Ahad, September 22

Hakikat Keikhlasan

Bismillahirrahmaanirrahiim

Kita semua sama-sama mafhum, bahwa ikhlas merupakan syarat diterimanya amal oleh Allah Ta'ala. Namun apakah sesungguhnya ikhlas dan bagaimana untuk dapat ikhlas, mungkin hal itu yang menjadi demikian penting untuk kita ketahui.

Ikhlas adalah segala sesuatu aktivitas yang diarahkan untuk pengabdian kepada Allah Ta'ala. Ikhlas bukanlah tanpa pamrih. Dibenarkan untuk berharap pamrih, namun pamrih yang berselarasan dengan apa yang Allah Ta'ala inginkan seperti rahmat Allah dan ampunan Allah. Pamrih yang tidak dibenarkan adalah pamrih yang mengarahkan berkembang biaknya kecintaan kita kepada diri (hawa nafsu) dan kecintaan kepada dunia (syahwat). Ketika seseorang melakukan sesuatu untuk mendapatkan balasan walaupun hanya sekedar 'ucapan terima kasih', maka sesungguhnya hal ini dapat merusak keikhlasannya.

Tidak jarang kita melakukan sesuatu mungkin bukan karena ingin dipuji orang, tetapi karena ingin mendapatkan dukungan, persetujuan dan sekedar ucapan terima kasih dari manusia. Dan hati kita akan demikian kecewa ketika ternyata dukungan, persetujuan dan ucapan terima kasih itu tidak didapatkan.

Ah, betapa sering kita kecewa ketika mengungkapkan gagasan dan ternyata orang-orang tidak mendukung gagasan kita? Betapa demikian seringnya kita marah ketika orang yang kita berbuat baik kepadanya melengos pergi tidak mengucapkan terima kasih, sehingga kita pun sering berkata: "Tidak tahu diri, mengucapkan terima kasih pun tidak!"
Syaikh Abu 'Ali ad-Daqqaq menyatakan, "Ikhlas adalah menjaga diri dari apapun pendapat manusia."

Keikhlasan adalah ibadah hati. Ia harus kita mulai usahakan muncul dalam diri kita dengan upaya terus menerus dan kesabaran atasnya. Tentu amat sangat penting ilmu yang benar menopangnya.

Dzun Nun al-Mishry berkomentar, "Keikhlasan hanya bisa dipandang penuh dengan cara menetapinya dengan sebenar-benarnya dan bersabar untuknya. Yang belakangan ini hanya bisa dipenuhi dengan cara berikhlas dan bertetap hati di dalamnya terus-menerus".

Keikhlasan akan terjadi manakala kita tidak lagi menyadari bahwa kita ikhlas. Ketika kita masih menyadari rasa ikhlas tersebut, sesungguhnya kita belum ikhlas.

Abu Bakr ad-Daqqaq menegaskan, "Cacat keikhlasan dari masing-masing orang yang dikatakan ikhlas adalah kesadarannya sendiri akan keikhlasannya itu. Abu Ya'qub as-Susi menyatakan, "Apabila mereka melihat keikhlasan di dalam keikhlasan mereka, maka keikhlasan mereka itu memerlukan keikhlasan".

Dalam al Qur'an ada 2 jenis keikhlasan. Yaitu ketika kita berupaya untuk ikhlas, ini dibahasakan dengan 'mukhlis', dan sebuah karunia dari Allah terhadap orang-orang yang mukhlis yaitu keikhlasan yang datang dari-Nya
yang dibahasakan dengan 'mukhlas'. al Qusyairy berkata: "Jika Allah menghendaki untuk memurnikan keikhlasannya, Dia akan menjadikannya tidak meyadari keikhlasannya sendiri dan jadilah dia ikhlas oleh Tuhan, (mukhlas), bukan ikhlas karena dirinya sendiri, (mukhlis)".

Orang-orang yang mukhlas inilah yang iblis tiada sanggup untuk menggodanya.Iblis menjawab:"Demi kekuasaan Engkau aku akan menyesatkan merreka semuanya, kecuali hamba-hamba-Mu yang mukhlas di antara mereka. (QS. 38:82-83)

Al-Junayd mengatakan, "Keikhlasan adalah rahasia antara Allah dengan si hamba. Bahkan malaikat pencatat tidak mengetahui sedikit pun mengenainya untuk bisa dituliskannya dalam catatan amal seseorang. Syaithan tidak mengetahuinya hingga dia tak merusaknya, nafsu pun tak menyadarinyasehingga ia tidak bisa mempengaruhinya".

Al-Fudhail menyatakan, "Menghentian amal-amal baik karena manusia adalah munafik, dan melaksanakannya karena manusia adalah musyrik. Ikhlas berarti Allah menyembuhkannya dari dua penyakit ini".

Perkataan ini benar-benar mengisyaratkan bahwa keikhlasan terjadi ketika Allah Ta'ala telah menyembuhkan hati kita dari menghiraukan apa-apa yang dikatakan oleh manusia. Yang terpenting adalah ketika kita telah mempertimbangkan sebuah amal akan tujuannya untuk Allah Ta'ala serta maslahatnya, maka lakukanlah hal itu, dan janganlah pedulikan cemoohan atau pujian manusia. Dan jangan sedikit pun terbesit dalam hati kita melakukannya untuk mendapatkan pujian manusia.

Sebagaimana pesan Luqman al Hakim kepada anaknya: "Hai anakku, lakukanlah apa yang menjadi kemaslahatan dirimu, baik mengenai agamamu maupun duniamu, dan laksanakanlah kepentinganmu itu hingga selesai, jangan peduli orang lain dan tak usah kamu dengar perkataan dan cemoohan mereka. Karena betapa pun takkan dapat kamu buat amereka semua lega, dan takkan dapat kamu persatukan hati mereka".

Dan sesudah itu Luqman menyuruh anaknya mengambil seekor keledai. "Anakku, bawalah kemari seekor keledai", katanya. "Lihatlah apa kata orang nanti, mereka selamanya takkan lega melihat orang lain".

Tak lama kemudian anak itu pun datang membawa keledai yang diminta. Luqman naik ke atas punggungnya, dan menyuruh anaknya berjalan menuntun binatang itu, sementara ia enak-enak duduk di atas punggungnya.

Dalam perjalanan, lewatlah mereka pada sekumpulan orang. Dan melihat pemandangan yang ganjil itu, orang-orang berkata : "Anak kecil disuruh berjalan, sedang yang sudah tua malah enak-enak naik kendaraan. Betapa kejam dan tak tahu malu orang tua itu".

"Apa kata orang-orang itu hai anakku?", tanya Luqman kepada anaknya. Dan setelah anak itu menerangkan apa yang mereka omongkan, ia pun turun dari atas punggung kendaraannya dan menyuruh anaknya naik. Dan sekarang giliran dia yang menuntun keledai.

Berikutnya ketika melewati kerumunan orang yang lain, terdengarlah kata-kata mereka : "Yang kecil naik, sedang orang yang sudah tua bangka begitu disuruh jalan kaki. Sungguh kejam anak itu dan tak tahu kesopanan".

"Apa kata mereka?", kata orang tua itu mengulangi pertanyaannya. Maka diterangkanlah oleh anak itu apa yang diperkatakan orang, dan kini kedua insan anak dan bapak itu bersama-sama menunggangi binatang naas itu. Sehingga pada suatu tempat, ketika mereka melewati kerumunan orang berikutnya, mereka pun berkata pula : "Dua orang berbonceng-boncengan di atas punggung seekor keledai, padahal sakit tidak, lemah pun tidak. Ah, tak kenal belas kasihan kedua orang itu terhadap binatang".

Kali ini Luqman bertanya pula kepada anaknya, "Apa kata orang-orang itu hai anakku?". Dan setelah anak itu menjawab, maka tak ada pilihan lain kecuali harus turun bersama-sama dari onggung keledai dan menuntunnya bersama-sama sambil jalan kaki.

"Subhanallah!" orang terheran-heran melihat keledai yang segar-bugar dan kuat itu berjalan tanpa muatan, sementara kedua pemiliknya malah berjalan kaki menuntunnya bersama-sama. "Kenapan salah seorang tak mau menaikinya?", kata merka.

Sekali lagi Luqman menanyai anaknya, "Apa kata mereka wahai anakku?". Dan setelah dijawab, ia pun melanjutkan perkataannya : "Anakku, bukankah telah aku katakan padamu, lakukanlah apa yang menjadi kemaslahatan dirimu, jangan pedulikan apa kata orang. Semua ini aku lakukan, tak lain hanyalah untuk memberi pelajaran kepadamu".

Ketika cemoohan dan pujian dari manusia telah dirasakan sama, maka inilah mulanya anugerah keikhlasan dari Allah Ta'ala tercurah kepada qalbu kita. Dzun Nun menjelaskan, "Ada tiga tanda keikhlasan: manakala orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja; apabila mengerjakan amal kebaikan dia tidak menyadari, bahwa dia sedang mengerjakan amal kebaikan; dan jika dia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akhirat karena amal baiknya".

Hal ini dapat hanya terjadi dengan mengarahkan semua arah dan tujuan amal hanya untuk Allah Ta'ala, paling tidak untuk mendapatkan rahmat (pertolongan) dan ampunan Allah sahaja.

Abu 'Utsman mengatakan, "Keikhlasan adalah melupakan opini makhluk melalui perhatian yang terus-menerus kepada anugerah Khalik yang melimpah".

Tiada ulasan:

Catat Ulasan