Bismilahirrahmanirrahim Walhamdulillahi Rabbil ‘aalamiin Wassholatu Wassalamu `Ala Rasulillah, Wa’ala Aalihie Washohbihie Waman Walaah amma ba’du… Ada beberapa nama yang bisa disebut sebagai tokoh Kitab Kuning Indonesia. Sebut misalnya, Syekh Nawawi Al-Bantani, Syekh Abdul Shamad Al-Palimbani, Syekh Yusuf Makasar, Syekh Syamsudin Sumatrani, Hamzah Fansuri, Nuruddin Al-Raniri, Sheikh Ihsan Al-Jampesi, dan Syekh Muhammad Mahfudz Al-Tirmasi. Mereka ini termasuk kelompok ulama yang diakui tidak hanya di kalangan pesantren di Indonesia, tapi juga di beberapa universitas di luar negeri. Dari beberapa tokoh tadi, nama Syekh Nawawi Al-Bantani boleh disebut sebagai tokoh utamanya. Ulama kelahiran Desa Tanara, Kecamatan Tirtayasa, Serang, Banten, Jawa Barat, 1813 ini layak menempati posisi itu karena hasil karyanya menjadi rujukan utama berbagai pesantren di tanah air, bahkan di luar negeri. Bernama lengkap Abu Abdullah al-Mu’thi Muhammad Nawawi bin Umar al-Tanari al-Bantani al-Jawi, Syekh Nawawi sejak kecil telah diarahkan ayahnya, KH. Umar bin Arabi menjadi seorang ulama. Setelah mendidik langsung putranya, KH. Umar yang sehari-harinya menjadi penghulu Kecamatan Tanara menyerahkan Nawawi kepada KH. Sahal, ulama terkenal di Banten. Usai dari Banten, Nawawi melanjutkan pendidikannya kepada ulama besar Purwakarta Kyai Yusuf. Ketika berusia 15 tahun bersama dua orang saudaranya, Nawawi pergi ke Tanah Suci untuk menunaikan ibadah haji. Tapi, setelah musim haji usai, ia tidak langsung kembali ke tanah air. Dorongan menuntut ilmu menyebabkan ia bertahan di Kota Suci Mekkah untuk menimba ilmu kepada ulama-ulama besar kelahiran Indonesia dan negeri lainnya, seperti Imam Masjidil Haram Syekh Ahmad Khatib Sambas, Abdul Ghani Bima, Yusuf Sumbulaweni, Syekh Nahrawi, Syekh Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan, Muhammad Khatib Hambali, dan Syekh Abdul Hamid Daghestani. Tiga tahun lamanya ia menggali ilmu dari ulama-ulama Mekkah. Setelah merasa bekal ilmunya cukup, segeralah ia kembali ke tanah air. Ia lalu mengajar dipesantren ayahnya. Namun, kondisi tanah air agaknya tidak menguntungkan pengembangan ilmunya. Saat itu, hampir semua ulama Islam mendapat tekanan dari penjajah Belanda. Keadaan itu tidak menyenangkan hati Nawawi. Lagi pula, keinginannya menuntut ilmu di negeri yang telah menarik hatinya, begitu berkobar. Akhirnya, kembalilah Syekh Nawawi ke Tanah Suci. Kecerdasan dan ketekunannya mengantarkan ia menjadi salah satu murid yang terpandang di Masjidil Haram. Ketika Syekh Ahmad Khatib Sambas uzur menjadi Imam Masjidil Haram, Nawawi ditunjuk menggantikannya. Sejak saat itulah ia menjadi Imam Masjidil Haram dengan panggilan Syekh Nawawi al-Jawi. Selain menjadi Imam Masjid, ia juga mengajar dan menyelenggarakan halaqah (diskusi ilmiah) bagi murid-muridnya yang datang dari berbagai belahan dunia. Laporan Snouck Hurgronje, orientalis yang pernah mengunjungi Mekkah ditahun 1884-1885 menyebut, Syekh Nawawi setiap harinya sejak pukul 07.30 hingga 12.00 memberikan tiga perkuliahan sesuai dengan kebutuhan jumlah muridnya. Di antara muridnya yang berasal dari Indonesia adalah KH. Kholil Madura, K.H. Asnawi Kudus, K.H. Tubagus Bakri, KH. Arsyad Thawil dari Banten dan KH. Hasyim Asy’ari dari Jombang. Mereka inilah yang kemudian hari menjadi ulama-ulama terkenal di tanah air. Sejak 15 tahun sebelum kewafatannya, Syekh Nawawi sangat giat dalam menulis buku. Akibatnya, ia tidak memiliki waktu lagi untuk mengajar. Ia termasuk penulis yang produktif dalam melahirkan kitab-kitab mengenai berbagai persoalan agama. Paling tidak 34 karya Syekh Nawawi tercatat dalam Dictionary of Arabic Printed Books karya Yusuf Alias Sarkis. Beberapa kalangan lainnya malah menyebut karya-karyanya mencapai lebih dari 100 judul, meliputi berbagai disiplin ilmu, seperti tauhid, ilmu kalam, sejarah, syari’ah, tafsir, dan lainnya. Di antara buku yang ditulisnya dan mu’tabar (diakui secara luas–Red) seperti Tafsir Marah Labid, Atsimar al-Yaniah fi Ar-Riyadah al-Badiah, Nurazh Sullam, al-Futuhat al-Madaniyah, Tafsir Al-Munir, Tanqih Al-Qoul, Fath Majid, Sullam Munajah, Nihayah Zein, Salalim Al-Fudhala, Bidayah Al-Hidayah, Al-Ibriz Al-Daani, Bugyah Al-Awwam, Futuhus Samad, dan al-Aqdhu Tsamin. Sebagian karyanya tersebut juga diterbitkan di Timur Tengah. Dengan kiprah dan karya-karyanya ini, menempatkan dirinya sebagai Sayyid Ulama Hijaz hingga sekarang. Dikenal sebagai ulama dan pemikir yang memiliki pandangan dan pendirian yang khas, Syekh Nawawi amat konsisten dan berkomitmen kuat bagi perjuangan umat Islam. Namun demikian, dalam menghadapi pemerintahan kolonial Hindia Belanda, ia memiliki caranya tersendiri. Syekh Nawawi misalnya, tidak agresif dan reaksioner dalam menghadapi kaum penjajah. Tapi, itu tak berarti ia kooperatif dengan mereka. Syekh Nawawi tetap menentang keras kerjasama dengan kolonial dalam bentuk apapun. Ia lebih suka memberikan perhatian kepada dunia ilmu dan para anak didiknya serta aktivitas dalam rangka menegakkan kebenaran dan agama Allah SWT. Dalam bidang syari’at Islamiyah, Syekh Nawawi mendasarkan pandangannya pada dua sumber inti Islam, Alquran dan Al-Hadis, selain juga ijma’ dan qiyas. Empat pijakan ini seperti yang dipakai pendiri Mazhab Syafi’iyyah, yakni Imam Syafi’i. Mengenai ijtihad dan taklid (mengikuti salah satu ajaran), Syekh Nawawi berpendapat, bahwa yang termasuk mujtahid (ahli ijtihad) mutlak adalah Imam Syafi’i, Hanafi, Hanbali, dan Maliki. Bagi keempat ulama itu, katanya, haram bertaklid, sementara selain mereka wajib bertaklid kepada salah satu keempat imam mazhab tersebut. Pandangannya ini mungkin agak berbeda dengan kebanyakan ulama yang menilai pintu ijtihad tetaplah terbuka lebar sepanjang masa. Barangkali, bila dalam soal mazhab fikih, memang keempat ulama itulah yang patut diikuti umat Islam kini. Apapun, umat Islam patut bersyukur pernah memiliki ulama dan guru besar keagamaan seperti Syekh Nawawi Al-Bantani. Kini, tahun haul (ulang tahun wafatnya) diperingati puluhan ribu orang di Tanara, Banten, setiap tahunnya. Syekh Nawawi al-Bantani wafat dalam usia 84 tahun di Syeib A’li, sebuah kawasan di pinggiran kota Mekkah, pada 25 Syawal 1314H/1879 M.
Syekh Muhammad bin Umar Nawawi Al-Bantani Al-Jawi, adalah ulama Indonesia bertaraf internasional, lahir di Kampung Pesisir, Desa Tanara, Kecamatan Tanara, Serang, Banten, 1815. Sejak umur 15 tahun pergi ke Makkah dan tinggal di sana tepatnya daerah Syi’ab Ali, hingga wafatnya 1897, dan dimakamkan di Ma’la. Ketenaran beliau di Makkah membuatnya di juluki Sayyidul Ulama Hijaz (Pemimpin Ulama Hijaz). Daerah Hijaz adalah daerah yang sejak 1925 dinamai Saudi Arabia (setelah dikudeta oleh Keluarga Saud).
Diantara ulama Indonesia yang sempat belajar ke Beliau adalah Syaikhona Khalil Bangkalan dan Hadratusy Syekh KH Hasyim Asy’ari. Kitab-kitab karangan beliau banyak yang diterbitkan di Mesir, seringkali beliau hanya mengirimkan manuscriptnya dan setelah itu tidak mempedulikan lagi bagaimana penerbit menyebarluaskan hasil karyanya, termasuk hak cipta dan royaltinya. Selanjutnya kitab-kitab beliau itu menjadi bagian dari kurikulum pendidikan agama di seluruh pesantren di Indonesia, bahkan Malaysia, Filipina, Thailand, dan juga negara-negara di Timur Tengah. Begitu produktifnya beliau dalam menyusun kitab (semuanya dalam bahasa Arab) hingga orang menjulukinya sebagai Imam Nawawi kedua. Imam Nawawi pertama adalah yang membuat Syarah Shahih Muslim, Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, Riyadlush Shalihin, dll. Namun demikian panggilan beliau adalah Syekh Nawawi bukan Imam Nawawi.
Jumlah kitab beliau yang terkenal dan banyak dipelajari ada sekitar 22 kitab. Beliau pernah membuat tafsir Al-Qur’an berjudul Mirah Labid yang berhasil membahas dengan rinci setiap ayat suci Al-Qur’an. Buku beliau tentang etika berumah tangga, berjudul Uqudul Lijain (diterjemahkan ke Bahasa Indonesia) telah menjadi bacaan wajib para mempelai yang akan segera menikah. Kitab Nihayatuz Zain sangat tuntas membahas berbagai masalah fiqih (syariat Islam). Sebuah kitab kecil tentang syariat Islam yang berjudul Sullam (Habib Abdullah bin Husein bin Tahir Ba’alawi), diberinya Syarah (penjelasan rinci) dengan judul baru Mirqatus Su’udit Tashdiq. Salah satu karya beliau dalam hal kitab hadits adalah Tanqihul Qoul, syarah Kitab Lubabul Hadith (Imam Suyuthi). Kitab Hadits lain yang sangat terkenal adalah Nashaihul Ibad, yang beberapa tahun yang lalu dibahas secara bergantian oleh Alm. KH Mudzakkir Ma’ruf dan KH Masrikhan (dari Masjid Jami Mojokerto) dan disiarkan berbagai radio swasta di Jawa Timur. Kitab itu adalah syarah dari kitabnya Syekh Ibnu Hajar Al-Asqalani.
Di antara karomah beliau adalah, saat menulis syarah kitab Bidayatul Hidayah (karya Imam Ghozali), lampu minyak beliau padam, padahal saat itu sedang dalam perjalanan dengan sekedup onta (di jalan pun tetep menulis, tidak seperti kita, melamun atau tidur). Beliau berdoa, bila kitab ini dianggap penting dan bermanfaat buat kaum muslimin, mohon kepada Allah SWT memberikan sinar agar bisa melanjutkan menulis. Tiba-tiba jempol kaki beliau mengeluarkan api, bersinar terang, dan beliau meneruskan menulis syarah itu hingga selesai. Dan bekas api di jempol tadi membekas, hingga saat Pemerintah Hijaz memanggil beliau untuk dijadikan tentara (karena badan beliau tegap), ternyata beliau ditolak, karena adanya bekas api di jempol tadi.
Karomah yang lain, nampak saat beberapa tahun setelah beliau wafat, makamnya akan dibongkar oleh pemerintah untuk dipindahkan tulang belulangnya dan liang lahadnya akan ditumpuki jenazah lain (sebagaimana lazim di Ma’la). Saat itulah para petugas mengurungkan niatnya, sebab jenazah Syekh Nawawi (beserta kafannya) masih utuh walaupun sudah bertahun-tahun dikubur. Karena itu, bila pergi ke Makkah, Insya Allah kita akan bisa menemukan makam beliau di Pemakaman Umum Ma’la. Banyak juga kaum Muslimin yang mengunjungi rumah bekas peninggalan beliau di Serang, Banten.
Nama Syekh Nawawi Banten sudah tidak asing lagi bagi umat Islam Indonesia. Bahkan sering terdengar disamakan kebesarannya dengan tokoh ulama klasik madzhab Syafi’i Imam Nawawi (w.676 H/l277 M). Melalui karya-karyanya yang tersebar di pesantren-pesantren tradisional yang sampai sekarang masih banyak dikaji, nama Kiai asal Banten ini seakan masih hidup dan terus menyertai umat memberikan wejangan ajaran Islam yang menyejukkan. Di setiap majlis ta’lim karyanya selalu dijadikan rujukan utama dalam berbagai ilmu; dari ilmu tauhid, fiqh, tasawuf sampai tafsir. Karya-karyanya sangat berjasa dalam mengarahkan mainstrim keilmuan yang dikembangkan di lembaga-Iembaga pesantren yang berada di bawah naungan NU.
Di kalangan komunitas pesantren Syekh Nawawi tidak hanya dikenal sebagai ulama penulis kitab, tapi juga ia adalah mahaguru sejati (the great scholar). Nawawi telah banyak berjasa meletakkan landasan teologis dan batasan-batasan etis tradisi keilmuan di lembaga pendidikan pesantren. Ia turut banyak membentuk keintelektualan tokoh-tokoh para pendiri pesantren yang sekaligus juga banyak menjadi tokoh pendiri organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Apabila KH. Hasyim Asyari sering disebut sebagai tokoh yang tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya NU, maka Syekh Nawawi adalah guru utamanya. Di sela-sela pengajian kitab-kitab karya gurunya ini, seringkali KH. Hasyim Asyari bernostalgia bercerita tentang kehidupan Syekh Nawawi, kadang mengenangnya sampai meneteskan air mata karena besarnya kecintaan beliau terhadap Syekh Nawawi.
Mengungkap jaringan intelektual para ulama Indonesia sebelum organisasi NU berdiri merupakan kajian yang terlupakan dari perhatian para pemerhati NU. Terlebih lagi bila ditarik sampai keterkaitannya dengan keberhasilan ulama-ulama tradisional dalam karir keilmuannya di Mekkah dan Madinah. Salah satu faktor minimnya kajian di seputar ini adalah diakibatkan dari persepsi pemahaman sebagian masyarakat yang sederhana terhadap NU. NU dipahami sebagai organisasi keagamaan yang seolah-olah hanya bergerak dalam sosial politik dengan sejumlah langkah-langkah perjalanan politik praktisnya, dan bukan sebagai organisasi intelektual keagamaan yang bergerak dalam keilmuan dan mencetak para ulama. Sehingga orang merasa heran dan terkagum-kagum ketika menyaksikan belakangan ini banyak anak muda NU mengusung gerakan pemikiran yang sangat maju, berani dan progressif. Mereka tidak menyadari kalau di tubuh NU juga memiliki akar tradisi intelektual keilmuan yang mapan dan tipikal. Dengan begitu NU berdiri untuk menyelamatkan tradisi keilmuan Islam yang hampir tercerabut dari akar keilmuan ulama salaf. Figur ulama seperti Syekh Nawawi Banten merupakan sosok ulama berpengaruh yang tipikal dari model pemikiran demikian.
Ia memegang teguh mempertahankan traidisi keilmuan klasik, suatu tradisi keilmuan yang tidak bisa dilepaskan dari kesinambungan secara evolutif dalam pembentukkan keilmuan agama Islam. Besarnya pengaruh pola pemahaman dan pemikiran Syekh Nawawi Banten terhadap para tokoh ulama di Indonesia, Nawawi dapat dikatakan sebagai poros dari akar tradisi keilmuan pesantren dan NU. Untuk itu menarik jika di sini diuraikan sosok sang kiai ini dengan sejumlah pemikiran mendasar yang kelak akan banyak menjadi karakteristik pola pemikiran dan perjuangan para muridnya di pesantren-pesantren.
Hidup Syekh Nawawi
Syekh Nawawi Banten memiliki nama lengkap Abu Abd al-Mu’ti Muhammad ibn Umar al- Tanara al-Jawi al-Bantani. Ia lebih dikenal dengan sebutan Muhammad Nawawi al-Jawi al-Bantani. Dilahirkan di Kampung Tanara, Serang, Banten pada tahun 1815 M/1230 H. Pada tanggal 25 Syawal 1314 H/1897 M. Nawawi menghembuskan nafasnya yang terakhir di usia 84 tahun. Ia dimakamkan di Ma’la dekat makam Siti Khadijah, Ummul Mukminin istri Nabi. Sebagai tokoh kebanggaan umat Islam di Jawa khususnya di Banten, Umat Islam di desa Tanara, Tirtayasa Banten setiap tahun di hari Jum’at terakhir bulan Syawwal selalu diadakan acara khol untuk memperingati jejak peninggalan Syekh Nawawi Banten.
Ayahnya bernama Kiai Umar, seorang pejabat penghulu yang memimpin Masjid. Dari silsilahnya, Nawawi merupakan keturunan kesultanan yang ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati, Cirebon), yaitu keturunan dari putra Maulana Hasanuddin (Sultan Banten I) yang bemama Sunyararas (Tajul ‘Arsy). Nasabnya bersambung dengan Nabi Muhammad melalui Imam Ja’far As- Shodiq, Imam Muhammad al Baqir, Imam Ali Zainal Abidin, Sayyidina Husen, Fatimah al-Zahra.
Pada usia 15 tahun, ia mendapat kesempatan untuk pergi ke Mekkah menunaikan ibadah haji. Di sana ia memanfaatkannya untuk belajar ilmu kalam, bahasa dan sastra Arab, ilmu hadis, tafsir dan terutama ilmu fiqh. Setelah tiga tahun belajar di Mekkah ia kembali ke daerahnya tahun 1833 dengan khazanah ilmu keagamaan yang relatif cukup lengkap untuk membantu ayahnya mengajar para santri. Nawawi yang sejak kecil telah menunjukkan kecerdasannya langsung mendapat simpati dari masyarakat Kedatangannya membuat pesantren yang dibina ayahnya membludak didatangi oleh santri yang datang dari berbagai pelosok. Namun hanya beberapa tahun kemudian ia memutuskan berangkat lagi ke Mekkah sesuai dengan impiannya untuk mukim dan menetap di sana.
Di Mekkah ia melanjutkan belajar ke guru-gurunya yang terkenal, pertama kali ia mengikuti bimbingan dari Syeikh Khatib Sambas (Penyatu Thariqat Qodiriyah-Naqsyabandiyah di Indonesia) dan Syekh Abdul Gani Duma, ulama asal Indonesia yang bermukim di sana. Setelah itu belajar pada Sayid Ahmad Dimyati, Ahmad Zaini Dahlan yang keduanya di Mekkah. Sedang di Madinah, ia belajar pada Muhammad Khatib al-Hanbali. Kemudian ia melanjutkan pelajarannya pada ulama-ulama besar di Mesir dan Syam (Syiria). Menurut penuturan Abdul Jabbar bahwa Nawawi juga pemah melakukan perjalanan menuntut ilmunya ke Mesir. Guru sejatinya pun berasal dari Mesir seperti Syekh Yusuf Sumbulawini dan Syekh Ahmad Nahrawi.
Setelah ia memutuskan untuk memilih hidup di Mekkah dan meninggalkan kampung halamannya ia menimba ilmu lebih dalam lagi di Mekkah selama 30 tahun. Kemudian pada tahun 1860 Nawawi mulai mengajar di lingkungan Masjid al-Haram. Prestasi mengajarnya cukup memuaskan karena dengan kedalaman pengetahuan agamanya, ia tercatat sebagai Syekh di sana. Pada tahun 1870 kesibukannya bertambah karena ia harus banyak menulis kitab. Inisiatif menulis banyak datang dari desakan sebagian koleganya yang meminta untuk menuliskan beberapa kitab. Kebanyakan permintaan itu datang dari sahabatnya yang berasal dari Jawi, karena dibutuhkan untuk dibacakan kembali di daerah asalnya. Desakan itu dapat terlihat dalam setiap karyanya yang sering ditulis atas permohonan sahabatnya. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah kitab-kitab komentar (Syarh) dari karya-karya ulama sebelumnya yang populer dan dianggap sulit dipahami. Alasan menulis Syarh selain karena permintaan orang lain, Nawawi juga berkeinginan untuk melestarikan karya pendahulunya yang sering mengalami perubahan (ta’rif) dan pengurangan.
Dalam menyusun karyanya Nawawi selalu berkonsultasi dengan ulama-ulama besar lainnya, sebelum naik cetak naskahnya terlebih dahulu dibaca oleh mereka. Dilihat dari berbagai tempat kota penerbitan dan seringnya mengalami cetak ulang sebagaimana terlihat di atas maka dapat dipastikan bahwa karya tulisnya cepat tersiar ke berbagai penjuru dunia sampai ke daerah Mesir dan Syiria. Karena karyanya yang tersebar luas dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami dan padat isinya ini nama Nawawi bahkan termasuk dalam kategori salah satu ulama besar di abad ke 14 H/19 M. Karena kemasyhurannya ia mendapat gelar: A’yan ‘Ulama’ al-Qarn aI-Ra M’ ‘Asyar Li al-Hijrah,. AI-Imam al-Mul1aqqiq wa al-Fahhamah al-Mudaqqiq, dan Sayyid ‘Ulama al-Hijaz [pemimpin Ulama daerah Hijaz, red.].
Kesibukannya dalam menulis membuat Nawawi kesulitan dalam mengorganisir waktu sehingga tidak jarang untuk mengajar para pemula ia sering mendelegasikan siswa-siswa seniornya untuk membantunya. Cara ini kelak ditiru sebagai metode pembelajaran di beberapa pesantren di pulau Jawa. Di sana santri pemula dianjurkan harus menguasai beberapa ilmu dasar terlebih dahulu sebelum belajar langsung pada kiai agar proses pembelajaran dengan kiai tidak mengalami kesulitan.
Bidang Teologi
Karya-karya besar Nawawi yang gagasan pemikiran pembaharuannya berangkat dari Mesir, sesungguhnya terbagi dalam tujuh kategorisasi bidang; yakni bidang tafsir, tauhid, fiqh, tasawuf, sejarah nabi, bahasa dan retorika. Hampir semua bidang ditulis dalam beberapa kitab kecuali bidang tafsir yang ditulisnya hanya satu kitab. Dari banyaknya karya yang ditulisnya ini dapat jadikan bukti bahwa memang Syeikh Nawawi adalah seorang penulis produktif multidisiplin, beliau banyak mengetahui semua bidang keilmuan Islam. Luasnya wawasan pengetahuan Nawawi yang tersebar membuat kesulitan bagi pengamat untuk menjelajah seluruh pemikirannya secara komprehensif-utuh.
Dalam beberapa tulisannya seringkali Nawawi mengaku dirinya sebagai penganut teologi Asy’ari (al-Asyari al-I’tiqodiy). Karya-karyanya yang banyak dikaji di Indonesia di bidang ini dianranya Fath ai-Majid, Tijan al-Durari, Nur al Dzulam, al-Futuhat al-Madaniyah, al-Tsumar al-Yaniah, Bahjat al-Wasail, Kasyifat as-Suja dan Mirqat al-Su’ud.
Sejalan dengan prinsip pola fikir yang dibangunnya, dalam bidang teologi Nawawi mengikuti aliran teologi Imam Abu Hasan al-Asyari dan Imam Abu Manshur al-Maturidi. Sebagai penganut Asyariyah Syekh Nawawi banyak memperkenalkan konsep sifa-sifat Allah. Seorang muslim harus mempercayai bahwa Allah memiliki sifat yang dapat diketahui dari perbuatannya (His Act), karena sifat Allah adalah perbuatanNya. Dia membagi sifat Allah dalam tiga bagian : wajib, mustahil dan mumkin. Sifat Wajib adalah sifat yang pasti melekat pada Allah dan mustahil tidak adanya, dan mustahil adalah sifat yang pasti tidak melekat pada Allah dan wajib tidak adanya, sementara mumkin adalah sifat yang boleh ada dan tidak ada pada Allah. Meskipun Nawawi bukan orang pertama yang membahas konsep sifatiyah Allah, namun dalam konteks Indonesia Nawawi dinilai orang yang berhasil memperkenalkan teologi Asyari sebagai sistem teologi yang kuat di negeri ini.
Kemudian mengenai dalil naqliy dan ‘aqliy, menurutnya harus digunakan bersama-sama, tetapi terkadang bila terjadi pertentangan di antara keduanya maka naql harus didahulukan. Kewajiban seseorang untuk meyakini segala hal yang terkait dengan keimanan terhadap keberadaan Allah hanya dapat diketahui oleh naql, bukan dari aql. Bahkan tiga sifat di atas pun diperkenalkan kepada Nabi. Dan setiap mukallaf diwajibkan untuk menyimpan rapih pemahamannya dalam benak akal pikirannya.
Tema yang perlu diketahui di sini adalah tentang Kemahakuasaan Allah (Absolutenes of God). Sebagaimana teolog Asy’ary lainnya, Nawawi menempatkan dirinya sebagai penganut aliran yang berada di tengah-tengah antara dua aliran teologi ekstrim: Qadariyah dan Jabbariyah, sebagaimana dianut oleh ahlussunnah wal-Jama’ah. Dia mengakui Kemahakuasaan Tuhan tetapi konsepnya ini tidak sampai pada konsep jabariyah yang meyakini bahwa sebenamya semua perbuatan manusia itu dinisbatkan pada Allah dan tidak disandarkan pada daya manusia, manusia tidak memiliki kekuatan apa-apa. Untuk hal ini dalam konteks Indonesia sebenarnya Nawawi telah berhasil membangkitkan dan menyegarkan kembali ajaran Agama dalam bidang teologi dan berhasil mengeliminir kecenderungan meluasnya konsep absolutisme Jabbariyah di Indonesia dengan konsep tawakkal bi Allah.
Sayangnya sebagian sejarawan modern terlanjur menuding teologi Asyariyah sebagai sistem teologi yang tidak dapat menggugah perlawanan kolonialisme. Padahal fenomena kolonialisme pada waktu itu telah melanda seluruh daerah Islam dan tidak ada satu kekuatan teologi pun yang dapat melawannya, bahkan daerah yang bukan Asyariyah pun turut terkena. Dalam konteks Islam Jawa teologi Asyariyah dalam kadar tertentu sebenamya telah dapat menumbuhkan sikap merdekanya dari kekuatan lain setelah tawakkal kepada Allah. Melalui konsep penyerahan diri kepada Allah umat Islam disadarkan bahwa tidak ada kekuatan lain kecuali Allah. Kekuatan Allah tidak terkalahkan oleh kekuatan kolonialis. Di sinilah letak peranan Nawawi dalam pensosialisasian teologi Asyariyahnya yang terbukti dapat menggugah para muridnya di Mekkah berkumpul dalam “koloni Jawa”. Dalam beberapa kesempatan Nawawi sering memprovokasi bahwa bekerja sama dengan kolonial Belanda (non muslim) haram hukumnya. Dan seringkali kumpulan semacam ini selalu dicurigai oleh kolonial Belanda karena memiliki potensi melakukan perlawanan pada mereka.
Sementara di bidang fikih tidak berlebihan jika Syeikh Nawawi dikatakan sebagai “obor” mazhab imam Syafi’i untuk konteks Indonesia. Melalui karya-karya fiqhnya seperti Syarh Safinat an-Naja, Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain fi Irsyad al-Mubtadi’in dan Tasyrih ala Fathul Qarib, sehingga KH. Nawawi berhasil memperkenalkan madzhab Syafi’i secara sempurna Dan, atas dedikasi KH. Nawawi yang mencurahkan hidupnya hanya untuk mengajar dan menulis mendapat apresiasi luas dari berbagai kalangan. Hasil tulisannya yang sudah tersebar luas setelah diterbitkan di berbagai daerah memberi kesan tersendiri bagi para pembacanya. Pada tahun 1870 para ulama Universitas al-Azhar Mesir pernah mengundangnya untuk memberikan kuliah singkat di suatu forum diskusi ilmiyah. Mereka tertarik untuk mengundangnya karena nama KH. Nawawi sudah dikenal melalui karya-karyanya yang telah banyak tersebar di Mesir.
Sufi Brilian
Sejauh itu dalam bidang tasawuf, Nawawi dengan aktivitas intelektualnya mencerminkan ia bersemangat menghidupkan disiplin ilmu-ilmu agama. Dalam bidang ini ia memiliki konsep yang identik dengan tasawuf ortodok. Dari karyanya saja Nawawi menunjukkan seorang sufi brilian, ia banyak memiliki tulisan di bidang tasawuf yang dapat dijadikan sebagai rujukan standar bagi seorang sufi. Brockleman, seorang penulis dari Belanda mencatat ada 3 karya Nawawi yang dapat merepresentasikan pandangan tasawufnya : yaitu Misbah al-Zulam, Qami’ al-Thugyan dan Salalim al Fudala. Di sana Nawawi banyak sekali merujuk kitab Ihya ‘Ulumuddin al-Ghazali. Bahkan kitab ini merupakan rujukan penting bagi setiap tarekat.
Pandangan tasawufnya meski tidak tergantung pada gurunya Syekh Khatib Sambas, seorang ulama tasawuf asal Jawi yang memimpin sebuah organisasi tarekat, bahkan tidak ikut menjadi anggota tarekat, namun ia memiliki pandangan bahwa keterkaitan antara praktek tarekat, syariat dan hakikat sangat erat. Untuk memahami lebih mudah dari keterkaitan ini Nawawi mengibaratkan syariat dengan sebuah kapal, tarekat dengan lautnya dan hakekat merupakan intan dalam lautan yang dapat diperoleh dengan kapal berlayar di laut. Dalam proses pengamalannya Syariat (hukum) dan tarekat merupakan awal dari perjalanan (ibtida’i) seorang sufi, sementara hakikat adalah hasil dari syariat dan tarikat. Pandangan ini mengindikasikan bahwa Syekh Nawawi tidak menolak praktek-praktek tarekat selama tarekat tersebut tidak mengajarkan hal-hat yang bertentangan dengan ajaran Islam, syariat.
Paparan konsep tasawufnya ini tampak pada konsistensi dengan pijakannya terhadap pengalaman spiritualitas ulama salaf. Tema-teman yang digunakan tidak jauh dari rumusan ulama tasawuf klasik. Model paparan tasawuf inilah yang membuat Nawawi harus dibedakan dengan tokoh sufi Indonesia lainnya. la dapat dimakzulkan (dibedakan) dari karakteristik tipologi tasawuf Indonesia, seperti Hamzah Fansuri, Nuruddin al-Raniri, Abdurrauf Sinkel dan sebagainya.
Tidak seperti sufi Indonesia lainnya yang lebih banyak porsinya dalam menyadur teori-teori genostik Ibnu Arabi, Nawawi justru menampilkan tasawuf yang moderat antara hakikat dan syariat. Dalam formulasi pandangan tasawufnya tampak terlihat upaya perpaduan antara fiqh dan tasawuf. Ia lebih Gazalian (mengikuti Al-Ghazali) dalam hal ini. Dalam kitab tasawufnya Salalim al-Fudlala, terlihat Nawawi bagai seorang sosok al-Gazali di era modern. Ia lihai dalam mengurai kebekuan dikotomi fiqh dan tasawuf. Sebagai contoh dapat dilihat dari pandangannya tentang ilmu alam lahir dan ilmu alam batin. Ilmu lahiriyah dapat diperoleh dengan proses ta’allum (berguru) dan tadarrus (belajar) sehingga mencapai derajat ‘alim sedangkan ilmu batin dapat diperoleh melalui proses dzikr, muraqabah dan musyahadah sehingga mencapai derajat ‘Arif. Seorang Abid diharapkan tidak hanya menjadi ‘alim yang banyak mengetahui ilmu-ilmu lahir saja tetapi juga harus arif, memahami rahasia spiritual ilmu batin. Bagi Nawawi Tasawuf berarti pembinaan etika (Adab). Penguasaan ilmu lahiriah semata tanpa penguasaan ilmu batin akan berakibat terjerumus dalam kefasikan, sebaliknya seseorang berusaha menguasai ilmu batin semata tanpa dibarengi ilmu lahir akan terjerumus ke dalam zindiq. Jadi keduanya tidak dapat dipisahkan dalam upaya pembinaan etika atau moral (Adab). Selain itu ciri yang menonjol dari sikap kesufian Nawawi adalah sikap moderatnya. Sikap moderat ini terlihat ketika ia diminta fatwanya oleh Sayyid Ustman bin Yahya, orang Arab yang menentang praktek tarekat di Indonesia, tentang tasawuf dan praktek tarekat yang disebutnya dengan “sistem yang durhaka”. Permintaan Sayyid Ustman ini bertujuan untuk mencari sokongan dari Nawawi dalam mengecam praktek tarekat yang dinilai oleh pemerintah Belanda sebagai penggerak pemberontakan Banten 1888. Namun secara hati-hati Nawawi menjawab dengan bahasa yang manis tanpa menyinggung perasaan Sayyid Ustman. Sebab Nawawi tahu bahwa di satu sisi ia memahami kecenderungan masyarakat Jawi yang senang akan dunia spiritual di sisi lain ia tidak mau terlibat langsung dalam persoalan politik. Setelah karyanya banyak masuk di Indonesia wacana keIslaman yang dikembangkan di pesantren mulai berkembang. Misalkan dalam laporan penelitian Van Brunessen dikatakan bahwa sejak tahun 1888 M, bertahap kurikulum pesantren mulai acta perubahan mencolok. Bila sebelumnya seperti dalam catatan Van Den Berg dikatakatan tidak ditemukan sumber referensi di bidang Tafsir, Ushl al-Fiqh dan Hadits, sejak saat itu bidang keilmuan yang bersifat epistemologis tersebut mulai dikaji. Menurutnya perubahan tiga bidang di atas tidak terlepas dari jasa tiga orang alim Indonesia yang sangat berpengaruh: Syekh Nawawi Banten sendiri yang telah berjasa dalam menyemarakkan bidang tafsir, Syekh Ahmad Khatib (w. 1915) yang telah berjasa mengembangkan bidang Ushul Fiqh dengan kitabnya al-Nafahat ‘Ala Syarh al-Waraqat, dan Kiai Mahfuz Termas (1919 M) yang telah berjasa dalam bidang Ilmu Hadis. Sebenarnya karya-karya Nawawi tidak hanya banyak dikaji dan dipelajari di seluruh pesantren di Indonesia tetapi bahkan di seluruh wilayah Asia Tenggara. Tulisan-tulisan Nawawi dikaji di lembaga-lembaga pondok tradisional di Malaysia, Filipina dan Thailand. Karya Nawawi diajarkan di sekolah-sekolah agama di Mindanao (Filipina Selatan), dan Thailand. Menurut Ray Salam T. Mangondanan, peneliti di Institut Studi Islam, University of Philippines, pada sekitar 40 sekolah agama di Filipina Selatan yang masih menggunakan kurikulum tradisional. Selain itu Sulaiman Yasin, seorang dosen di Fakultas Studi Islam, Universitas Kebangsaan di Malaysia, mengajar karya-karya Nawawi sejak periode 1950-1958 di Johor dan di beberapa sekolah agama di Malaysia. Di kawasan Indonesia menurut Martin Van Bruinessen yang sudah meneliti kurikulum kitab-kitab rujukan di 46 Pondok Pesantren Klasik 42 yang tersebar di Indonesia mencatat bahwa karya-karya Nawawi memang mendominasi kurikulum Pesantren. Sampai saat ia melakukan penelitian pada tahun 1990 diperkirakan pada 22 judul tulisan Nawawi yang masih dipelajari di sana. Dari 100 karya populer yang dijadikan contoh penelitiannya yang banyak dikaji di pesantren-pesantren terdapat 11 judul populer di antaranya adalah karya Nawawi. Penyebaran karya Nawawi tidak lepas dari peran murid-muridnya. Di Indonesia murid-murid Nawawi termasuk tokoh-tokoh nasional Islam yang cukup banyak berperan selain dalam pendidikan Islam juga dalam perjuangan nasional. Di antaranya adalah : KH. Hasyim Asyari dari Tebuireng Jombang, Jawa Timur. (Pendiri organisasi Nahdlatul Ulama ), KH. Kholil dari Bangkalan, Madura, Jawa Timur, KH. Asyari dari Bawean, yang menikah dengan putri KH. Nawawi, Nyi Maryam, KH. Najihun dari Kampung Gunung, Mauk, Tangerang yang menikahi cucu perempuan KH. Nawawi, Nyi Salmah bint Rukayah bint Nawawi, KH. Tubagus Muhammad Asnawi, dari Caringin Labuan, Pandeglang Banten, KH. Ilyas dari Kampung Teras, Tanjung Kragilan, Serang , Banten, KH. Abd Gaffar dari Kampung Lampung, Kec. Tirtayasa, Serang Banten, KH. Tubagus Bakri dari Sempur, Purwakarta. Penyebaran karyanya di sejumlah pesantren yang tersebar di seluruh wilayah nusantara ini memperkokoh pengaruh ajaran Nawawi. Penelitian Zamakhsyari Dhofir mencatat pesantren di Indonesia dapat dikatakan memiliki rangkaian geneologi yang sama. Polarisasi pemikiran modernis dan tradisionalis yang berkembang di Haramain seiring dengan munculnya gerakan pembaharuan Afghani dan Abduh, turut mempererat soliditas ulama tradisional di Indonesia yang sebagaian besar adalah sarjana-sarjana tamatan Mekkah dan Madinah. Bila ditarik simpul pengikat di sejumlah pesantren yang ada maka semuanya dapat diurai peranan kuatnya dari jasa enam tokoh ternama yang sangat menentukan warna jaringan intelektual pesantren. Mereka adalah Syekh Ahmad Khatib Syambas, Syekh K.H. Nawawi Banten., Syekh K.H. Mahfuz Termas, Syekh K.H. Abdul Karim, K.H. Kholil Bangkalan Madura, dan Syekh K.H. Hasyim Asy’ari. Tiga tokoh yang pertama merupakan guru dari tiga tokoh terakhir. Mereka berjasa dalam menyebarkan ide-ide pemikiran gurunya. Karya-karya Nawawi yang tersebar di beberapa pesantren, tidak lepas dari jasa mereka. K.H. Hasyim Asya’ari, salah seorang murid Nawawi terkenal asal Jombang, sangat besar kontribusinya dalam memperkenalkan kitab-kitab Nawawi di pesantren-pesantren di Jawa. Dalam merespon gerakan reformasi untuk kembali kepada al-Qur’an di setiap pemikiran Islam, misalkan, K.H. Hasyim Asya’ari lebih cenderung untuk memilih pola penafsiran Marah Labid karya Nawawi yang tidak sama sekali meninggalkan karya ulama Salaf. Meskipun ia senang membaca Kitab tafsir al-Manar karya seorang reformis asal Mesir, Muhammad Abduh, tetapi karena menurut penilaiannya Abduh terlalu sinis mencela ulama klasik, ia tidak mau mengajarkannya pada santri dan ia lebih senang memilih kitab gurunya. Dua tokoh murid Nawawi lainnya berjasa di daerah asalnya. Syekh K.H. Kholil Bangkalan dengan pesantrennya di Madura tidak bisa dianggap kecil perannya dalam penyebaran karya Nawawi. Begitu juga dengan Syekh Abdul Karim yang berperan di Banten dengan Pesantrennya, dia terkenal dengan nama Kiai Ageng. Melalui tarekat Qadiriyah wan Naqsyabandiyah Ki Ageng menjadi tokoh sentral di bidang tasawuf di daerah Jawa Barat. Kemudian ciri geneologi pesantren yang satu sama lain terkait juga turut mempercepat penyebaran karya-karya Nawawi, sehingga banyak dijadikan referensi utama. Bahkan untuk kitab tafsir karya Nawawi telah dijadikan sebagai kitab tafsir kedua atau ditempatkan sebagai tingkat mutawassith (tengah) di dunia Pesantren setelah tafsir Jalalain. Peranan Kiai para pemimpin pondok pesantren dalam memperkenalkan karya Nawawi sangat besar sekali. Mereka di berbagai pesantren merupakan ujung tombak dalam transmisi keilmuan tradisional Islam. Para kiai didikan K.H Hasyim Asyari memiliki semangat tersendiri dalam mengajarkan karya-karya Nawawi sehingga memperkuat pengaruh pemikiran Nawawi. Dalam bidang tasawuf saja kita bisa menyaksikan betapa ia banyak mempengaruhi wacana penafsiran sufistik di Indonesia. Pesantren yang menjadi wahana penyebaran ide penafsiran Nawawi memang selain menjadi benteng penyebaran ajaran tasawuf dan tempat pengajaran kitab kuning juga merupakan wahana sintesis dari dua pergulatan antara tarekat heterodoks versus tarekat ortodoks di satu sisi dan pergulatan antara gerakan fiqh versus gerakan tasawuf di sisi lain. Karya-karyanya di bidang tasawuf cukup mempunyai konstribusi dalam melerai dua arus tasawuf dan fiqh tersebut. Dalam hal ini Nawawi, ibarat al-Ghazali, telah mendamaikan dua kecenderungan ekstrim antara tasawuf yang menitik beratkan emosi di satu sisi dan fiqh yang cenderung rasionalistik di sisi lain. Sejak abad ke-20 pesantren memiliki fungsi strategis. Gerakan intelektual dari generasi pelanjut K.H. Nawawi ini lambat laun bergeser masuk dalam wilayah politik. Ketika kemelut politik di daerah Jazirah Arab meletus yang berujung pada penaklukan Haramain oleh penguasa Ibn Saud yang beraliran Wahabi, para ulama pesantren membentuk sebuah komite yang disebut dengan “komite Hijaz” yang terdiri dari 11 ulama pesantren. Dengan dimotori oleh K.H. Wahab Hasbullah dari Jombang Jatim, seorang kiai produk perguruan Haramain, komite ini bertugas melakukan negosiasi dengan raja Saudi yang akan memberlakukan kebijakan penghancuran makam-makam dan peninggalan-peninggalan bersejarah dan usaha itu berhasil. Dan, dalam perkembangannya komite ini kemudian berlanjut mengikuti isu-isu politik di dalam negeri. Untuk masuk dalam wilayah politik praktis secara intens organisasi ini kemudian mengalami perubahan nama dari Nahdlatul Wathan (NW) sampai jadi Nahdlatul Ulama (NU). Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa KH.Nawawi merupakan sosok ulama yang menjadi “akar tunjang” dalam tradisi keintelektualan NU. Sebab karakteristik pola pemikirannya merupakan representasi kecenderungan pemikiran tradisional yang kuat di tengah-tengah gelombang gerakan purifikasi dan pembaharuan. Kehadiran NU adalah untuk membentengi tradisi ini dari ancaman penggusuran intelektual yang mengatasnamakan tajdid terhadap khasanah klasik. Karenanya formulasi manhaj al-Fikr tawaran KH. Nawawi banyak dielaborasi (diuraikan kembali) oleh para ulama NU sebagai garis perjuangannya yang sejak tahun 1926 dituangkan dalam setiap konferensinya. Bahkan tidak berlebihan bila disebut berdirinya NU merupakan tindak lanjut institusionalisasi dari arus pemikiran KH. Nawawi Banten.
.
KH.RIFA’I ROMLI SH.
KH.Rifa’i Romli lahir di rejoso pada tanggal 22 april 1942, yang merupakan putra pertama dari KH.Romli Tamim dan Ibu Nyai Khodijah,putri Kyai Luqman dari Suwaru Mojoagung . pada masa kecilnya di didik dan dan di asuh langsung oleh KH.Romli Tamim, baru setelah menginjak dewasa, melanjutkan pendidikanya di madrasah ibtida’iyyah , mu’allimin (setingkat SLTP) di darul ‘ulum, kemudian nyantri di pondok lirboyo kediri . Setelah menempuh pendidikan di pesantren salaf tersebut beliau melanjutkan studinya di fakultas usuluddin Universitas Darul ‘Ulum ( UNDAR ) Jombang dan IAIN Sunan Ampel, beliau juga menimba ilmu di fakultas hukum UNDAR jombang, perjalanan hidup beliau di habiskan untuk pengabdian di pondok pesantren darul ‘ulum, sosok kepribadian yang murah senyum (ramah), alim, sabar dan bersahaja, memandang hidup apa adanya kesedarhanaan yang membuat masyarakat segan, akan kehidupan beliau.
Beliau mulai ikut berkiprah dalam kepemimpinan di darul ‘ulum mulai tahun 1972 M, sebagai kepala sekolah SMP DARUL ‘ULUM 1, kemudian secara berturut-turut menjadi ketua umum ikatan keluarga pondok pesantren darul ‘ulum “ IKAPDAR “ pada tahun 1976, Ketua Jam’iyyah Ahli Thariqoh Mu’tabaroh Idonesia “ JATMI “, menggantikan kedudukan almarhum Dr.KH.Musta’in Romli, Juga menjadi ketua thoriqat qodariyyah wan naqsabandiyyah.
Sering kali dalam mau’idzoh beliau, menggunakan bahasa yang elementer, kental dengan bahasa jawa sehingga mudah di terima oleh semua kalangan masyarakat sepuh (tua) di keluarga besar thoriqoh Qodiriyyah wan naqsabandiyyah maupun di kalangan santri. Dalam memompa para mustami’inya beliau sering menyampaikan :
“ DUK TALI LAYANGAN AWAK SITUK ILANG-ILANGAN ”
(duk tali layang-layang dalam berjuang,badan satu,perlu dikorbankan sampai titik darah penghabisan).
Sementara di luar darul ‘ulum beliau juga menjadi anggota DPRD Tingkat II jombang mulai tahun 1972 sampai tahun 1992 dan menjadi anggota DPRD Tingkat I mulai tahun 1992 sampai beliau wafat.
KH.Rifa’i Romli wafat pada tanggal 12 desember 1995 dengan meninggalkan istrinya Ny.Hj.Ummu aiman binti KH.Mahrus ali lirboyo kediri, dan putra-putrinya antara lain:
Nawang wulan jannatul firdaus, kholilatussa’idah, syarif hidayatulloh, rohmatul akbar, kennedy mu’ammar kadafi, nur laili kamali, yuliana hasinah, indira zulicha.
Semoga Alloh Swt, memberi ampunan kepada beliau, memberi balasan yang sebaik-baiknya terhadap segala pengabdian dan perjuangannya .amiin.
Demikian Biografi singkat sosok al-Mursyid Thoriqoh Qodiriyyah wan Naqsyabandiyyah Pusat Peterongan Jombang Jawa timur.
Syeikh Muhammad Nafis al-Banjari
PROPAGANDA MUSUH ISLAM
DR. ‘Abdul Mun’im Hasanain
MUQADDIMAH
Orientalisme adalah suatu gerakan yang timbul di
zaman modern, pada bentuk lahirnya bersifat
ilmiyah, yang meneliti dan memperdalam masalah
ketimuran. Tetapi di balik penelitian masalah ketimuran itu
mereka berusaha memalingkan masyarakat Timur dari
Kebudayaan Timurnya, berpindah mengikuti keinginan aliran
Kebudayaan Barat yang sesat dan menyesatkan.
Orientalis, adalah kumpulan Sarjana-sarjana Barat, Yahudi,
Kristen, Atheis dan lain-lain, yang mendalami bahasa-bahasa
Timur (bahasa Arab, Persi, Ibrani, Suryani dan lain-lain),
terutama mempelajari bahasa Arab secara mendalam. Studi
ini mereka gunakan untuk memasukkan ide-ide dan fahamfaham
yang bathil ke dalam ajaran Islam, agar aqidah, ajaran
dan Da’wah Islam merosot, berkurang pengaruhnya terhadap
masyarakat, tak berbekas dalam kehidupan, tidak mampu
mengangkat derajat kemanusiaan, tidak berperan lagi untuk
melepaskan manusia dari perhambaan pada makhluk, dan
tujuan Islam tak kunjung tercapai dalam mengeluarkan
manusia dari kegelapan-kegelapan (Zhulumaat: kufur, syirik,
fasik, lemah, bodoh, tertindas, miskin, dijajah, dianiaya, dan
dalam keadaan terbelakang dalam segala bidang) menuju An
Nur (kebalikan dari Zhulumaat, yaitu bertauhid, iman, kuat,
O
pintar, cerdas, adil, aman, makmur, maju dan lain
sebagainya).
Seperti kita ketahui, bahwa segala tipu daya dan kebatilan
yang mereka resapkan sedikit demi sedikit telah masuk ke
dalam kebudayaan Islam dan berakibat mengurangi peranan
Islam dalam penyiaran ilmu pengetahuan yang telah
membawa Eropa dari zaman pertengahan (masa kebodohan
dan kegelapan) ke masa kejayaan masa modern
(renaissance yang sekarang telah menjadi kebanggaan para
Sarjana Barat).
Pihak Orientalisme berusaha keras menyerang Islam, dan
menggerogoti dakwahnya, sebab mereka tidak mampu
melepaskan diri dari pengaruh nafsu hendak memusuhi Islam
yang mereka warisi. Usaha mereka itu tidak saja secara
sembunyi-sembunyi dan menaburkan benih-benih keraguraguan
terhadap sumber Islam, memasukkan kebatilankebatilan
ke dalam ajaran syari’at, menggiring ummat Islam
ke dalam aliran fikiran yang sesat, dan menyerang bahasa
Arab (bahasa al-Qur’an), tapi juga terang-terangan
membantu propaganda gerakan yang berselubung di bawah
nama Islam yang menyesatkan.
Juga para Orientalis memonopoli semua mass media, yang
digunakan untuk membinasakan dan menjauhkan ummat
Islam dari agamanya, bahkan merusakkan putera-puteri
Muslim yang belajar di sekolah-sekolah dan di negeri mereka.
Di bawah ini akan kita uraikan bahaya Orientalisme ini,
tujuannya dalam memerangi Islam dan menggerogoti
Da’wah, alat yang dipergunakannya dalam usaha mereka
baik yang nyata maupun yang tersembunyi, usaha dan
langkah yang perlu kita lakukan untuk melegaskan bahaya,
serta tangkisan kita terhadap tipu daya musuh-musuh Islam
dan lain-lainnya.
1. Timbulnya Orientalisme.
Salahlah orang yang berpendapat bahwa Orientalisme
merupakan gerakan ilmiyah yang tujuannya hanya
memperdalam masalah ketimuran saja (kepercayaan, adat
dan peradabannya). Sebenamya Orientalisme hakekat dan
kenyataannya adalah alat Penjajah; tujuan Orientalisme ini
ialah: memakai dan mempergunakan penelitian masalah
ketimuran sebagai langkah untuk menyerang/memerangi
Islam, menimbulkan rasa keragu-raguan terhadap sumbersumber
Islam agar ummat Islam berpaling dari agamanya,
agar ummat Islam jangan sampai pada kemuliaan dan
kekuatannya, tetapi hanya selalu mengekor kepada Barat,
dan selalu taqlid, masa bodoh dan apatis, melihat segala
macam jenis kejahatan dan kemerosotan di negeri mereka.
Orientalisme ini hakekatnya adalah lanjutan dari perang Salib
melawan Islam, sebab sebenarnya perang Salib ini belum
berhenti, tetapi hanya mengambil bentuk dan warna yang
berbeda, di antaranya Orientalis.
Orientalis muncul dengan kedok sebagai para ahli untuk
mengadakan riset dan survey tentang sesuatu bidang ilmu
pengetahuan dengan maksud tertentu untuk memasukkan
berbaga macam fitnah, menebarkan isue-isue; melampiaskan
segala isi hatinya dan kedengkiannya terhadap Islam, dan
menulisi Islam dengan pena yang beracun.
Para Orientalis terang-terangan menolak sistim ilmu Islam
yang asli. Ini berakibat menyimpangnya ummat dari hakekat
kebenaran, dan meninggalkan hukum Islam. Orientalis tidak
mungkin membiarkan Islam terlaksana di tengah-tengah
masyarakat.
Para Orientalis adalah antek-antek penjajah Barat terhadap
Negeri-negeri Timur dan Negeri Islam, karena gerakan
Orientalis ini adalah lanjutan dari Perang Salib dalam bentuk
yang lain.
Gerakan Orientalis berkembang pesat dan sudah sampai
berlanjut selama dua abad, perubahan yang bergerak
sebagai salah satu bentuk penjajahan.
Asal kata Orientalisme bahasa Arabnya al istisyraaq,
mashdar fiil: Istasyraqa. Artinya, mengarah ke Timur dan
memakai pakaian masyarakatnya.
Para Orientalis (al Mustasyriqun) mendalami bahasa-bahasa
Timur sebagai langkah untuk mengarah ke sana. Masingmasingnya
mempelajari satu bahasa atau bermacam-macam
bahasa Timur, seperti bahasa Arab, bahasa Parsi, bahasa
Ibrani, bahasa Urdu, Suryani, Indonesia, Melayu, Cina dan
lain-lain. Sesudah itu mereka mempelajari bermacam-macam
ilmu pengetahuan, kesenian, adab/sastra, kepercayaan
masyarakat yang mempunyai bahasa tersebut di atas dan
lain-lainnya. Bahasa Arablah yang menjadi sasaran utama
dari tujuan para Orientalis ini.
