Kitab Al Mahabbah wa al Syawq wa al Uns wa al Ridha, bab 10, Syekh Hujjatul Islam Abu Muhammad Al Ghazali, 450 – 505 H
Bukti-bukti Al Quran menunjukkan bahwa Allah SWT Mencintai para hambaNya.
Allah Mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya [QS Al Maidah : 54]
Sesungguhnya Allah Mencintai orang-orang yang berperang di jalanNya dalam barisan yang teratur [QS Al Shaff : 4]
Sesungguhnya Allah Mencintai orang-orang yang bertobat dan orang-orang yang menyucikan diri [QS Al Baqarah : 222]
Rasulullah SAW bersabda, “sesungguhnya Allah SWT memberikan dunia kepada orang yang Dia cintai dan orang yang tidak Dia cintai. Namun, Dia tidak memberikan keimanan kecuali kepada orang yang Dia cintai” [HR Al Hakim & HR Al Bayhaqi dalam Syu’ab Al Iman melaui jalur Ibn Mas’ud].
Beliau juga bersabda, “siapa saja yang merendahkan diri di hadapan Allah, maka Allah akan mengangkatnya. Siapa saja yang takabur di hadapan Allah, maka Allah akan menghinakannya. Siapa saja yang memperbanyak zikir kepada Allah, maka Allah akan mencintainya.” [HR Ibn Majah melalui jalur Abu Sa’id].
Sabda beliau yang lain, “Allah SWT berfirman, HambaKu tak henti-hentinya mendekatkan diri padaKu dengan berbagai amalan sunah hingga Aku mencintainya. Jika Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi telinga yang membuatnya bisa mendengar dan menjadi mata yang membuatnya bisa melihat.” [HR Al Bukhari melalui jalur Abu Hurairah].
Al Qur’an dan hadist yang berbicara tentang cinta cukup banyak. Kecintaan hamba kepada Allah SWT itu nyata, hakiki, dan bukan sekedar ungkapan kiasan. Sebab, cinta dalam konteks ucapan sehari-hari biasanya diartikan sebagai “kecenderungan diri terhadap sesuatu yang sejalan [dengan selera diri tersebut]”. Diri, sesuai dengan definisi ini, adalah diri yang tidak sempurna dan kehilangan sesuatu yang sejalan dengan seleranya. Diri yang kemudian berusaha mendapatkan kesempurnaan dengan cara memenuhi sesuatu yang hilang itu. Dengan begitu, ia merasa senang dan nikmat. Cinta dalam pengertian seperti ini mustahil terjadi pada Allah SWT. Sebab, semua bentuk kesempurnaan, keindahan dan kecantikan itu adalah hak milikNya dan ada dalam genggamanNya sejak jaman azali. Itu pun akan abadi selama-selamanya. Semua itu tidak mungkin berubah atau menghilang dari genggamanNya. Jadi, Allah sama sekali tidak mempunyai kesamaan dengan selain Dia, kecuali dari segi zat dan perbuatannya saja. Hanya Zat dan perbuatanNya yang ada dalam wujud ini.
Allah Mencintai mereka dan mereka pun mencintaiNya [QS Al Maidah : 54]. Allah mencintai mereka berarti Allah mencintai diriNya sendiri. Jelasnya, Allah adalah segala yang ada dan tak ada yang ada selain Dia. Siapa saja yang mencintai dirinya, semua perbuatan dirinya, dan aneka ciptaan dirinya, maka itu berarti cintanya hanya pada diri dan segala yang terkait dengannya. Dengan demikian, apapun yang dicintai Allah tak lain adalah diriNya juga.
Apa yang disebut dengan kecintaan Allah kepada hambaNya haruslah ditafsirkan dan dikembalikan kepada beberapa arti berikut. Pertama, tersingkapnya tabir dari hati hamba tersebut sehingga ia dapat melihatNya. Kedua, Allah SWT menguatkan hamba tersebut untuk mendekatkan diri kepadaNya. Ketiga, kehendak Allah untuk menjadikan hamba itu seperti itu pada jaman azali.
Kecintaan Allah kepada hamba dikatakan bersifat azali apabila itu dikaitkan dengan kehendak azali Allah yang telah memampukan hamba tersebut menempuh jalan menuju kedekatan padaNya. Jika dikaitkan dengan perbuatan Allah menyingkap tirai hati hamba tersebut, maka kecintaan Allah yang demikian itu bersifat baru yang terjadi melalui sebab-sebab tertentu. Ini sebagaimana difirmankan Allah dalam salah satu hadis qudsi : “Tak henti-hentinya hambaKu mendekatkan diri kepadaKu melalui amalan-amalan sunah hingga Aku Mencintainya.” Mendekatkan diri kepada Allah melalui amalan-amalan sunah dianggap sebagai sebab bagi kesucian hati dan terangkatnya tirai dari hati serta tercapainya kedekatan diri kepada Allah SWT. Semua itu jelas perbuatan Allah SWT dan kelembutan Dia terhadap hamba tersebut. Inilah arti kecintaan Dia kepada hamba itu.
