Bab yang menjelaskan prihal Puasa
Pasal Ke limapuluh satu
Menentukan Awal Puasa
Pasal Ke limapuluh satu
Menentukan Awal Puasa
Disini akan disebut segala sebab-sebab yang mewajibkan melakukan puasa Ramadhan:
Ru’yatul Hilal:
Maka adalah:
* Setiap orang yang melihat bulan dengan matanya sendiri, maka wajib atasnya berpuasa, walaupun Sabit Ru’yah (terlihat bulan sabit) malam itu atau tidak. Begitupun bagi orang yang tidak melihat bulan, jika ia mengi’tiqadkan (meyakini diri) akan kebenaran orang yang melihat bulan itu, sekalipun yang melihatnya itu orang yang bukan adil, maka wajib atasnya berpuasa.
* Jika orang hanya menyangka (mengira-ngira) akan kebenaran orang yang melihat bulan itu, maka boleh baginya puasa.
* Jika ia syak (meragukan) akan kebenaran yang melihat bulan itu, maka tidak diharuskan baginya berpuasa.
Hisab (hitungan):
Berpuasa dengan memakai Hisab (perhitungan) dalam menetapkan bulan Ramadhan, atau bulan Sya’ban atau lainnya, maka tidak mengharuskan orang berpuasa, melainkan jika yang menghisab itu (mengitung itu) orang yang telah pandai ilmunya dalam ilmu Hisab Taqwim yaitu ilmu yang mempelajari akan perjalanan Matahari, Bulan, Buruj dan munzalah, yang berada keduanya itu pada malam ru’yah atau pada malam adanya bulan, serta ada berapa derajat didalam buruj-buruj atau munzalah dan berapa derajat antara keduanya.
* Maka apabila seseorang mengetahui akan sekalian ilmu itu, disebutlah orang itu Hasib (ahli menghitung), boleh bagi dirinya sendiri berpuasa dengan hisab taqwimnya, itupun tidak menjadi puasanya itu pada bilangan bulan Ramadhan, Pada Syekh Ibnu Hajar di tahfid, melainkan jadi puasanya itu puasa sunnah saja.
* Jika seseorang kepandaian ilmu hisabnya hanya sekedar taqlid (garis besar) saja, atau disebut Ahjaza Dabawuda atau dengan almunka, padahal ia tidak mengetahui akan taqwim seperti yang tersebut di atas, maka tidak boleh dan tidak sah baginya berpuasa dengan hisabnya itu. Karena bukan seperti itu yang dinamakan Hasib (ahli hitung) oleh kalangan ulama.
Hisab dan Ru’yah:
Jika satu orang melihat bulan Sya’ban dengan matanya sendiri atau ia mengi’tiqadkan (berkeyakinan) akan kebenaran orang yang melihatnya, sekalipun orang itu bukan adil; maka apabila cukup hitungan 30 (tigapuluh) hari akan bulan Sya’ban, wajiblah bagi keduanya itu berpuasa sekalipun orang lain kebanyakan belum berpuasa.
Dan hukum ini berlaku hanya kepada orang tersebut saja.
Tetapi jika hanya sekedar mendapat keterangan dari salah satu orang yang melihat bulan itu, maka tidak harus baginya berpuasa.
Penentuan Puasa Secara Umum:
Sedangkan hukum berpuasa secara umum pada sekalian orang adalah:
* Jika bulan Sya’ban itu dilihat oleh banyak orang pada malam 30 (tigapuluh) Rajab.
Maka apabila telah cukup 30 (tigapuluh) hari dari bulan Sya’ban, wajiblah hukumnya berpuasa bagi sekalian orang pada negeri itu, sekalipun tidak terlihat bulan Ramadhan atau tidak ada Qadhi Syar’i (orang atau lembaga yang menerima akan suatu kesaksian misalnya Departemen Agama) pada negeri itu.
* Jika telah cukup 30 Sya’ban, 30 Kamal Rajab dan dari ru’yahnya pula yang sabit pada orang-orang banyak adanya, maka wajib berpuasa secara umum jika pada malam 30 Sya’ban dapat terlihat bulan Ramadhan oleh orang banyak.
* Jika pada malam 30 Rajab atau 30 Sya’ban atau 30 Ramadhan tidak banyak orang yang melihat bulan, melainkan hanya dua atau tiga orang, kemudian beberapa orang itu bersaksi bahwa mereka mengaku dengan sebenar-benarnya melihat bulan, maka syarat memberlakukan puasa secara umum adalah seperti yang disebut oleh sebahagian besar ulama di dalam kitab yang mu’tamad, bahwa saksi-saksi itu harus lengkap padanya syarat-syarat adil, dan syarat-syarat mar’ut, dan diterima akan saksi-saksi itu oleh qadhi syar’i, yaitu yang sempurna baginya ruku-rukun qadhi dan syarat-syaratnya.
Jika tidak sempurna baginya yang demikian itu, atau tidak sempurna bagi saksi-saksi akan syarat-syarat adil dan syarat-syarat mar’ut, maka tidak wajib dan tidak harus bagi umum sekalian berpuasa, malainkan hanya bagi orang-orang yang mengi’tiqadkan (berkeyakinan) kebenaran akan saksi-saksi itu, maka wajib baginya berpuasa, itupun jikalau tidak didapat keterangan yang menyalahkannya (membantah).
Syarat-syarat adil dan syarat-syarat mar’ut maka telah tersebut sekaliannya itu di dalam segala kitab yang mu’tamad, dan syaratnya terlalu banyak.
Sebahagian daripada syarat-syarat adil adalah bahwa orang tersebut memiliki sikap sebagai berikut:
1. Selalu memerintahkan akan yang wajib, dan mencegah atas perbuatan yang haram.
2. Tidak pernah mendengarkan bunyi-bunyian yang haram.
3. Mencegah orang lain meninggalkan shalat.
Adapun syarat-syarat Mar’aut adalah:
1. Orang tersebut tidak pernah meninggalkan Shalat Sunnah.
2. Tidak pernah jatuh akan bulu jenggotnya.
Apakah ada manusia yang memiliki syarat-syarat seperti ini pada jaman sekarang?
Apalagi ditambah dengan syarat-syarat yang lain, maka hendaknya diketahui akan syarat-syarat yang lain itu dan dapat dilihat di dalam kitab Fiqih yang Mu’tamad, yaitu bagi mereka yang mengetahui akan bahasa arab dan sudah lama waktunya ia mengaji (menuntut ilmu agama) pada guru-guru yang mengerti.
Maka nanti akan di dapat keterangan baginya apakah ada atau tidak di negerinya akan saksi yang memiliki syarat-syarat saksi serta rukun-rukun qadhi dan syarat-syaratnya.
Bilamana hendak mengetahui akan yang demikian itu maka dapat dibaca pada kitab yang dinaqol dari kitab-kitab yang mu’tamad sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami, yaitu pada kitab Taudhihul Adillah, atau kitab Qauninul Syar’iyyah.
Pasal Ke limapuluh dua
Syarat-syarat Sahnya Puasa
Syarat-syarat Sahnya Puasa
Syarat-syarat Shahnya berpuasa adalah:
1. Islam.
2. Niat setiap malam pada puasa wajib seperti Ramadhan atau puasa wajib lainnya. Jika puasa sunnah maka afdhalnya niatnya pada malamnya, tetapi boleh niatnya sebelum tergelincir Matahari dan belum makan dan minum.
Lafaz niat Puasa Ramadhan yang aqmal adalah:
نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ أَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَّهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى.
Artinya: Sahjaku puasa esok hari daripada menunaikan fardhu bulan Ramadhan pada ini tahun Lillahi Ta’ala. (niat ini dibaca di dalam hati)
3. Mencegah diri daripada sengaja makan dan minum, serta memasukkan sesuatu barang atau benda kedalam lubang badannya.
4. Mencegah diri daripada sengaja muntah.
5. Mencegah diri daripada jima’ atau pekerjaan lainnya yang mengeluarkan mani.
* Apabila makan atau minum atau jima’ oleh karena ia lupa, tidak menjadi batal puasanya.
* Tetapi jika ia ingat pada tengah-tengah pekerjaan yang demikian itu maka wajib segera diberhentikan.
* Tidak batal puasa jika menelan ludah yang tidak dicampur apa-apa seperti riak/lendir atau darah atau bekas-bekas sisa makanan, atau lainnya.
* Adapun merokok atau menyisik tembakau maka membatal-kan puasa karena termakan sedikit diludahnya yang bercampur dengan sedikit bekas-bekas benda itu.
6. Suci daripada Haidh (menstruasi) dan Nifas (mengeluarkan darah melahirkan) pada seharian berpuasa itu.
7. Berakal pada seharian berpuasa itu.
* Apabila mendapat haid (mens) atau nifas (keluar darah) sekalipun sedikit dan waktunya sebentar saja pada hari berpuasa itu, maka batal puasanya.
* Demikian pula jika mendapat hilang akal seperti gila atau mabuk daripada minuman atau makanan maka batal puasanya sekalipun hilang akal atau mabuknya itu hanya sebentar saja.
* Adapun mabuk yang diuzurkan oleh Syara’ misalnya, pada malamnya (atau diwaktu sahur) ia makan suatu makanan yang dia tidak mengetahui bahwa makanan itu memabukkan. Jika tiba-tiba pada siang harinya ia menjadi mabuk, maka tidak menjadi batal puasanya, jika mabuknya tidak terus-menerus pada seharian itu.
* Demikian pula jika mendapat penyakit pitam (ayan), jika tidak terus-menerus pada seharian itu, maka tidak batal puasanya.
Hari-hari yang diharamkan berpuasa:
1. Tidak Sah dan haram hukumnya orang yang berpuasa pada dua hari raya yaitu hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha.
2. Tidak Sah dan haram orang yang berpuasa pada hari-hari Tasyrik, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 daripada bulan haji atau Zulhijjah.
3. Haram hukumnya mengawali puasa pada hari yang syak (ragu-ragu), yaitu pada hari tanggal 30 Sya’ban jika ada yang mengabarkan bahwa ada orang melihat bulan tetapi tidak cukup syarat qabulnya.
Sebagaimana yang tersebut maka bersabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:
مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَ أَ بَا الْقَاسِمِ.
Artinya: Barangsiapa berpuasa dihari Syak maka niscaya bermaksiat olehnya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.
4. Haram hukumnya berpuasa sunnah yang di mulai dihari 16 bulan Sya’ban hingga akhir bulan Sya’ban.
Pasal Ke limapuluh tiga
Syarat-syarat Wajib Berpuasa
Syarat-syarat Wajib Berpuasa
Syarat-syarat Wajib Berpuasa:
1. Islam
2. ‘Aqil Balligh (berakal dan dewasa)
3. Kuasa.
Tidak wajib qadha puasa atas seorang kafir jika masuk Agama Islam, begitu pula kepada orang gila bila sudah sembuh dan juga anak-anak jika telah balligh (dewasa).
* Wajib atas seorang Bapak dan Ibu untuk memerintahkan anak-anaknya untuk berpuasa ketika anaknya itu telah berumur 7 tahun, dan boleh dipukul dengan pukulan yang tidak melukai bilamana anak tersebut tidak mau berpuasa padahal anak itu telah berumur 10 tahun, itupun jika anak-anak tersebut kuasa untuk berpuasa.
* Tidak wajib berpuasa bagi orang yang tidak kuasa berpuasa dikarenakan sangat tuanya atau karena terkena suatu penyakit yang tidak dapat diharapkan lagi untuk kesembuhannya.
* Tetapi Wajib atas keduanya itu untuk mengeluarkan fidyah setiap hari 1 (satu) mud selama ia tidak berpuasa, yaitu setengah gentong fitrah (2,5 kg) yang diberikan kepada fakir miskin seperti zakat fitrah.
* Orang yang sakit yang tidak sanggup berpuasa atau orang yang sedang berlayar (musafir) sejauh dua marhalah (90 KM) maka boleh bagi keduanya itu tidak berpuasa, tetapi wajib qadha’ di kemudian hari, adapun jika ia tidak mengqadha’ hingga bertemu lagi pada bulan Ramadhan berikutnya, maka wajib bagi keduanya itu bersama-sama dengan qadha’ puasanya adalah membayar fidyah atas tiap-tiap hari yang tidak berpuasa 1 (satu) mud.
Jika orang tersebut senantiasa sakit terus-menerus hingga meninggal dunia, maka tidak wajib suatu apapun.
Jika orang tersebut telah sembuh dan sehat yang membolehkan dia membayar qadha’ puasanya, tapi tidak juga dia membayar qadha’nya itu hingga dia meninggal dunia, maka wajib padanya tiap-tiap satu hari tidak berpuasa adalah 1 (satu) mud.
Pasal Ke limapuluh empat
Makruh Dalam Berpuasa
Makruh Dalam Berpuasa
Makruh (dibenci Allah SWT) atas orang yang berpuasa memakai wangi-wangian, sifat mata, bersugi (sikat gigi) apabila sudah gelincir matahari.
Pasal Ke limapuluh lima
Sunnah-Sunnah Dalam Berpuasa
Sunnah-Sunnah Dalam Berpuasa
Sunnah-sunah dalam berpuasa, yaitu:
1. Membaca kitab suci Al-Qur’an dengan memakai adab dan tatacaranya.
2. Sunnah berI’tikaf (berdiam) di dalam Masjid.
3. Menyegerakan berbuka puasa jika yakin sudah masuk Maghrib.
4. Mengakhirkan waktu sahur sebelum masuk waktu imsak.
5. Sunnah berbuka puasa dengan kurma.
6. Sunnah membaca do’a ini setelah berbuka puasa:
أَللَّـهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ، ذَهَبَ الظَمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ، وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَلَى.
Artinya:
Ya Allah Tuhanku bagi Engkau aku berpuasa dan atas rizki Engkau aku berbuka puasa, telah berlalu rasa dahaga dan telah basah selurut urat-urat badan, dan telah tetap ganjaran pahalanya Insya Allah Ta’ala.
Pasal Ke limapuluh enam
Yang Membatalkan Pahala Puasa
Yang Membatalkan Pahala Puasa
Tersebut di dalam Hadist Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:
خَمْسُ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ الْكِذْبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالْيَمِيْنُ الْكَاذِبَةُ وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ.
Artinya:
Ada lima perkara yang membatalkan pahala puasa, yaitu: Berdusta (berbohong), mengumpat (marah-marah), mengadu domba satu sama lain (menceritakan orang), bersumpah dusta (sumpah bohong), melihat dengan syahwat.
Pasal Ke limapuluh tujuh
Puasa-puasa Sunnah
Puasa-puasa Sunnah
Puasa-puasa sunnah yang dapat dikerjakan adalah:
1. Sunnah berpuasa pada 6 hari di bulan Syawwal dan afdhalnya dari hari yang ke-2 setelah Hari Raya Idhul Fitri, berturut-turut.
2. Sunnah berpuasa pada tanggal 8 dan 9 bulan Zulhijjah, yaitu yang dinamakan yaumal tarwiyah (hari tarwiyah) dan yaumal arofah (hari orang berwukuf).
3. Sunnah berpuasa pada tanggal 9 dan 10 bulan Muharram, yaitu yang dinamakan yauma tasu’a dan yauma ‘asyura.
4. Sunnah berpuasa di bulan Rajab, bulan Sya’ban, bulan Zulqaidah, dan bulan Zulhijjah selain daripada hari raya Idhul Adha dan hari tasyrik yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijjah.
5. Sunnah berpuasa pada setiap hari Senin dan Kamis.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan