Khamis, Julai 28

Kisah Buah Manggis dan Kisah Prahara Kematian

Seorang turis dari Siberia, sebuah daerah dekat kutub utara berkunjung ke Indonesia dalam rangka mengisi masa liburannya. Ini kunjungan pertama kali dia ke luar negeri, dan negara yang ingin dikunjunginya adalah daerah tropis yang terletak di khatulistiwa dengan ciri khas mengalami musim panas sepanjang tahun dan tentu amat berbeda sekali dengan negeri asalnya yang sepanjang tahun diliputi musim dingin.

Sebelum berkunjung ke Indonesia dia sudah mempelajari buku-buku yang berhubungan dengan Indonesia, seluruh pengetahuan tentang Indonesia, baik karakteristik masyarakatnya yang ramah tamah, makanan khas serta berbagai jenis buah-buahan dipelajari dengan sempurna, tentu dia sudah merasa yakin sekali pengetahuan tentang Indonesia sudah sangat sempurna menurut dia.

Salah satu yang membuat dia penasaran dan ingin sekali menikmatinya adalah buah manggis yang diceritakan sebagai buah amat manis rasanya, berbuah sepanjang tahun tanpa mengenal musim, bentuknya seperti buah apel namun manisnya beratus kali lipat lebih manis dari apel.

Dia menginap di sebuah hotel, hari pertama kedatangannya langsung memesan sekeranjang buah manggis kepada pelayan hotel, setelah menerima pesanannya kemudian dia bertanya kepada pelayan hotel:

“Benar ini buah manggis yang terkenal sangat manis itu?”,

“Benar tuan, inilah buah manggis” jawab pelayan hotel.

Kemudian turis tadi membawa buah manggis itu ke kamarnya, dengan tidak sabar langsung dia memakan buah manggis seperti memakan buah apel, yang dimakan adalah kulitnya, dan tentu saja sangat pahit rasanya, dia langsung memuntahkannya. Kemudian dia panggil pelayan hotel, sambil marah-marah: “anda telah menipu saya, ini bukan buah manggis”

Dengan gugup pelayan hotel menjawab: “benar tuan, inilah buah manggis, kenapa tuan ragu?”

Dengan wajah kesal turis itu berkata: “Kalau benar ini buah manggis, berarti penipu semua orang Indonesia, penipu profesor yang ngarang buku tentang manggis, katanya manis dan enak, ini kok pahit?”

“gimana cara tuan memakannya?”

“Ya seperti makan buah apel, saya cuci langsung dimakan, memangnya kenapa?”

Pelayan hotel senyum-senyum, “Bukan begitu tuan, buah manggis tidak sama dengan buah apel, jangan tuan makan kulitnya, yang dimakan itu isi dalamnya”

Pelayan hotel memberikan contoh cara makan manggis, dan sang turis mencontohnya, setelah buah manggis dimakan dengan cara yang benar maka dia barkata, : “Luar biasa, ternyata buah manggis itu memang benar-benar sangat manis dan enak”

Cerita di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa pengetahuan tentang sesuatu tidak lah cukup hanya dengan membaca, terkadang apa yang kita baca berbeda dengan kenyataan. Makan buah manggis yang terkenal manis kalau tidak tahu caranya malah jadi pahit, lalu bagaimana dengan beragama kalau hanya “makan” kulitnya?

Allah SWT berfirman, “Banyak orang berpuasa hanya mendapat lapar dan dahaga”, padahal orang berpuasa dua kenikmatan yang diberikan oleh Allah yaitu saat berbuka dan berjumpa dengan Tuhannya sebagai kenikmatan yang tiada bandingannya (bagi yang tidak yakin Tuhan bisa dijumpai di dunia sudah pasti hanya dapat nikmat berbuka aja), atau ancaman Neraka Wail bagi orang yang lalai dalam shalat, padahal shalat adalah media dialog yang sangat khusus dengan Tuhan, lewat shalat lah kita bisa mengakrabkan diri dengan-Nya, tapi justru menjadi bala/neraka karena tidak tahu metode yang tepat.

Sudah saatnya kita memperbaiki cara makan buah manggis, jangan terlalu asik dengan keindahan kulit, tujuan kulit itu tidak lain untuk membungkus isi yang sangat berharga, kalau anda tetap juga makan kulitnya jangan salahkan sufimuda kalau semakin anda makan semakin terasa pahit, pening, susah, gundah, takut,

Kisah Prahara Kematian

Pada zaman dahulu kala diceritakan ada seorang guru sufi memiliki enam puluh murid. Karena kedekatannya, sang guru pun hafal benar dengan kamampuan masing-masing muridnya. Pada suatu sore sang guru merasa bahwa saatnya untuk melakukan pengembaraan (safar) sudah tiba bagi murid-muridnya.

Lalu sang guru sufi mengumpulkan semua murid-muridnya. Dia ingin menyampaikan rencananya untuk melakukan tahapan pengembaraan.

“Sekarang saatnya kita harus melakukan pengembaraan jauh. Akan ada sebuah kejadian disepanjang perjalanan yang akan menimpa kita. Aku sendiri tidak tahu, apa itu. Dan kalian aku pikir sudah cukup paham untuk memasuki tahapan –maqam- ini,” demikian urai sang guru sufi, “Tapi ada satu hal yang harus kalian ingat, yakni perkataan ini: ‘Aku harus mati demi sang sufi’. Bersiaplah untuk meneriakkannya pada waktunya nanti. Dan aku akan mengangkat tanganku sebagai tanda,” lanjut sang guru sufi.

Para murid mulai berbisik-bisik satu sama lain. Mereka begitu heran dan khawatir, apa maksud dari perkataan gurunya? Ada kecurigaan menyelimuti mereka.

“Guru tahu bahwa kelak akan terjadi peristiwa tragis, dan dia siap mengorbankan kita semua. Guru tidak ingin mengorbankan dirinya sendiri,” kata seseorang dari mereka.

Salah seorang yang lain mencoba berani berkata: “Guru mungkin membuat rencana jahat. Boleh jadi itu sebuah pembunuhan. Saya tidak akan melakukan syarat yang dikatakannya.”

Namun, akhirnya pengembaraan pun segera dijalankan. Satu demi satu muridnya bergerak. Dan setapak demi setapak pengembaraan terus dijelang.

Setelah berhari-hari melakukan pengembaraan, tibalah sang guru bersama murid-muridnya disebuah kota. Ketika sampai di kota itu, kota selanjutnya sudah dikuasai oleh seorang raja zalim.

Raja kejam dengan pasukannya yang kuat menangkapi semua orang yang masuk ke kota itu. Dan siapa pun harus dipenggal karena dianggap melanggar peraturan yang dibuatnya sendiri.

Raja kejam itu ketika melihat rombongan sang guru sufi kemudian memerintahkan pasukannya agar menangkap mereka, “Tangkap orang yang lemah lembut itu dan bawa dia untuk diadili di tengah-tengah alun-alun kota. Aku ingin menghukumnya sebagai seorang penjahat”.

Tidak ada kalimat yang terucap, kecuali: “siaa…ap, paduka raja!” Mereka kemudian menangkapi orang-orang yang ada di jalanan. Salah seorang murid guru sufi kemudian tertangkap.

Namun kemudian sang guru sufi mengikuti muridnya yang dibawa oleh tentara itu menuju rajanya. Genderang ditabuh; suasana riuh. Dan orang-orang penduduk kota pun semua berkumpul. Mereka paham kalau genderang yang didengar adalah isyarat kebiadaban dan kematian.

Lalu sang murid itu dilempar ke hadapan sang raja, dan sang raja berkata: “Sebagai contoh, kamu akan saya hukum sebagai seorang penjahat, agar penduduk tahu kalau saya tidak akan membiarkan pemberontakan dan pelarian.”

Namun, tiba-tiba sang guru berteriak dengan suara lantang: “Terimalah hidupku, wahai raja yang mulia, sebagai pengganti hidup pemuda yang tidak bersalah ini! Aku lah yang sebenarnya harus dihukum, karena aku lah yang mengajak dia mengembara!”

Pada waktu yang bersamaan, sang guru sufi itu mengangkat tangan kanannya. Lalu pekik menyahut membahana, seperti yang sudah diajarkan sebelumnya: “Izinkan kami saja yang mati sebagai ganti guru sufi kami itu”

Raja menjadi kaget dan keheranan. Lalu dia berpaling ke arah penasihat dan bertanya: “Orang macam apa mereka? Kenapa mereka berebut kematian? Jika ini yang dimaksud kepahlawanan, apakah ini tidak berarti sedang memprovokasi penduduk untuk melawan aku? Beri tahu aku penasehat, Apa yang harus aku lakukan?” tanya sang raja, dicekam kebingungan.

“Wahai raja, kalau ini dianggap sebagai kepahlawanan, maka kita harus bertindak kejam agar penduduk takut dan hilang keberaniannya! Tapi, saya kira tidak salah kalau saya lebih dahulu bertanya kepada guru mereka,” kata sang penasehat kepada raja.

Dan ketika ditanya, sang guru sufi menjawab: “Baginda yang mulia, telah diramalkan bahwa seorang manusia akan mati hari dan di sini. Orang itu akan mati dan hidup lagi. Lalu dia akan hidup abadi. Makanya aku dan murid-muridku ingin sekali menjadi orang itu.”

Lalu tiba-tiba kerakusan dalam diri sang raja pun berbisik dalam hatinya: “Kenapa harus orang lain yang mendapatkan keabadian? Kenapa aku membiarkan orang lain untuk mendapatkan keabadian itu! Bodoh sekali aku.”

Dan entah bagaimana sejenak kemudian raja memerintahkan pengawalnya agar segera membunuh dirinya untuk menyongsong keabadian itu. Akhirnya raja yang zalim dan rakus akan kekuasaan itu harus mati demi keabadian.



Dikutip dari Buku Seri Teladan Humor Sufistik, Harga Sebuah Loyalitas, Karya Tasirun Sulaiman, Penerbit Erlangga, 2005

Tiada ulasan:

Catat Ulasan