Berikut ini beberapa contoh yang dapat menjelaskan paparan di atas.
Contoh pertama. Seorang raja mungkin saa mengijinkan abdi dalemnya untuk mendekatkan diri kepadanya. Ia mungkin pula mengijinkan sang abdi datang setiap saat semata karena raja itu menyukainya. Dengan kekuasaan yang dimiliki, mungkin sang raja ingin memberikan pertolongan kepada si hamba, atau sekedar ingin menikmati bertemu dan melihat sang abdi. Atau, bisa juga ingin berembuk dan meminta pendapatnya. Atau, mungkin saja raja ingin memberikan persediaan logistiknya. Dengan begitu, bisa dikatakan bahwa sang raja mencintainya, dalam arti ia menyukai si hamba karena memiliki beberapa hal yang sesuai dengan selera sang raja.
Contoh kedua. Kadang raja juga memperkenankan seorang hamba mendekatkan diri kepadanya dan tidak melarang masuk untuk menemui dirinya. Ini dilakukannya bukan karena ia ingin meminta bantuan atau memperoleh keuntungan apapun, tetapi semata karena hamba tersebut memang layak menjadi orang yang dekat dengan sang raja, bahkan sangat dekat. Ia memiliki budi pekerti luhur dan tabiat terpuji. Semata karena itu, sang raja menyukainya. Tidak ada maksud-maksud lain. Oleh karenanya, jika sang raja pada akhirnya mengangkat tabir antara dirinya dan hamba tersebut, maka itu bisa dikatakan ia mencintai abdinya. Ketika abdi dalem itu bisa berbuat sesuatu [akhlak mulia dan tabiat terpuji] yang menyebabkan terangkatnya tabir tersebut, maka itu berarti ia telah terhubung dengan sang raja. Ia pun menjadi dicintai.
Kecintaan Allah kepada hamba hanya dapat dimaknai sesuai contoh kedua, bukan contoh pertama, itupun dengan syarat tidak dipahami bahwa terjadi pergeseran posisi pada saat kedekatan antara Allah dengan hamba tersebut mengalami perubahan. Sebab, orang yang dicintai Allah pastilah dekat denganNya. Kedekatan kepada Allah terjadi manakala hamba menjauhi sifat-sifat kebinatangan, perilaku kebuasan, dan adat setan serta berakhlak ketuhanan. Kedekatan disini adalah kedekatan sifat, bukan tempat. Orang yang sebelumnya tidak dekat kemudian menjadi dekat, maka ia dianggap telah mengalami pergeseran. Barangkali, berangkat dari pemahaman ini, ada yang mengira bahwa setiap kali kedekatan itu berubah, setiap kali itu pula sifat hamba dan Tuhan sama-sama berubah. Bukankah masing-masng jadi berdekatan setelah sebelumnya berjauhan ? ini mustahil bagi Allah SWT, karena perubahan padaNya merupakan kemustahilan. Bahkan, Dia senantiasa berada dalam kesempurnaan dan keagungan sejak jaman azali hingga kini.
Contoh kondisi di atas yang berhubungan langsung dengan kedekatan orang per orang, mungkin bisa dikatakan sebagai berikut : dua orang dapat saling berdekatan dengan cara masing-masing bergerak untuk mendekat, atau, satu orang tetap di tempat, sementara yang lain bergerak mendekat. Artinya, satu orang bergeser, sementara yang lain tidak.
Begitu pula dengan kedekatan sifat. Seorang murid berusaha mendekati posisi gurunya dalam hal kualitas keilmuannya yang sudah sempurna. Sang guru berdiri di atas kualitas keilmuannya yang sempurna dan tidak bergerak turun ke posisi muridnya. Sementara itu, si murid bergerak dari bumi kebodohan naik ke ketinggian ilmu pengetahuan. Ia terus-menerus berubah dan naik sampai ia mendekati gurunya, sedangkan sang guru tidak berubah dan tetap dalam posisinya.
Demikianlah mestinya kita memahami bagaimana seorang hamba naik ke peringkat kedekatan dengan Allah SWT. Ketika sifatnya sudah menjadi sangat sempurna, ilmu dan penguasaannya terhadap hakikat permasalahan sudah sangat mumpumi, kemampuannya menaklukan setan dan membungkam hawa nafsu sudah sangat maksimal, maka ketika itu pula ia sudah sangat mendekati peringkat kesempurnaan. Meski begitu, ia tak akan pernah mencapai puncaknya, karena puncak kesempurnaan mutlak hanya milik Allah SWT. Kedekatan masing-masing orang kepada Allah didasarkan atas kesempurnaannya.
Memang, kadang terjadi seseorang murid dapat mendekati gurunya, menyamai, atau bahkan melebihi. Namun, hal ini mustahil terjadi kepada Allah SWT, karena kesempurnaanNya tidak terbatas. Lagi pula tidak mungkin seorang hamba dapat menempuh jalan hingga mencapai tingkat kesempurnaan. Ia pasti akan berhenti pada satu titik batas yang telah ditetapkan dan tidak bisa bercita-cita lebih jauh untuk menyamai Tuhan.
Kemudian tingkat kedekatan masing-masing hamba kepada Allah SWT pun berbeda-beda secara tidak terbatas. Sebab kesempurnaan itu sendiri tidak mengenal batas. Kalau begitu, maka kecintaan Allah kepada hambaNya mestilah dimaknai sebagai perbuatan Allah mendekatkan hamba kepada diriNya dengan cara menanggalkan kesibukan [dengan urusan dunia] kemaksiatan dari hamba itu, juga menyucikan batinnya dari kotoran-kotoran dunia, dan mengangkat tabir dari hatinya, sehingga ia dapat menyaksikan diriNya. Singkatnya, seolah-olah ia melihat Allah dengan kalbunya.
Sementara itu, kecintaan hamba kepada Allah SWT dimaknai sebagai kecenderungan untuk meraih kesempurnaan yang tidak ada pada dirinya. Apa yang tidak ada pada dirinya itualh yang pasti akan terus dirindukannya. Kalau sudah tercapai, walau hanya sebagian kecil saja, ia pasti merasa nikmat dan senang. Cinta dan kerinduan dalam arti ini jelas mustahil bagi Allah SWT.
Jika ada yang mengatakan, “kecintaan Allah kepada hambaNya merupakan persoalan yang masih rancu dan tidak jelas,” maka saya ingin bertanya, “apa indikasi untuk mengetahui bahwa seseorang itu kekasih Allah ?.”
Untuk mengetahui indikasinya, kita patut menyimak sabda Rasulullah SAW di dalam hadist yang diriwayatkan oleh Al Thabrani melalui jalur Abu ‘Utbah Al Khawlani : “jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memberinya cobaan. Jika Dia sungguh-sungguh sangat mencintainya, maka Dia akan memilikinya.” Seorang sahabat bertanya, “maksudnya Dia akan memilikinya ?” Beliau menjawabnya, “Dia tidak akan menyisakan keluarga dan harta sedikitpun untuknya.”
Jadi, indikasi kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah bahwa Allah SWT melepaskan orang itu dari ketergantungan kepada selain diriNya, juga menghalangi antara dia dan selain diriNya.
Nabi Isa AS pernah ditanya “Mengapa Anda tidak membeli keledai saja sebagai kendaraan Anda ?” Beliau menjawab, “Aku lebih merasa mulia di sisi Allah dibandingkan dengan melupakan Dia gara-gara sibuk mengurusi keledai.”
Dalam hadist disebutkan, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan memberinya cobaan. Jika ia sabar, maka Dia akan memilihnya. Dan jika ia rela [menerima cobaan itu], maka Dia akan menyucikannya” [HR Al Firdaws melalui jalur Ali Ibn Abi Thalib].
Dalam hadist yang diriwayatkan oleh Abu Manshur Al Daylami melalui jalur Ummu Salmah, Rasulullah SAW bersabda, “Jika Allah mencintai seorang hamba, maka Dia akan menjadikan sang pemberi peringatan kepada dirinya, juga sang pencegah terhadap hatinya yang akan memerintahnya dan melarangnya.” Beliau juga bersabda, “Jika Allah menghendaki seorang hamba itu baik, maka Dia akan memperlihatkan aib dirinya.”
Indikasi paling signifikan kecintaan Allah kepada seorang hamba adalah kecintaan hamba itu sendiri kepada Allah. Hal itu sekaligus merupakan bukti kecintaan Allah kepada hamba tersebut.
Adapun perbuatan yang menunjukkan bahwa seorang hamba dicintai Allah adalah bahwa Dia membimbing langsung semua urusannya, baik lahir maupun batin, baik yang transparan maupun yang rahasia. Dialah yang memberi petunjuk kepadanya, menghiasi akhlaknya, yang menggerakkan seluruh organ tubuhnya, serta meluruskan lahir dan batinnya. Dialah yang memfokuskan cita-citanya pada satu tujuan [yaitu Allah SWT], menutup hatinya dari dunia, dan merasa tidak berkepentingan terhadap selain Dia. Dialah yang menjadikan hamba itu merasa puas menikmati munajat dalam khalwat [kesendiriannya], juga menyingkap tabir antara Dia dan makrifatnya.
Itulah beberapa contoh yang mengindikasikan kecintaan Allah kepada seorang hamba. Selanjutya, saya akan menjelaskan indikasi kecintaan hamba kepada Allah. Sebab, sebagaimana dijelaskan di atas, ini juga termasuk salah satu indikasi kecintaan Allah kepada seorang hamba.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan