Selasa, November 20

Bersandar Diri Kepada ALLAH SWT



“Sebagai tanda orang yang bersandar diri pada kekuatan amal usahanya ialah kurang harapnya ketika diperoleh kesalahan(kegagalan)”.

Kurang harap ketika maksiat, sempurna harap dikala taat.
Orang yang jahil (bodoh) selalu memperhatikan dan menyandarkan dirinya semata-mata hanya kepada perbuatan dan amal usahanya. Mereka kurang harap ketika maksiat, sempurna harap dikala taat. Berbeda dengan orang yang arif, ia tidak merasa bahwa dirinya punya usaha dan ikhtiar.


“Sebagai tanda orang yang bersandar diri pada kekuatan amal usahanya ialah kurang harapnya ketika diperoleh kesalahan(kegagalan)”.


Kurang harap ketika maksiat, sempurna harap dikala taat.
Orang yang jahil (bodoh) selalu memperhatikan dan menyandarkan dirinya semata-mata hanya kepada perbuatan dan amal usahanya. Mereka kurang harap ketika maksiat, sempurna harap dikala taat. Berbeda dengan orang yang arif, ia tidak merasa bahwa dirinya punya usaha dan ikhtiar.

Dalam kaitan ini manusia dapat dipilah kedalam tiga kelompok:
1. Orang yang bersandar diri pada konsep, strategi dan kekuatan usahanya. Mereka akan frustasi ketika konsep, strategi dan kekuatan usahanya gagal total. Orang-orang yang jahil dalam mencapai dan menuju suatu apapun selalu mengandalkan teori dan usahanya. Hal ini, sebenarnya berbahaya bagi dirinya. Sebab ada dua kemungkinan, yang keduanya sama-sama merusak akidahnya. Dua kemungkinan itu ialah:
a. Jika berhasil menggapainya, maka akan muncul kebanggaan dan kesombongan yang membersit dari lubuk hatinya. Seraya lupa kepada anugerah Tuhannya.
b. Jika gagal mencapainya, maka akan muncul kekecewaan dan sekaligus frustasi. Seolah-olah tidak punya keyakinan tentang kekuasaan dan kehendak takdir Tuhannya.
Persandaran semacam ini, khususnya bagi para salikin dan thoriqin (orang yang berjalan menuju kepada Allah) adalah suatu “ilat” (cacat) dalam perjalanan menuju kepada-Nya. Maka sudah selayaknya, bahwa orang yang sedang mengamalkan “riyadoh dan mujahadah” tidak mempunyai prinsip dan pandangan semacam orang-orang awam.

“Ketika kamu tidak mengetahui (akibat) perbuatanmu itu” (QS Yusuf ayat 89)

2. Orang yang bersandar diri pada anugerah Allah baik dalam suka maupun duka. Bersandar diri kepada anugerah Allah sudah menjadi sifat orang-orang yang selalu tawakkal kepada-Nya dalam segala urusan.

“Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakallah (serahkan) kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserah diri (tawakkal) kepada-Nya”. (QS. Al-Imran ayat 159)

Sudah selayaknya, bagi orang-orang yang sedang menuju kepada Allah, menyerahkan segala urusannya hanya kepada-Nya. Baik yang lahiriah maupun yang bathiniah. Sebagai contoh, jika menerima kebaikan atau suatu nikmat, maka hendaklah jangan lupa bahwa hal itu semata-mata karena anugerah dari Allah. Begitu pula sebaliknya, bila mendapat suatu musibah maka hendaklah berlindung kepada-Nya dan memohon pertolongan-Nya. Adapun yang dimaksud dengan lahiriah ialah berbagai macam urusan dan kesibukan yang terkait dengan piranti kehidupan dunia. Lain pula yang dimaksud bathiniah, ialah yang berkaitan erat dengan perjalanan ruhaniah, seperti dalam pelaksanaan ibadah ritual dan lain sebagainya.

3. Orang yang bersandar diri kepada Allah, yang tak gundah karena ketiadaan sebab dan tak bertambah atau berkurang harapnya karena sesuatu. Jika diadakan perbandingan antara harap dengan takut, niscaya akan selalu ditemui dalam keseimbangan, tetapi akhwalnya mereka selalu dalam keadaan sukacita.
Ini adalah sifat dan sikap para “Arifin Billah” --orang-orang yang telah mengenal Allah (ma’rifah). Yaitu orang yang menyerahkan diri serta diam dibawah perintah segala “hukum”. Juga selalu memandang kepada Tuhannya seiring “fana”[1] dirinya.

Kelompok pertama merupakan maqam[2] aam; yaitu sifat dan pendirian orang awam. Sedang kelompok kedua ialah “maqam khush”, yaitu sifat “ahlul ‘abid”[3] dan kebanyakan dari para salikin atau thoriqin. Bagian yang ketiga disebut maqam “khusushul khusush”, yaitu tingkatan orang-orang yang telah sampai kepada-Nya. Dialah yang disebut “waliyullah”.

Meskipun kita tidak boleh bersandar pada amal perbuatan yang kita lakukan, namun tak luput pula bagi kita untuk terus melakukan amal perjuangan yang menjadi barometer dan pertanda sukses atau tidaknya perjalanan seseorang.

Oleh karena itu, barangsiapa sampai kepada hakekat Islam, ia tak akan berhenti dari amal. Maksudnya, bahwa ciri orang yang telah mengerti tentang keislamannya, tentu ia tidak mungkin akan pasif dari amalan (pekerjaan Islam). Karena seseorang mendapat predikat Islam disebabkan mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara kontinyu.

Begitu pula, bagi orang yang telah sampai pada hakekat iman, ia tidak kuasa berpaling dari amal. Berpaling dari amal sama dengan kufur (ingkar), maka orang yang kufur amal tidak disebut orang yang beriman. Sebab, hanya orang-orang yang beriman yang tidak bergeming dari berbagai amal ibadah. Hanya iman yang menjadi alat untuk memacu amal ibadah seseorang.

Lain pula orang yang telah sampai pada hakekat ihsan, ia tiada kuasa berpaling kepada selain dari Allah. Disebut ikhsan bila kualitas ibadah telah mencapai “ikhlas”. Yang dikehendaki ikhlas disini ialah “murni tujuannya”.

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus” (QS. Al-Bayyinah : 5).

Tiada ulasan:

Catat Ulasan