Memang para Orientalis sudah banyak yang mempelajari
bahasa Arab, dan menjadi spesialis dalam ilmu bahasa,
seperti ahli Nahwu, ahli Sharaf, ahli Sastra (Adab) dan ahli
Balaghah. Kemudian mereka mulai menjurus pada ilmu-ilmu
Islamiyah, seperti: Aqidah, Syari’ah dan lain-lain, dan
seterusnya menambah Aqidah dan Syari’ah yang murni itu
dengan kebatilan-kebatilan untuk mengaburkan hakekat
Islam dan memalingkan ummat dari agamanya yang
menunjukinya ke jalan kemajuan dan kemuliaan. Tujuan
tersebut telah terlaksana dan mempengaruhi kebudayaan
negeri-negeri Islam.
Bukti yang paling jelas mengenai hubungan Orientalisme
dengan penjajahan yaitu bahwa pasaran Orientalisme sangat
pesat di Eropa, Amerika dan negara-negara yang ada
kepentingannya dengan negara Timur umumnya dan negaranegara
Islam pada khususnya. Kesempatan yang lebih luas
lagi bagi Orientalisme di negara-negara jajahan digunakan
untuk mengendalikan peperangan di negara-negara Timur
dalam segala bentuknya, yang dikenal di zaman modern,
baik perang bersenjata (militer) maupun perang ekonomi,
politik atau kebudayaan atau perang fikiran. Bahkan hampir
tidak terdapat kedutaan-kedutaan Negara-negara Penjajah di
negeri-negeri Timur dan negara-negara Islam yang tidak ada
di dalamnya. Orientalis yang menduduki posisi/jabatanjabatan
strategis pada kedutaan itu, baik diplomat atau
pegawai biasa.
Sesungguhnya ikatan Orientalisme dengan penjajah dan
antek-anteknya menjadikan Orientalisme selalu
meningkatkan usahanya dalam menyesatkan Islam dan
menggerogoti Da’wah Islamiyah. Mereka menggunakan
semua alat, dalam penyesatan tersebut, sebab agama yang
maha suci inilah satu-satunya penghalang yang tangguh
dalam menghadapi penjajahan dan perhambaan kepada
selain Allah.
Para Orientalis mengetahui betul dalam penelitiannya
terhadap Islam bahwa aqidah Islam menanamkan dasardasar
yang kokoh sesuai dengan fitrah kemanusiaan, umum
dan logis, sesuai dengan akal yang lempang, serta teksnya
(nash-nash) yang tegas, di mana tidak memungkinkan bagi
akal (otak) para ahli fikir dan filsuf untuk membatalkan pokok
yang satu ini dari sumbernya, apabila mereka sudah terbiasa
dengan manhaj ilmu yang benar. Justru karena itu sejak
dahulu, sejak timbulnya, Orientalisme selalu menanamkan
bibit-bibit penyelewengan terhadap Da’wah Islam dengan
memasukkan kebatilan-kebatilan, dengan kedok penelitian
dan pembahasan ilmiyah yang berselubung.
Dengan demikian nyatalah bahwa Orientalisme merupakah
pelindung musuh-musuh Islam, Penjajah, Atheis, Zionis dan
lain-lain. Di balik nama Orientalisme ini bernaung apa yang
dikatakan penganut faham Komunis yang berbahaya dan
merusak itu, dan para penyokong aliran-aliran atheisme di
zaman modern. Mereka menghimpun segala kemarahan dan
kebencian terhadap Islam; lantaran Islam itu berasaskan
Tauhid dan merupakan Risalah Ilahiyah yang bertitik tolak
dan memusatkan segala-galanya kepada Allah. Semua Rasul
Allah selalu memulai Da’wahnya terhadap kaum/ummatnya
dengan perkataan: Sembahlah olehmu Tuhan-mu; tak ada
Tuhan selain Dia.
Agama adalah fitrah yang diberikan Allah kepada manusia,
yang hakekat fitrah manusia pun sesuai dengan agama itu,
dan Tauhid yang sangat sesuai dengan jiwa manusia; hanya
Iblis dan Syaithanlah yang memalingkan dan mempengaruhi
manusia kepada penyembahan thaghut, patung, batu,
syaithan, api, kuasa manusia, dan lain-lain.
Aqidah Islam adalah aqidah yang jelas dan tegas, jauh dari
keraguan dan sangkaan serta khayalan (imaginasi). Dengan
aqidah yang betul, manusia mampu mengendalikan hawa
nafsunya; dan aqidah inilah yang diperkokoh oleh akal
supaya tetap baik dan sampai pada hakekat yang
sebenamya.
Dengan begitu jelaslah bahwa Orientalisme adalah alat yang
dipakai oleh musuh-musuh Islam yang ingin merusak dan
menggerogoti Da’wah dan ajaran Islam yang sangat sesuai
dengan fitrah manusia tersebut.
Para Orientalis berusaha keras memerangi Islam dengan
segala cara, gaya dan dayanya dan dengan berbagai bentuk;
karena tujuan mereka terang-terangan anti dan ingin
menghancurkan Islam itu sendiri. Syukur, Allah selalu
melindungi ummat Islam dan menenangkan ummat Islam,
betapapun benci dan lihainya orang kafir.
2. Usaha Orientalisme Dalam Memerangi Islam Dengan
Bersenjatakan Ilmu.
Para Da i dan Ummat Islam yang antusias terhadap Da’wah
Islamiyah patut sekali mengetahui dan mendalami usahausaha
yang dilakukan oleh para Orientalis dalam memerangi
Islam sebab mereka itu hakekatnya adalah musuh Islam yang
paling keras.
Mereka (Orientalis) menjadikan ilmu sebagai alat untuk
menggerogoti Da’wah Islam dan bersembunyi di balik
topeng-topeng pembahasan dan penelitian ilmiyah.
Sebenarnya mereka itu memasukkan bibit-bibit (benih-benih)
kebatilan terutama sekali ke dalam Syari’ah Islamiyah,
masalah-masalah Fiqih, muamallah dan lain-lain, di mana
dengan sengaja mereka membikin hal-hal yang menyesatkan
terhadap Angkatan Muda Islam, yang belajar kepada mereka,
memantapkan serta memberikan hal-hal yang membuat
orang bungkem dan merasa cukup terhadap fikiran-fikiran
yang merusak dan berbahaya, dan menarik secara halus
agar para mahasiswa yang Belajar dengan Orientalis dan
yang belajar di negara-negara tersebut (Barat) bergabung
dengan mereka (Orientalis) dalam merusak dan mencari-cari
kejelekan Islam, tanpa mereka sadari.
Bahkan ada Universitas Orientalis yang mensyaratkan
adanya kemampuan mahasiswanya untuk menjelaskan
kejelekan Islam bila mereka hendak mendapat degree
kesarjanaan. Adapun tulisan-tulisan para Orientalis yang
berkenaan dengan Risalah Islamiyah, Rasul-rasul lain-lain,
tegas-tegas membongkar rahasia kebenciannya yang
terpendam terhadap Islam.
Salah satu contoh dapat kita kemukakan di sini, yaitu apa
yang ditulis oleh salah seorang Orientalis yang bernama
Goldziher (Buku-buku karangan Goldziher ini di zaman
Belanda dijadikan standard pengetahuan agama di Fakultasfakultas
Hukum). Untuk mengetahui maksud jahat mereka
dan peranannya dalam menindas Islam dan menggerogoti
Da’wah Islamiyah dengan menggunakan ILMU sebagai alat
dalam mencapai tujuannya.
Orientalis tersebut mengatakan dalam buku yang dikarang
oleh Goldziher, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Arab
oleh Dr. M. Yusuf Musa dkk, berjudul AL AQIDAH WAS
SYARI’AH FIL ISLAM, halaman 15, berbunyi:
Maka pemberitaan-pemberitaan kegembiraan oleh Nabi Arab
itu bukanlah suatu yang baru, melainkan hanya merupakan
kutipan-kutipan yang diambilnya dari pengetahuanpengetahuan
dan pokok-pokok fikiran agama-agama yang
diketahuinya atau diperolehnya akibat hubungannya dengan
tokoh-tokoh Yahudi atau Kristen dan lain-lain. Hal itulah yang
berbekas dan berpengaruh pada Muhammad secara
mendalam, yang menurut dia (Muhammad) pantas sekali
untuk membangunkan jiwa dan perasaan keagamaan yang
sejati di kalangan anggota-anggota kaumnya.
Ini adalah perkataan yang berbisa, yang diulang-ulang oleh
para Orientalist yang terang-terang benci/sentimen, seperti:
Da’wah yang pernah dilancarkan oleh kaum Musyrikin sejak
14 abad yang lalu, yang langsung dibalas oleh Allah SWT,
sehingga Allah membongkar rahasia, akal dan perbuatan
jahat mereka, dalam surat Al Furqan ayat 4-6:
Orang-orang Kafir itu berkata, Ini tidak lain dari kata-kata
dongeng yang diadakan oleh Muhammad dan ditolong oleh
kaum lain; dengan perkataannya itu mereka sudah
mengerjakan keaniayaan dan dosa besar. Orang Kafir itu
berkata lagi, Adalah dongeng orang-orang dahulu kala yang
dikutipnya; dan itulah yang didiktekan kepadanya pagi dan
sore (terus-menerus). Katakanlah (hai Muhammad), Ajaran ini
diturunkan oleh Yang Maha Tahu rahasia langit dan bumi,
dan Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (al Furqan
4-6).
Kemudian Allah membantah dan mematahkan alasan-alasan
musyrik tersebut dengan firman-Nya:
Jika kamu ragu pada apa yang Kami turunkan pada hamba-
Ku, maka datangkanlah satu surat yang serupa Qur an itu,
13
panggil saksi-saksimu yang selain Allah, jika kamu benar,
andaikata kamu tidak sanggup membuatnya, dan pasti
kamu tak akan sanggup berbuat itu, maka takutlah kamu
pada api neraka yang sebagai kayu bakarnya ialah manusia
dan batu yang disediakan untuk orang-orang kafir. (al
Baqarah 23).
Goldziher dan konco-konconya di kalangan Orientalis adalah
musuh Islam, melakukan pemurtadan seperti yang dilakukan
oleh orang-orang musyrik Quraisy dahulu kala yang bersikap
menentang dan angkuh. Sedangkan orang musryik Quraisy
masih adil (sopan) dalam pembangkangannya, dan akhirnya
mereka itu masuk ke dalam agama Islam dan ikut berjihad
pada jalan Allah, dan pahlawan-pahlawan perang
menghadapi musuh-musuh Islam.
Adapun Orientalis selalu saja menyerang Islam,
menggerogoti Da’wah dengan membikin keragu-raguan di
dalam pemahaman Al-Qur’an. Menimbulkan waham
(pendangkalan faham) dengan memutarbalikkan fakta,
dengan membuat hadits-hadits palsu atau mengatakan
sendiri bahwa Rasul sendiri pernah melampaui ketentuan
wahyu karena menasakhkan (membatalkan) wahyu yang
pernah turun dengan perintah Allah. Bbegitulah dakwaan
Orientalis tersebut, sebagaimana bisa dilihat pada buku
berjudul Aqidah was Syariah fil Islam karangan Goldziher
halaman 41.
Jelaslah kebencian Orientalis ini, bahkan kebencian itu sudah
mempengaruhi otaknya, karena akalnya yang sehat sudah
dipengaruhi oleh hatinya yang benci, di mana dia mengakui
bahwa Muhammad itu Rasulullah, yang merubah Risalah
Tuhan-nya atas perintah Tuhan karena situasi yang
memaksa. Apakah ini masuk di akal?
Siapakah Rasul yang membawa Risalah yang berani
mendustakan Allah, dan tetap sebagai Rasul? Tidakkah
perkataan Orientalis tersebut suatu kebencian yang merusak
akalnya sendiri dan memutar-balikkan fakta?
Tidakkah pernah orang yang benci itu membaca ayat Allah
yang menangkis tuduhan bohong orang musyrik, yang
mengatakan bahwa Muhammad mengada-adakan kebohonghohongan?
Yaitu surat Al-Haqqah ayat 44-47:
Kalau dia (Muhammad) berkata kepada Kami perkataanperkataan
yang lain, niscaya akan Kami tarik dia dengan
kekuatan dan kemudian akan Kami putuskan hubungan
yang kuat itu dengannya, maka tidak akan ada seorang pun
yang mampu menghalanginya (membelanya).
Permusuhan Orientalis terhadap Islam sudah nyata sekali,
baik melalui perkataan (lisan), tulisan-tulisan yang beracun,
maupun yang tersembunyi di dalam hatinya. Ummat Islam
harus bersikap hati-hati dan berusaha membongkar
kepalsuan, tipudaya kaum Orientalis yang berselubung di
balik semboyan kebijaksanaan atau logika dan ummat Islam
wajib kerja keras melaksanakan Risalah Islamiyah sampai
meresap ke dalam akal fikiran dan perasaan dan dapat
diwujudkan dalam kenyataan hidup. Kita membaca tulisantulisan
Orientalis mengenai Islam, kalau topiknya betul, dia
masukkan kata-kata tuduhan di sana-sini, maka berbuatlah
dia ibarat pembunuh yang menyerang orang yang lengah.
Betapa banyak para ilmuwan Islam yang tertipu oleh
Orientalis ini, dan mentah-mentah mengambil keterangan,
sebagai hukum positif tanpa kritik, bahkan ikut serta
bergabung dengan Orientalis tersebut dalam memerangi
Islam, penggerogotan Da’wah, penyesatan, dan menganggap
itulah teori atau program yang terbaik. Na’udzubillah min
dzalik.
Para Orientalis pada umumnya mempelajari Islam, dengan
niat untuk menghimpun tuduhan terhadap Islam dengan
kedok, selubung ilmiyah, penelitian dan survey tentang
hakekat Islam, akan tetapi kefanatikannya mengalahkannya
dari mengatakan kalimat haq. Maka untuk menghindari
dirinya dari Ta’ashshub (fanatik), kita harus berusaha
menjadikan mereka Sarjana yang murni, yang bersih dan tak
palsu dan tidak zalim.
Kaum Orientalis dan pengikut-pengikutnya memang
berusaha menghimpun sifat-sifat positif dan negatif, tapi
dalam penghimpunan itu mereka tak mungkin lupa
menyisipkan komentar-komentar yang menyesatkan. Dari itu
kita harus membaca karangan-karangan Orientalis dan lantas
kita koreksi dengan berhati-hati sebab mereka tak mungkin
bersih dari pengaruh sentimen nafsu pertentangan yang telah
mereka warisi sejak zaman Perang Salib, dan tak mungkin
lepas dari usaha keras mereka memerangi Islam,
menggerogoti Da’wah kebenaran (membuktikan yang haq
dan melenyapkan kebatilan).
Islam selalu menghadapi musuh-musuh yang senantiasa
menunggu kesempatan di segala pihak, dan kaum Muslimin
pun selalu menghadapi musuh-musuhnya yaitu Orientalis,
pewaris kaum salib yang memaksa ummat Islam agar selalu
sadar dan siaga. Para Da i (juru Da’wah) wajib dilengkapi
dengan segala perlengkapan ilmu yang luas, mendalami
serta mengetahui apa yang ada pada musuh, supaya mereka
dapat membela agama dari tipu daya musuh dan
membatalkan perbuatan jahat musuhnya. Allah selalu
melindunginya.
Berikut ini dikemukakan pembahasan sekitar usaha dan cara
kaum Orientalis dalam memerangi Islam, memerangi ummat
Islam dan memalingkan mereka dari agamanya. Tapi Allah
tetap menangkis tipu daya mereka dan menjaga agama yang
diridhoi-Nya.
CARA ORIENTALISME MENGGEROGOTI
DA’WAH ISLAM
1. Kristenisasi
Tak diragukan lagi oleh ummat Islam, bahwa Perang Salib
belum berakhir, sejak Eropa keluar dari keterbelakangannya
di zaman pertengahan mereka menuju ke timur dan
menjadikannya daerah-daerah jajahan.
Penjajah bermaksud menguasai negeri dan rakyatnya,
kemudian menghancurkan Aqidah yang sudah bersemi di
hati ummat Islam.
Melalui Orientalisme, penjajah menanamkan perasaan
bahwa Islam berbahaya bagi programnya. Program yang
digariskannya dengan tujuan hendak mematikan nilai
kemanusiaan di negeri jajahan, supaya lenyap perasaan
kemanusiaan di sana, sehingga tidak akan timbul bibit-bibit
perlawanan menghadapi penjajah yang sudah memonopoli
negeri itu, dan program yang bertujuan mematahkan hal-hal
yang peka pada jiwa ummat Islam yaitu faham Wahdaniyah
yang tidak mau tunduk pada selain Allah.
Justru karena itulah penjajah menebarkan hal-hal yang
menyerang Islam secara rahasia melalui Orientalis, terbukti
dengan mobilisasi tentara di bawah pimpinan Orientalis,
mendrop para propagandis ke negeri-negeri Islam dan
melindunginya dengan tentara-tentara penjajah, mengatur
posisinya dan propagandanya di kota-kota dan kampungkampung,
membantu mereka dengan uang, atau mendirikan
rumah sakit, rumah jompo dan sekolah-sekolah; sebagai alat
jaringan penyesatan. Mereka bersembunyi di balik kedok
demi melepaskan masyarakat dari kemiskinan dan
kebodohan, dengan kedok yang.bernama Al Masih.
Di samping sasarannya yang lain, ialah membasmi bahasa
Arab dan mencabutnya dari ummat Islam, bahasa Al-Qur’an
konstitusi Agama. Dalam mencapai tujuannya, penjajah
membujuk orang-orang yang ahli bahasa Barat, lantas diberi
jabatan dan posisi penting, untuk mendorong semangat
ummat Islam berlomba-lomba mempelajari bahasa penjajah,
yang sekaligus orang-orang yang sudah asyik dengan
bahasa asing (penjajah) itu terlengah, atau segan-segan
mempelajari bahasa Arab, dengan pengertian bahwa
mempelajari bahasa Barat (Inggris, Perancis, Jerman,
Belanda, Rusia dan lain-lain) tidak mempengaruhi aqidah
agamanya. Karena itulah hampir semua negeri-negeri Islam
yang berbahasa Arab pun menggunakan bahasa asing,
mereka hanya tahu bahasa Arab di waktu Shalat. Seperti
umumnya di negeri-negeri Afrika Utara. Syukurlah
sepeninggal penjajah, negeri-negeri ini bekerja keras
mengembalikan bahasa Arab, sesudah berpengaruhnya
Westernisasi di sana.
Para propagandis Kristen di negara-negara Islam sukses
sekali, apalagi setelah merosotnya bahasa Arab, sebagai
bahasa yang menjadi pendorong keinginan beragama di
kalangan ummat. Pemerintahnya melepaskan pegangan
ummat dari agama, adab dan akhlaq Islam.
Sebenarnya Orientalis dan penjajah lupa pada rahasia
kegagalannya untuk membawa orang Islam melepaskan
agamanya, yaitu bahwa perbuatan tersebut bertentangan
dengan naluri dan fitrah manusia sendiri, betapapun besar
biaya dan usaha mereka namun hal demikian tidaklah bisa
menjadikan mereka berjaya karena Islam itu agama Fitrah
yang sangat seuai dengan kejadian manusia.
Ini pulalah rahasia masuknya Islam ke negara-negara lain
dan langsung bersemi di hati dan akal penduduknya. Islam
tersebar tanpa penyerbuan tentara dan pengiriman
propagandis-propagandis yang banyak, tapi sebenarnya
Islam tersebar di seluruh dunia hanya dengan inti ajarannya
yang tersebar melalui pedagang yang bukan tujuannya
berda’wah, tetapi meluas melalui gerakan menyeluruh.
Penyiaran Islam di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika dimasuki
Islam tak pernah dilakukan dengan kekuatan senjata ataupun
propaganda besar-besaran, tetapi hanya dengan cara
menyadarkan dan menghayati fitrah.
Taktik musuh Islam
Cara-cara propagandis (sesudah perang Salib) menguasai
negara Islam, dan setelah gagal mencapai maksudnya, maka
mereka merubah taktiknya dengan menggerogoti Da’wah
dengan memasukkan khurafat, bid ah, tahayul, cerita-cerita
dongeng Israiliyah/Kebatilan ke dalam ajajan Islam
khususnya, menebarkan faham atheisme di Eropa, Amerika.
Dengan terbongkarnya rahasia Kristen bahwa agama ini tak
dapat diterima akal dan tidak sesuai dengan ilmu
pengetahuan, yaitu Trinitasnya, Kristen khawatir kalau Islam
menjalar ke Eropa dan Amerika, justru karena itulah mereka
melakukan offensif, merongrong Da’wah dan melemahkan
kekuatan agama Islam dari jiwa ummat Islam, dan
melemahkan semangat yang mendorong kaum Muslimin
dalam menghadapi penjajah, yang akhirnya terbuktilah
peranan Orientalisme sebagai alat dari salibiyah dan
penjajah. Tapi Allah selalu melindungi Agama-Nya.
2. Membenamkan ummat Islam ke dalam aliran-atiran
fikiran yang menyesatkan
Di antara cara menggerogoti Da’wah Islam ialah
membenamkan ummat Islam ke dalam aliran-aliran yang
menyesatkan; terutama Generasi Mudanya dengan
memalingkan mereka dari agama.
a. Materialisme
Zaman modern telah diracuni dengan meniupkan faham
kebendaan ke dalam otak dan pribadi masyarakat, dengan
faham yang mengingkari nilai kemanusiaan, rasa kasih
sayang penyantun terhadap keluarga, kerabat dan
masyarakat semuanya.
Yang paling berbahaya di dalam aliran materialisme ialah
besarnya nafsu manusia, nafsu masuk selalu di bagianbagian
yang lemah, sehingga manusia itu selalu cenderung
pada hal-hal yang cepat untuk mendapatkan kecintaan dan
kesuksesannya, seperti yang dijelaskan oleh Allah dalam
surat al Qiyamah ayat 20-21 dan surat Al Insan ayat 27, yang
artinya:
Ingat! bahkan kamu suka yang segera dan kamu tinggalkan
akhirat. (al Qiyamah ayat 20-21).
Sesungguhnya mereka itu mencintai yang segera, dan
meninggalkan di belakangnya hari yang berat
pertanggungan jawabnya (siksanya). (al Insan ayat 27).
Kecenderungan nafsu ini dimanfaatkan oleh musuh Islam,
untuk memojokkan pemuda dan pemudi melakukan
penggerogotan Da’wah Islam dengan mengutip sebagian
kata-kata akhli tasauf yang mengatakan dirinya Islam, di
mana kaum tasauf yang ingin memencilkan dirinya dari
kesenangan dunia, yang menurut anggapan mereka adalah
bukti dari mengikut agama yang sebenarnya. Semua ini
adalah propaganda batil. Tapi Orientalis mengambil manfaat
dari hal tersebut, untuk merusak Generasi Muda Islam
dengan faham materialis, agar mereka bingung dan ragu.
Materialisme, mengingkari agama yang menyeru kepada
iman, iman pada metafisika (ghaib) yaitu iman pada Allah,
malaikat, akhirat, hisab, surga, neraka dan semua yang
terjadi di dalam rasa menjadi pegangan ratio bagi aliran
kebendaan di dalam mehghukum sesuatu, untuk menerima
atau menolak, artinya aliran kebendaan menyarankan ummat
manusia ke dalam hawa nafsu dan mencintai dunia serta
meninggalkan agama yang benar.
Karena itu para juru Da’wah/ummat Islam harus menangkis
propaganda yang menyesatkan ini dan menjelaskan kepada
Angkatan Muda khususnya bahwa Islam bukan saja menyeru
kepada kebahagiaan di akhirat, dan tidak pernah
mengharamkan segala yang baik waktu hidup di dunia,
bahkan Islam menghendaki supaya mereka harus kuat dan
sehat agar beramal di semua lapangan kehidupan, dan
memanfaatkan segala sesuatu yang baik dari hasil usaha
mereka itu. (Lihat surat Al-Baqarah ayat 172, Al-Maidah ayat
87, Al-A raf ayat 32, dan An-Nahl ayat 97).
Artinya: Wahai orang-orang beriman! Makanlah olehmu
rezki-rezki yang baik yang telah kami berikan kepada kamu
dan bersyukurlah kepada Allah, jika kamu hanya mengabdi
kepada-Nya semata! (Al-Baqarah ayat 172).
Artinya: Wahai orang-orang beriman! Janganlah kamu
haramkan segala yang baik yang telah dihalalkan oleh Allah
untuk kamu, dan janganlah kamu melewati batas,
sesungguhnya Allah tidak suka pada orang-orang yang
melewati batas. (Al-Maidah ayat 87).
Artinya: Katakanlah! Siapa yang berani haramkan perhiasan
yang telah didatangkan Allah untuk hamba-hamba-Nya, dan
jangan mengharamkan yang baik-baik dari rezki; katakanlah
semua itu adalah untuk orang-orang beriman guna
kehidupan di dunia dan kehidupan di akhirat yang murni,
begitulah Allah (Kami) menjelaskan ayat-ayat kepada orangorang
yang mengerti. (Al-A raf ayat 32).
Artinya: Siapa-siapa yang beramal saleh, baik laki-laki
maupun wanita dan dia beriman, maka akan Kami berikan
padanya kehidupan yang layak, dan akan kami cukupkan
pahalanya dengan yang lebih baik dan yang sudah ia
kerjakan. (An-Nahl ayat 97).
Yang menegaskan: Agar orang-orang yang beriman
menikmati yang halal dan yang baik, dan jangan mencobacoba
mengharamkan yang dihalalkan Allah, dan jangan
melanggar batas ketentuan (Syari at).
Semuanya itu untuk menjamin keselamatan manusia sendiri
serta untuk melindunginya dari bahaya kehancuran atau
menurun ke derajat alam binatang (yaitu apabila ia sudah
melanggar batas-batas tersebut). Kehancuran dan turun ke
derajat hewan inilah yang diinginkan dan dituju oleh aliran
materialisme.
b. Wujudiyah = Eksistensialisme
Yaitu aliran kebebasan yang melepaskan dirinya dari semua
ikatan kemasyarakatan, hukum, peraturan serta adat-istiadat,
dan mengakui semua agama, tak punya tempat, tidak
mempunyai isteri dan atau tanah air. Sebenarnya aliran ini
adalah lanjutan dari aliran fikiran yang ditimbulkan oleh
materialisme modern, yaitu memisahkan manusia dari aliran
rohaninya dan menjadikannya menurun ke alam hewan
semata, yang tak berperikemanusiaan dan tidak
berperasaan.
