seperti orang buta, mengabaikan tanda-tanda zaman, lantas apa gunanya petunjuk yang sangat terang itu? Tugas para wali, sebagai pewaris para nabi, adalah mengingatkan manusia, memberi kabar gembira (basyîr) dan peringatan (nadzîr). Mari kita perhatikan petunjuk terang yang dibawa Nabi saw. kepada kita semua, dan siap-siap menghadapi zaman penuh godaan. Dengan mengikuti rambu-rambu tersebut, kita berharap bisa mewujudkan era keemasan peradaban nabawi, era yang belum pernah dunia saksikan

Tiada ulasan:

Catat Ulasan