PAUL SARTRE, tokoh aliran Wujudiyah (Existentialism) ini
menyatakan: Yang pantas dilaksanakan dalam kehidupan
kebebasan ialah menjadikan orang-orang pengecut menjadi
berani, menerima ajakan kebinatangan, melakukan keinginan
nafsu, membuang semua tradisi ajaran-ajaran
kemasyarakatan dan menghancurkan segala ikatan yang
dibuat oleh agama-agama. (Dari buku karya William James
yang diterjemahkan oleh Dr Mahmud Hasbullah dengan judul
Iradah al I tiqad halaman 21).
Aliran Wujudiyah merusak tabiat manusia, akal, hati dan jiwa
serta menjerumuskan kepada hewan yang tidak berotak,
tidak berhati dan tidak berjiwa (tak berperasaan).
Aliran ini sudah tersebar luas di berbagai tempat di Eropa
dan Amerika sebagai akibat dari kemerosotan Kristen di
negeri-negeri tersebut. Kemudian Yahudi menggunakan
kesempatan ini untuk memperluas kegagalan dan
kemerosotan masyarakat Eropa dan Amerika, yang kemudian
diekspor (diluaskan) ke negeri-negeri Islam, melalui Pemudapemuda
Islam yang belajar di Barat.
Faham ini ditanamkan pada pemuda-pemuda Islam, itu
sebagai pengertian yang bermaksud untuk pendangkalan,
yang dianggap sebagai gerakan kebebasan. Demikianlah
peranan besar yang dilakukan oleh Orientalisme, untuk
menyesatkan Pemuda-pemuda Islam dengan semboyan
Gerakan pembebasan yaitu bebas dari Agama, akal dan
perikemanusiaan supaya mereka menjadi hewan yang lebih
sesat, tidak khawatir lagi pada bahaya-bahaya kolonialis, dan
Orientalis untuk memerangi Islam dan penggerogotan
da'wahnya.
Karena itu kita ummat Islam harus waspada terhadap
propaganda yang berbahaya ini, supaya tidak terpengaruh
oleh musuh-musuh tersebut.
c. Sekularisme
Di antara cara Orientalis untuk merusak Da’wah Islam, ialah
dengan penyebaran faham-fahamnya, kepada para ilmuwan
Islam, agar mereka memisahkan antara ilmu dengan agama
(yang disebut Sekularisme), yaitu propaganda palsu dan
sesat yang bertopengkan intelektualisme.
Sebenarnya, Sekularisme adalah apa yang dipropagandakan
oleh Orientalisme untuk merusak Da’wah Islam. Mereka
membiayai dan memperlengkapi dengan segala fasilitas agar
ilmu dapat terpisah dari agama. Gerakan ini mulai bangkit di
Eropa setelah terjadinya persaingan antara Ilmuwan dengan
pemuka-pemuka Gereja yang berkuasa di zaman
Pertengahan dan menguasai otak orang-orang Eropa, yang
tidak menerima fikiran atau pendapat di luar yang bersumber
pada Gereja / Kristen. Di waktu itu kekuasaan Gereja
mempunyai hak pengampunan terhadap orang-orang yang
bersalah dan berdosa besar, begitu juga punya hak
mengutuk dan mengusir sebagai mewakili Tuhan dan lain
sebagainya.
Persengketaan ini berakhir dengan berpisahnya antara ilmu
pengetahuan dengan Gereja dan masing-masing punya
tokoh utama. Para ahli pengetahuan boleh berkata
sesukanya tanpa protes dari pihak Gereja dan sebaliknya
pihak Gereja punya hak mengatakan apa yang mereka sukai
dalam urusan agamanya.
Ketika terjadi persaingan antara ilmu dan agama Kristen
akibat dari perbuatan pihak Gereja yang menjalankan apaapa
yang diprotes oleh aliran ilmu maka Agama (Kristen)
harus memisahkan diri dari urusan dunia, dan urusannya
diganti/diambilalih oleh aliran ilmu tanpa agama. Berbeda
dengan Islam, Islam selamanya tidak memisahkan dan tidak
mempertentangkan ilmu dengan agama sebab ilmu adalah
alat untuk memperkuat agama, dan agama itu sendiri pun
adalah ilmu, dan ilmu adalah pembimbing kepada Agama. Di
dalam Al-Qur an, kata-kata ilmu dan yang berhubungan
dengan ilmu punya hubungan/peranan penting sekali, yang
lebih dari 820 kali disebutkan.
Pengembangan ilmu adalah sebagian dari risalah Islam,
dengan ilmu manusia bisa mengenal Tuhannya,
mengamalkan Syari at Islam, dan Islam mewajibkan
menuntut ilmu, lihat surat Az-Zumar ayat 9, Al-Mujadalah ayat
11, dan Thaha ayat 114.
Katakanlah (ya Muhammad)! Apakah sama orang berilmu
dengan yang tidak berilmu? Hanya yang bisa menganalisa
ialah ahli-ahli fikir. (Az-Zumar ayat 9).
Allah meninggikan derajat orang-orang berilmu dan yang
diberi ilmu. (Al-Mujaadalah ayat 11).
Katakanlah, ya Muhammad: O, Tuhan! Tambahlah aku
dengan ilmu. (Thaha ayat 114).
Adapun sekularisme yang dilahirkan oleh Orientalis,
membawa pada pemisahan ilmu dengan agama, hal ini tidak
ada dalam Islam dan tidak pantas ada dalam masyarakat
Islam, karena Islam menghimpun ilmu dan pengetahuan.
Siapa yang menerima sekularisme berarti tidak akan tahu
hakekat Islam dan tidaklah sempurna Islam seseorang tanpa
ilmu!
Kita harus membendung pemuda-pemuda terpelajar dari
taktik buta sekularisme yang menyesatkan, siapa yang
tenggelam dalam aliran pemikiran yang dibawa Orientalis,
berarti akan mengkaramkan ummat Islam sendiri, sebab hal
demikian akan merusak aqidah dan menjauhkan mereka dari
agama yang membawa kesentausaan mereka (Islam). Allahlah
yang punya kemuliaan, kekuasaan yang menentukan,
begitu Rasul-Nya dan orang beriman.
3. Menghancurkan/Membasmi Bahasa Arab
Di antara cara Orientalisme menghancurkan Islam ialah
dengan membasmi bahasa Arab, bahasa Al-Qur’an. Ini
dilakukan oleh Orientalis setelah mereka gagal merusak Al-
Qur’an secara langsung.
Orientalis menanamkan faham kepada pelajar-pelajar,
mahasiswa-mahasiswa Islam di Barat dengan menyatakan
bahwa Bahasa Arab tidak perlu untuk perkembangan dan
pembahasan. Maksudnya ialah untuk melemahkan bahasa
Arab itu sendiri agar Ummat meniriggalkan bahasa Arab dan
terputuslah hubungan sesama ummat Islam dan antara
Muslim dengan Allah dan Sunnah Nabi.
Orientalis menuduh bahwa bahasa Arab mempunyai
kekurangan-kekurangan, kelemahan-kelemahan, tidak
mampu menanggulangi ilmu-ilmu modern. Keterbelakangan
ummat Islam tersebab kekurangan-kekurangan yang ada
dalam bahasa Arab. Bahasa Arab tak mampu menampung
buah fikiran atau teori-teori Barat. Karena itu para pemakai
bahasa Arab harus memakai atau mengalihkan perhatian
kepada bahasa asing, dan mendalami bahasa asing yang
digunakan di zaman modern ini.
Tuduhan ini adalah palsu, dan bathil, sebab bahasa Arab
adalah bahasa yang sangat luas dan bisa melahirkan
bahasa/kata-kata baru. Buktinya, sesudah Islam meluas ke
tetangga Arab, bahasa Arab bisa menerima bahasa Rumawi
dan bahasa Parsi, yang dijadikan bahasa Arab, baik untuk
mufradaat maupun Tarkib (susunan kata) sesudah itu meluas
ke peradaban Yunani, dan Rumawi kuno. Dengan bahasa
Arab bisa diterjemahkan fikiran-fikiran dan falsafat
failasufnya, dari hasil usaha (ilmu) dan bahasa Arab inilah
Eropa mulai dikeluarkan dari kegelapannya di zaman
Pertengahan dan masuk ke abad modern yang mereka
banggakan. Tidak logis, kalau bahasa Arab lemah seperti
dituduhkan oleh para Orientalis di atas.
Orientalis menanamkan perasaan pada pelajarpelajar/
mahasiswa-mahasiswa Islam, agar mereka menulis
atau mengarang harus dengan huruf/bahasa Latin/asing dari
Arab, sebab bahasa Arab sulit menulis dengan mesin, sulit
mencetaknya dan lambat dan bermagam-macam bentuknya.
Sedangkan menulis huruf dengan Latin lebih praktis dan tidak
sulit.
Inilah propaganda keji, yang memutuskan antara Generasi
sekarang dengan generasi sebelumnya, dan kalau dibiarkan
begitu, maka bahasa Arab akan ditulis dengan bahasa Latin,
padahal dalam bahasa Latin tak ada huruf:
yang tidak mudah mengucapkannya dengan huruf Latin.
Berarti bahwa propaganda untuk menulis bahasa Arab
dengan huruf Latin adalah untuk melemahkan bahasa Arab,
bahasa Al-Qur’an dan untuk menghancurkan Islam.
Di samping itu, Orientalisme membesar-besarkan
propaganda untuk menggunakan bahasa Arab Ammi
(bahasa pasar/harian) sebagai ganti dari bahasa fushhah
(bahasa resmi) yang tidak dipakai dalam masyarakat awam,
ini akan memisahkan (gap) antara orang awam (biasa)
dengan orang terpelajar.
Padahal bahasa fushhah, adalah bahasa Qur an dan Hadits,
untuk memberikan pemahaman pada semua kalangan, tetapi
kalau dipojokkan untuk kalangan pelajar dan cendekiawan
Arab saja akan tertinggallah orang-orang awam dari
memahami Islam, mereka tak akan mampu melaksanakan,
mengamalkan perintah atau meninggalkan larangan, dan
tidak tahu alasan-alasannya, tidak mengerti kisah-kisah dari
Al-Qur’an atau pelajaran-pelajaran Islam secara umum.
Sebaliknya bahasa Ammi hanya difahami oleh kalangan
terbatas, dan tiap-tiap negara Islam (Arab) berbeda-beda
pula bahasa Ammi-nya. Taklah asing, kalau bahasa Ammi di
satu tempat (antara Mesir dengan Libya, atau Saudi dengan
Marokko dan lain sebagainya), berbeda dan bertentangan
satu sama lain, yang tidak dapat difahami satu sama lain,
sebagaimana perbedaan bahasa Inggris awam di Amerika
dan Inggris dan lain sebagainya. Ini tidak lain adalah cara
Orientalis memecah belah orang Islam dan menghancurkan
Islam.
Begitu pula, Orientalis mendorong/menyuruh para pelajar
Arab/Islam yang belajar kepada mereka agar meninggalkan
bahasa Arab, dan hanya dibolehkan menggunakan bahasa
Eropa (Barat) saja dengan alasannya yaitu mudah
mempelajarinya, aman serta terhindar dari kesalahan. Ini
sudah diperingatkan Allah dalam Al-Qur’an surat Yusuf ayat
21:
Artinya: Allah menurunkan Malaikat membawa Al-Qur an
dalam bahasa Arab yang tegas, agar kamu memahaminya.
(Yusuf ayat 21).
USAHA PROPAGANDA
ntuk mencapai maksudnya yaitu memalingkan kaum
Muslimin dari agamanya, dan melemahkannya
hingga mereka tak mampu melawan serangan
musuh dan penggerogotan Da’wah, kaum Orientalis
menggunakan berbagai cara lain dengan memperalat segala
kemungkinan yang dipakai oleh ummat Islam sendiri.
1. Propaganda penyesatan dengan memakai nama Islam
Orientalis menggunakan aliran-aliran Tasauf dan aliran
Kepercayaan/Kebatinan Bahaiy dan Qodyaniyah.
a. Aliran Tasauf
Kepercayaan ini mendawahkan bahwa mereka ingin
menempuh jalan untuk sampai pada Allah, tapi tidak dengan
menempuh jalan yang diatur oleh Allah dalam Al-Qur an dan
oleh Nabi dalam Sunnah; mereka membuat cara sendiri,
yang tidak diizinkan Allah, dan membuat ketentuan/undangundang
Suluk, yang melakukan zuhud (memencilkan diri dari
keduniaan), latihan jiwa mengharamkan yang halal, dan
membunuh nafsu. Mereka mengambil ajaran-ajaran agama,
atau aliran-aliran lain, yang mereka rasakan dan kira-kira
U
belum terdapat dalam agama Islam dan tentu Syaitan
menggiringnya pada khayalan-khayalan yang tak ada
hakekatnya, sehingga mereka membenamkan diri ke dalam
ikatan-ikatan Wihdatul Wujud, serta tidak mengakui Syari at,
menyama-ratakan antara Iman dan Kafir serta menyamakan
antara ta at dan durhaka dan da waan penyaksiannya pada
Tuhan bagi segala yang ada.
Lihat kitab karangan Ibnu Araby, salah seorang aktivis yang
aktif mengupas. tentang kaum tasauf (Wihdatul Wujud) yang
sesat.
b. Bahaiy
Bahaiy lahir di Iran pada abad ke-19, yang mengambil
inspirasi dari ajaran Syiah, disebarkan dan dikembangkan
oleh Syirazy (keturunan Yahudi yang mengaku beragama
Islam) yang bergelar BABA, tak berapa lama sesudah Imam
ke-12 Muhammad bin Hasan al Ashary yang kelahirannya
dinanti-nantikan oleh sekte Syiah Imam 12 .
Kemudian kebohongan ini terbukti dengan kehobongan Al
Baba (Syirazy) di kalangan Syi ah, yang menyatakan bahwa
imam yang sudah hilang, akan muncul di Tebriz (Iran)
(Adzarbijan.)
Kaum Syi ah meyakini, bahwa imam ini akan timbul/bangkit di
Timur Iran, di suatu gunung yang bemama Kouh Khada ,
artinya Gunung Allah . Kemudian Al Baba ditangkap dan
dihukum mati, dan sebelum dihukum mati diumumkan, bahwa
Imam yang dimaksudnya ialah muridnya Hasan Sabah Azal
yang bergelar Baha ullah dan dinamakanlah alirannya Al-
Baha iy karena dihubungkan dengan Baha ullah ini, yang lari
dari Iran. Baha ullah menda wakan dirinya Nabi, yang diutus
membawa agama baru, pembaharu Islam, dan kepadanya
diturunkan kitab. Selama hidupnya ia giat menyiarkan ajaran
Bahaiy ini. Dia dikuburkan di Palestina yang diduduki Israel.
Propaganda Aliran Bahaiy serupa dengan Komunisme, yaitu
melepaskan diri dari ikatan dan ajaran agama, dengan kedok
kedamaian dan anti perang , memberikan kebebasan pada
wanita sesuka hatinya, menjadikan tahunan jadi 19 bulan.
Jadi hakekat ajaran ini benar-benar menyeleweng dari Islam
dan merusak agama Islam.
Propaganda Bahaiy ini disokong oleh Kolonialis dan
Orientalis, demi untuk merusak dan memalsukan Islam. (Lihat
Al-Qodyani dan Al-Qodyaniyah, karangan Abu Hasan An
Nadawy, halaman 19 dan seterusnya).
c. Al-Qadyaaniyah
Yaitu propaganda penyesatan yang timbul di India, pada
akhir abad ke-19, yang berkedok (memakai) nama Islam,
didirikan oleh MIRZA GHULAM AHMAD dan pusat
kegiatannya di India, penganutnya ialah rakyat India juga,
36
kemudian meluas ke luar negeri dan bermunculan di negaranegara
Asia, Afrika. Inipun disokong oleh Kolonialis dan
Orientails.
Gerakan Qodyaniyah ini timbul di masa udara pemikiran dan
politik India sesudah revolusi menentang penjajahan Inggris
pada tahun 1875, yaitu Revolusi yang menghancurkan
ummat Islam. Maka Qodyani mengikuti langkah politik
kolonial. Dengan langkah kebudayaan ini, mereka mendapat
bantuan dari Inggris. Tujuannya adalah menggoncangkan
aqidah Islam, karena Islam-lah sumber yang membangkitkan
roh jihad membela agama, tanah air, harta benda dan jiwa.
(Lihat Al-Qodyani karangan Abu Hasan An Nadawy).
Di samping itu Kolonialis memperalat aliran-aliran Tasauf dan
kebatinan yang telah menyeleweng untuk menyebar luaskan
perbuatan-perbuatan bid ah, khurafat. Dalam keadaan orang
Islam India putus asa dan grogi, dan menyerah pada tekanan
situasi yang berbahaya, banyak di antara mereka yang
digiring masuk ke dalam aliran Qodyani yang bathil, yang
dipelopori oleh Mirza Ghulam Ahmad di Punjab.
Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang yang diagungkan oleh
Inggris, yang di masa mudanya terkenal dengan penganut
aliran Tasauf, dan menyendiri. Kemudian dia jadi tokoh di
kalangan ummat Islam dan mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan
sebagiannya yang diselewengkan, yang bagi orang awamdan
tidak hafal-Qur’an, sama saja antara Qur an dengan
bahasaArab. Ini adalah usahanya merusak Qur an.
Bukan sekedar itu saja, bahkan dia menda wakan dirinya
sebagai Nabi yang menerima wahyu, dan dia aktif
menyiarkan ajarannya ini untuk maksud politik yang
digariskan oleh Kolonial. Dia menghapuskan Jihad, sebagai
kewajiban umat Islam dia mengancam revolusi Islam
menentang penjajah Inggris di India.
Dalam bukunya TERYAQ QULUB, Mirza Ghulara Ahmad
mengatakan: Saya menggunakan sebagian besar umurku
untuk menyokong pemerintah Inggris, dan mencegah jihad,
wajib taat pada Ulil Amri (Inggris). Ini ditulis dalam buku-buku
selebaran-selebaran, brosur-brosur yang kalau mungkin
dikumpulkan semuanya telah memenuhi 50 gudang. Bukubuku
ini tersebar di negeri-negeri Arab, Mesir, Syiria, Turki
serta Indonesia dan lain-lain, yang tujuannya agar ummat
Islam toleransi dan mengakui kekuasaan penjajah; dia
memuaskan hatinya dengan kisah Al Mahdi dan Al Masih
yang ditunggu datangnya kembali ke bumi, dan
menghapuskan perasaan Jihad dan lain-Iain.
Ini membuktikan, bahwa Mirza Ghulam Ahmad menggunakan
Qodyaniyah sebagai alat untuk mematahkan cita-cita ummat
Islam India, supaya mereka tidak melakukan perlawanan
terhadap Inggris dan menerima kehinaan serta perbudakan.
Artinya, Qodyaniyah adalah produk Kolonial. Inilah rahasia
yang menjadikan Qodyan masih berkembang sesudah
matinya Mirza Ghulam Ahmad tahun 1908, dan pengikutpengikut
Mirza ini aktif menyiarkan aliran-aliran ini di
kalangan ummat Islam dengan giat atas bantuan biaya dan
moril dari musuh-musuh Islam. Qodyan membuka cabangcabangnya
di Eropa, Asia dan Afrika yang menggunakan
nama sebagai Da’wah Islam. Penganut Qodyaniyah
bekerjasama menyebarkan faham kolonialisme bersama
Orientalis dan Zionis.
Bahkan mereka sengaja menyerang Islam dengan
menggunakan musuh-musuh Islam sebagai anggota
Da’wahnya, yang tentu mereka mengarah saja ke
penggerogotan Islam, namun begitu Allah tetap melindungi
Islam.
2. Menggunakan Mass Media
Orientalis selalu bersama Kolonialis dalam menyerang
(memerangi Islam). Di negeri-negeri Islam sendiri, seluruh
mass media modem selalu bekerjasama dengan Orientalis
dalam memerangi Islam dan menggerogoti Da’wahnya. Maka
ummat Islam menghadapi perang pena, mass media yang
membawa kebinasaan yang disampaikan mereka dalam
surat-surat kabar, majalah-majalah, radio, televisi, film atau
theater dan lain-lain.
Bahaya perang Mass Media (perang pena) ini besar sekali,
sebab ia langsung meresap ke dalam otak dan hati tanpa
koreksi, dan tanpa disaring oleh kebanyakan manusia dan
ummat Islam. Fikiran-fikiran berbisa yang dilontarkan dan
meresap ke dalam otak ummat Islam, fikiran-fikiran yang
merusak dan berbisa ini sengaja ditiupkan dan dihembuskan
oleh para orientalis antek kolonialis sebagai taktiknya
menyerang Islam.
Mass media dipergunakan oleh musuh-musuh Islam itu untuk
menghancurkan umat Islam, melalui tulisan-tulisan, gambargambar,
film-film, fikiran, buku-buku, sandiwara, pidatopidato,
dan uraian yang berkedok ilmiah. Ini lebih berbahaya
dari serangan fisik langsung oleh militer lengkap dengan
persenjataannya sebab tentara itu mudah dilihat dan
diketahui gerakan dan penyerangannya.
Yang sangat disayangkan sekali ialah bahwa ummat Islam di
semua tempat tidak menyadari bahaya mass media yang
disalah-gunakan ini, dan banyak pula para Juru Da’wah,
Muballigh, menerima saja apa yang disiarkan oleh Mass
Media.
Di zaman kita sekarang ini, umumnya Mass Media sering
menyiarkan bermacam kefasadan, kemungkaran,
kebebasan, atheis. Semuanya disajikan sesuai dengan apa
yang berlaku di Eropah dan Amerika, di mana kebanyakan
masyarakatnya sudah merosot sekali moralnya karena sudah
dangkalnya paham dan pengertian agama mereka dan akibat
terbongkarnya rahasia Kristen yang di dalam ajarannya
sekarang banyak sekali kontradiksi (pertentanganpertentangan)
begitu pula ajaran Yahudi sendiri, semuanya
tak sesuai lagi dengan akal yang sehat dan ilmu
pengetahuan.
Sebaliknya, Islam dan ajarannya selamat dari kontradiksi itu.
Islam menyeru kepada Tauhid, persatuan dan persaudaraan,
keadilan, kemajuan dan sesuai dengan akal dan
pengetahuan. Islam menyeru ummat manusia agar berjuang
untuk mempertahankan agama Islam, mempertahankan
tanah air, hak, diri, keluarga, dan lain-lain. Justru karena
itulah Kolonialis dan antek-anteknya MENGUASAI MASS
MEDIA untuk MENGELABUI dan MEMUTAR-BALIKKAN
FAKTA.
3. Membesar-besarkan Tradisi Kuno
Membesar-besarkan adat dan tradisi serta perbuatanperbuatan
masyarakat di masa Jahiliyah, perbuatanperbuatan
bangsa primitif, yang dida wakan dan
dihembuskan bahwa hal yang seperti itu seolah-olah adalah
ajaran Islam; ini dilakukan pula oleh para Ilmuwan Islam
(munafiq) yang bekerjasama dengan Orientalis. Akhirnya
mereka menuduhkan bahwa orang-orang Islam itu sama
dengan Badui, Kubu, Ortodok, seperti suku terasing dan
primitif, liar, fanatik, dan lain-lain. Syari at Islam itu (menurut
Orientalis ) hanya sesuai dengan orang-orang primitif dan
orang ortodok, tak sesuai dan tak cocok dengan zaman
modern, dan lain sebagainya.
Di samping itu, Orientalis dan anteknya selalu meniupkan halhal
dan bibit perpecahan antara bangsa, pemisahan antara
bangsa, pemisahan antara adat Arab, dan adat suatu bangsa
dengan Islam.
USAHA UMMAT ISLAM MENANGKIS SERANGAN
ORIENTALISME
ekalipun kaum penjajah sudah angkat kaki, tapi
ajaran-ajaran dan sistemnya terus dijalankan oleh
mereka yang telah keracunan oleh ajaran-ajarannya
itu dan diteruskan oleh pengikut-pengikut yang mereka
tinggalkan.
1. Defensif
Agar Ulama-ulama, Juru Da’wah, Muballigh serta pemimpinpemimpin
Islam aktif menangkis tuduhan-tuduhan,
pemalsuan dan propaganda berbisa yang sengaja
dilontarkan oleh Orientalis, supaya ummat Islam sadar, insaf
dan lebih aktif membahas dan mempelajari ajaran agama
Islam dan mengamalkannya.
Usaha ini memerlukan alat-alat dan mass media pula,
memerlukan Juru Da’wah yang khusus dan berilmu tinggi,
berakhlak mulia, berjiwa jihad dan beramal karena Allah,
dalam ilmunya mengenai Islam, juga memahami taktik dan
strategi serta tulisan dan karangan musuh-musuh Islam, dan
mengerti bahasa-bahasa asing: Inggris, Perancis, Jerman,
S
Rusia dan terutama sekali bahasa Arab.
Di samping ilmu dan kesungguhannya itu PERLU ADANYA
IKATAN (ORGANISASI) Juru-juru Da’wah dan Organisasi
Da’wah untuk menghimpun dan.mengatur kerjasama dan
mengatur taktik dan strategi Islam.
2. Tabligh
Agar ummat Islam aktif menyiarkan dan menyebar luaskan
ajaran Islam ke seluruh negeri yang belum beragama dan ke
negeri-negeri yang belum sampai padanya ajaran Islam. Ini
pun memerlukan adanya juru Da’wah yang militan dan ulet,
berilmu dan mengerti betul tentang Islam, cerdas, dan
tergabung dalam kelompok mubaligh guna menghadapi
lawan-lawan Islam dalam segala bentuk, nama dan tindakan
serta serangannya seperti dijelaskan di atas.
Ingatlah firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 104, yang
artinya: Hendaklah di antara kamu ada ummat yang
menyeru kepada kebaikan, melakukan yang ma ruf dan
mencegah yang munkar mereka itulah orang yang menang.
Surat As-Shaf ayat 14, yang artinya: Wahai orang-orang
beriman! Hendaklah kamu menjadi Pembela agama Allah,
seperti yang dikatakan oleh Isa bin Maryam kepada
pengikutnya: Siapa yang akan menolongku untuk
menegakkan agama Allah? Dijawab oleh pengikutnya
spontan (langsung): Kami ansharullah (Pembela Agama
Allah).
Karena itu, wajib bagi semua ummat Islam berjuang dan aktif
berda’wah menyiarkan dan membela Islam dengan semua
kemampuan, harta, tenaga, ilmu dan semua yang dimiliki,
baik kedudukan, jabatan, kekuasaan, ilmu dan segalanya,
agar dimanfaatkan untuk mengeluarkan ummat manusia dari
Zhulumat (musyrik, kafir, munafiq, fasiq, bodoh, melarat,
miskin, lemah, dianiaya, pecah-belah, dan lain-lain), kepada
an NUUR (bertauhid, beriman, istiqamah, beramal shaleh,
pintar, makmur, kuat, adil, bersatu, dan lain-lain) sesuai
dengan ketentuan Syari at Islam yang meliputi Tauhid,
Hukum sanksi, warisan, akhlak, jihad, dan semua mu malat,
politik, ekonomi, dan lain-lain, tanpa menambah atau
mengurangi.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan