Syekh Muhammad Bahauddin An Naqsabandiy Ra. Adalah seorang Wali Qutub yang masyhur hidup pada tahun 717-791 H di desa Qoshrul ‘Arifan, Bukhara, Rusia. Beliau adalah pendiri Thoriqoh Naqsyabandiyah sebuah thoriqoh yang sangat terkenal dengan pengikut sampai jutaan jama’ah dan tersebar sampai ke Indonesia hingga saat ini.
Nama lengkap beliau adalah Syaikh Bahauddin Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Asy Syarif Al Husaini Al Hasani Al Uwaisi Al Bukhari QS (Syech Naqsyabandy) Dilahirkan di Qashrul ‘Arifan, Bukhara, Uzbekistan tanggal 15 Muharram tahun tahun 717 H atau tahun 1317 M. Syekh Naqsyabandi lahir dari lingkungan keluarga sosial yang baik dan kelahirannya disertai oleh kejadian yang aneh. Menurut satu riwayat, jauh sebelum tiba waktu kelahirannya sudah ada tanda- tanda aneh yaitu bau harum semerbak di desa kelahirannya itu. Bau harum itu tercium ketika rombongan Syekh Muhammad Baba As Samasi q.s. (silsilah ke- 13), seorang wali besar dari Sammas (sekitar 4 km dari Bukharah), bersama pengikutnya melewati desa tersebut. Ketika itu As Samasi berkata, “Bau harum yang kita cium sekarang ini datang dari seorang laki- laki yang akan lahir di desa ini”. Sekitar tiga hari sebelum Naqsyabandi lahir, wali besar ini kembali menegaskan bahwa bau harum itu semakin semerbak.
Dari awal, ia memiliki kaitan erat dengan Khwajagan, yaitu para guru dalam mata rantai Tariqat Naqsyabandi. Sejak masih bayi, ia diadopsi sebagai anak spiritual oleh salah seorang dari mereka, yaitu Baba Muhammad Sammasi. Sammasi merupakan pemandu pertamanya dalam jalur ini, dan yang lebih penting lagi adalah hubungannya dengan penerus (khalifah) Sammasi, yaitu Amir Kulal, yang merupakan rantai terakhir dalam silsilah sebelum Baha-ud-Din. Baha-ud-Din mendapat latihan dasar dalam jalur ini dari Amir Kulal, yang juga merupakan sahabat dekatnya selama bertahun-tahun.
Pada suatu saat, Baha-ud-Din mendapat instruksi secara "ruhani" oleh Abdul Khaliq Gajadwani (yang telah meninggal secara jasmani) untuk melakukan dzikir secara hening (tanpa suara). Meskipun Amir Kulal adalah keturunan spiritual dari Abdul Khaliq, Amir Kulal mempraktekkan dzikir yang dilakukan dengan bersuara. Setelah mendapat petunjuk mengenai dzikir diam tersebut, Baha-ud-Din lantas absen dari kelompok ketika mereka mengadakan dzikir bersuara.
Setelah Naqsyabandi lahir, dia segera dibawa oleh ayahnya kepada Syekh Muhammad Baba As Samasi yang menerimanya dengan gembira. As Samasi berkata, “Ini adalah anakku, dan menjadi saksilah kamu bahwa aku menerimanya”. Naqsyabandi rajin menuntut ilmu dan dengan senang hati menekuni tasawuf. Dia belajar tasawuf kepada Muhammad Baba as Samasi ketika beliau berusia 18 tahun. Untuk itu beliau bermukim di Sammas dan belajar di situ sampai gurunya (Syekh As Samasi) wafat. Sebelum Syekh As Samasi wafat, beliau mengangkat Naqsyabandi sebagai khalifahnya. Setelah gurunya wafat, dia pergi ke Samarkand, kemudian pulang ke Bukhara, setelah itu pulang ke desa tempat kelahirannya. Setelah belajar dengan Syekh Baba As Samasi (silsilah ke 13), Naqsyabandi belajar ilmu tarikat kepada seorang wali quthub di Nasyaf, yaitu Syekh As Sayyid Amir Kulal q.s. (silsilah ke- 14).
Syekh Naqsyabandi pernah bertemu secara rohani dengan Syekh Abdul Khaliq Fadjuani dan di ajarkan zikir khafi serta suluk, Sejak masa Syaikh Arif Ar Riwikari sampai Syekh Amir Kulal zikir/tawajuh bersama dilakukan secara zahar akan tetapi kalau zikir sendiri secara khafi, Syekh Naqsyabandi tidak pernah ikut ertawajuh dengan Syekh Amir Kullal yang zikir bersama secara zahar, hal ini menimbulkan prasangka buruk pada murid murid gurunya yang tidak mengerti duduk persoalan. Akan tetapi Syekh Amir Kullal justru bertambah sayang dan cinta kepada Syekh Naqsyabandi. Suatu hari Syekh Bahauddin di panggil oleh Gurunya dan berkata, “ Duuh putraku Bahauddin, kebetulan sekali pada waktu ini saudara saudara kita terutama para Khalifahku sedang berkumpul, aku akan berkata kepadamu, supaya disaksikan oleh para hadirin: Bahauddin! Supaya engkau tahu, bersamaan hidmahmu disini, Alhamdulillah aku telah melaksanakan wasiat guruku alhmarhum Syekh Muhammad Baba (lalu Syekh Amir Kullal memberi isyarat pada susunya), dan berkata kepadanya: Engkau telah meneteki susu pendidikanku ini sampai kering, tetapi wadahmu terlalu besar dan persiapanmu sangat kuat, maka itu aku telah mengizinkan kepadamu supaya meninggalkan tempat ini untuk mencari beberapa guru supaya kamu menambah beberapa faedah yang perlu dari mereka dan faidan nur (Keluberan Nur Ilahi) yang selaras dengan cita citamu yang agung itu. Aku hanya bisa memberi ancar ancar carilah guru dari tanah Tajik dan dari tanah Turki”.
Setelah meminta izin dari Syekh Amir Kulal selanjutnya Syekh Naqsyabandi berguru kepada Syekh ‘Arifuddin Karoni selama tujuh tahun, kemudian berguru kepada Maulana Qatsam selama dua tahun terkahir kepada Syekh Darwisy Khalil dari Turki selama dua belas tahun. Syekh Naqsyabandi telah melaksanakan titah gurunya (Syekh Amir Khulal) demikian juga fatwa-fatwa dari Syekh Abdul Khaliq Fadjuani untuk memperdalam ilmu-ilmu syariat secara mendalam sehingga sempurnalah ilmu yang Beliau peroleh. Syekh Bahauddin pernah menyanjung ilmu tarekatnya dengan ucapan “Permulaan pelajaran Tarikatku akhir dari pelajaran semua tarekat”. Pisahnya Baha-ud-Din dari kelompok Amir Kulal ini mungkin bisa dianggap sebagai penanda terwujudnya tariqat Naqsyabandi, yang ajarannya didapat dari Abdul Khaliq, yang ujungnya berasal dari Khalifah Abu Bakar diperoleh dari Nabi Muhammad.
Al Qutub, Auliya Allah, Penasehat Utama Sultan Khalil di Samarqan, fatwa-fatwanya menjadi rujukan Hakim-Hakim Agung dalam memutuskan perkara. Karena kebesaran namanya, Tarekat yang di pimpinnya tersebar dengan cepat dan termashur serta memiliki pengikut yang sangat banyak dan tersebar ke seluruh dunia.
Beliau meletakkan dasar-dasar zikir qalbi yang sirri, zikir batin qalbi yang tidak berbunyi dan tidak bergerak, dan beliau meletakkan kemurnian ibadat semata-mata lillahi ta’ala, tergambar dalam do’a beliau yang diajarkan kepada murid-muridnya “Ilahi anta makshuudi waridlaaka mathluubi”. secara murni meneruskan ibadat Tratiwatus Sirriyah zaman Rasulullah, Thariqatul Ubudiyyah zaman Abu Bakar Siddiq dan Thariqatus Siddiqiyah zaman Salman al-Farisi. Beliau amat masyhur dengan keramat-keramatnya dan makmur dengan kekayaannya, lagi terkenal sebagai wali akbar dan wali quthub yang afdal, yang amat tinggi hakikat dan marifatnya. Dari murid-muridnya dahulu sampai dengan sekarang, banyak melahirkan wali-wali besar di Timur maupun di Barat, sehingga ajarannya meluas ke seluruh pelosok dunia. Beliau pulalah yang mengatur pelaksanaan iktikaf atau suluk dari 40 (empat puluh) hari menjadi 10 (sepuluh) hari, yang dilaksanakan secara efisien dan efektif, dengan disiplin dan ada suluk yang teguh. Syekh Naqsyabandy wafat pada malam Senin Tanggal 3 Rabi’ul Awal tahun 791 H dalam usia 74 tahun.
Syekh Naqsyabandi meninggalkan banyak penerus, yang paling terhormat di antara mereka adalah Syekh Muhammad bin Muhammad Alauddin al-Khwarazmi al-Bukhari al-Attar q.s dan Syaikh Muhammad bin Muhammad bin Mahmoud al-Hafizi q.s, yang dikenal sebagai Muhammad Parsa, penulis Risalah Qudsiyyah. Kepada yang pertamalah Syekh Naqsyabdi meneruskan Ilmunya dan menjadi Ahli Silsilah ke-16
Syekh Muhammmad Baba as Samasiy adalah guru pertama kali dari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. yang telah mengetahui sebelumnya tentang akan lahirnya seseorang yang akan menjadi orang besar, yang mulia dan agung baik disisi Allah Swt. maupun dihadapan sesama manusia di desa Qoshrul Arifan yang tidak lain adalah Syekh Bahauddin.
Di dalam asuhan, didikan dan gemblengan dari Syekh Muhammad Baba inilah Syekh Muhammad Bahauddin mencapai keberhasilan di dalam mendekatkan diri kepada Allah Swt. sampai Syekh Muhammad Baba menganugerahinya sebuah “kopiah wasiat al Azizan” yang membuat cita-citanya untuk lebih dekat dan wusul kepada Allah Swt. semakin meningkat dan bertambah kuat. Hingga pada suatu saat, Syekh Muhammad Bahauddin Ra. melaksanakan sholat lail di Masjid. Dalam salah satu sujudnya hati beliau bergetar dengan getaran yang sangat menyejukkan sampai terasa hadir dihadapan Allah (tadhoru’). Saat itu beliau berdo’a, “Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menerima bala’ dan cobaanya mahabbbah (cinta kepada Allah)”.
Setelah subuh, Syekh Muhammad Baba yang memang seorang waliyullah yang kasyaf (mengetahui yang ghoib dan yang akan terjadi) berkata kepada Syekh Bahauddin, “Sebaiknya kamu dalam berdo’a begini, “Ya Allah berilah aku apa saja yang Engkau ridloi”. Karena Allah tidak ridlo jika hamba-Nya terkena bala’ dan kalau memberi cobaan, maka juga memberi kekuatan dan memberikan kepahaman terhadap hikmahnya”. Sejak saat itu Syekh Bahauddin seringkali berdo’a sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Syekh Muhammad baba.
Untuk lebih berhasil dalam pendekatan diri kepada Sang Kholiq, Syekh Bahauddin seringkali berkholwat menyepikan hatinya dari keramaian dan kesibukan dunia. Ketika beliau berkholwat dengan beberapa sahabatnya, waktu itu ada keinginan yang cukup kuat dalam diri Syekh Bahauddin untuk bercakap-cakap. Saat itulah secara tiba-tiba ada suara yang tertuju pada beliau, “He, sekarang kamu sudah waktunya untuk berpaling dari sesuatu selain Aku (Allah)”. Setelah mendengar suara tersebut, hati Syekh Bahauddin langsung bergetar dengan kencangnya, tubuhnya menggigil, perasaannya tidak menentu hingga beliau berjalan kesana kemari seperti orang bingung. Setelah merasa cukup tenang, Syekh Bahauddin menyiram tubuhnya lalu wudlu dan mengerjakan sholat sunah dua rokaat. Dalam sholat inilah beliau merasakan kekhusukan yang luar biasa, seolah-olah beliau berkomunikasi langsung dengan Allah Swt.
Saat Syekh Bahauddin mengalami jadzab1 yang pertama kali beliau mendengar suara, “Mengapa kamu menjalankan thoriq yang seperti itu ? “Biar tercapai tujuanku’, jawab Syekh Muhammad Bahauddin. Terdengar lagi suara, “Jika demikian maka semua perintah-Ku harus dijalankan. Syekh Muhammad Bahauddin berkata “Ya Allah, aku akan melaksanakan semampuku dan ternyata sampai 15 hari lamanya beliau masih merasa keberatan. Terus terdengar lagi suara, “Ya sudah, sekarang apa yang ingin kamu tuju ? Syekh Bahauddin menjawab, “Aku ingin thoriqoh yang setiap orang bisa menjalankan dan bisa mudah wushul ilallah”.
Hingga pada suatu malam saat berziarah di makam Syekh Muhammad Wasi’, beliau melihat lampunya kurang terang padahal minyaknya masih banyak dan sumbunya juga masih panjang. Tak lama kemudian ada isyarat untuk pindah berziarah ke makam Syekh Ahmad al Ahfar Buli, tetapi disini lampunya juga seperti tadi. Terus Syekh Bahauddin diajak oleh dua orang ke makam Syekh Muzdakhin, disini lampunya juga sama seperti tadi, sampai tak terasa hati Syekh Bahauddin berkata, “Isyarat apakah ini ?”
Kemudian Syekh Bahauddin, duduk menghadap kiblat sambil bertawajuh dan tanpa sadar beliau melihat pagar tembok terkuak secara perlahan-lahan, mulailah terlihat sebuah kursi yang cukup tinggi sedang diduduki oleh seseorang yang sangat berwibawa dimana wajahnya terpancar nur yang berkilau. Disamping kanan dan kirinya terdapat beberapa jamaah termasuk guru beliau yang telah wafat, Syekh Muhammad Baba.
Salah satu dari mereka berkata, “Orang mulia ini adalah Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy dan yang lain adalah kholifahnya. Lalu ada yang menunjuk, ini Syekh Ahmad Shodiq, Syekh Auliya’ Kabir, ini Syekh Mahmud al Anjir dan ini Syekh Muhammad Baba yang ketika kamu hidup telah menjadi gurumu. Kemudian Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy memberikan penjelasan mengenai hal-hal yang dialami Syekh Muhammad Bahauddin, “Sesunguhnya lampu yang kamu lihat tadi merupakan perlambang bahwa keadaanmu itu sebetulnya terlihat kuat untuk menerima thoriqoh ini, akan tetapi masih membutuhkan dan harus menambah kesungguhan sehingga betul-betul siap. Untuk itu kamu harus betul-betul menjalankan 3 perkara :
1. Istiqomah mengukuhkan syariat.
2. Beramar Ma’ruf Nahi mungkar.
3. Menetapi azimah (kesungguhan) dengan arti menjalankan agama dengan mantap tanpa memilih yang ringan-ringan apalagi yang bid’ah dan berpedoman pada perilaku Rasulullah Saw. dan para sahabat Ra.
Kemudian untuk membuktikan kebenaran pertemuan kasyaf ini, besok pagi berangkatlah kamu untuk sowan ke Syekh Maulana Syamsudin al An-Yakutiy, di sana nanti haturkanlah kejadian pertemuan ini. Kemudian besoknya lagi, berangkatlah lagi ke Sayyid Amir Kilal di desa Nasaf dan bawalah kopiah wasiat al Azizan dan letakkanlah dihadapan beliau dan kamu tidak perlu berkata apa-apa, nanti beliau sudah tahu sendiri”.
Syekh Bahauddin setelah bertemu dengan Sayyid Amir Kilal segera meletakkan “kopiah wasiat al Azizan” pemberian dari gurunya. Saat melihat kopiah wasiat al Azizan, Sayyid Amir Kilal mengetahui bahwa orang yang ada didepannya adalah syekh Bahauddin yang telah diwasiatkan oleh Syekh Muhammad Baba sebelum wafat untuk meneruskan mendidiknya.
Syekh Bahauddiin di didik pertama kali oleh Sayyid Amir Kilal dengan kholwat selama sepuluh hari, selanjutnya dzikir nafi itsbat dengan sirri. Setelah semua dijalankan dengan kesungguhan dan berhasil, kemudian beliau disuruh memantapkannnya lagi dengan tambahan pelajaran beberapa ilmu seperti, ilmu syariat, hadist-hadist dan akhlaqnya Rasulullah Saw. dan para sahabat. Setelah semua perintah dari Syekh Abdul Kholiq di dalam alam kasyaf itu benar–benar dijalankan dengan kesungguhan oleh Syekh Bahauddin mulai jelas itu adalah hal yang nyata dan semua sukses bahkan beliau mengalami kemajuan yang sangat pesat.
Jadi toriqoh An Naqsyabandiy itu jalur ke atas dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al Ghojdawaniy ke atasnya lagi dari Syekh Yusuf al Hamadaniy seorang Wali Qutub masyhur sebelum Syekh Abdul Qodir al Jailaniy. Syekh Yusuf al Hamadaniy ini kalau berkata mati kepada seseorang maka mati seketika, berkata hidup ya langsung hidup kembali, lalu naiknya lagi melalui Syekh Abu Yazid al Busthomi naik sampai sahabat Abu Bakar Shiddiq Ra. Adapun dzikir sirri itu asalnya dari Syekh Muhammad Abdul Kholiq al ghojdawaniy yang mengaji tafsir di hadapan Syekh Sodruddin. Pada saat sampai ayat, “Berdo’alah kepada Tuhanmu dengan cara tadhorru’ dan menyamarkan diri”…
Lalu beliau berkata bagaimana haqiqatnya dzikir khofiy /dzikir sirri dan kaifiyahnya itu ? jawab sang guru : o, itu ilmu laduni dan insya Allah kamu akan diajari dzikir khofiy. Akhirnya yang memberi pelajaran langsung adalah nabi Khidhir as.
Pada suatu hari Syekh Muhammad Bahauddin Ra. bersama salah seorang sahabat karib yang bernama Muhammad Zahid pergi ke Padang pasir dengan membawa cangkul. Kemudian ada hal yang mengharuskannya untuk membuang cangkul tersebut. Lalu berbicara tentang ma’rifat sampai datang dalam pembicaraan tentang ubudiyah “Lha kalau sekarang pembicaraan kita sampai begini kan berarti sudah sampai derajat yang kalau mengatakan kepada teman, matilah, maka akan mati seketika”. Lalu tanpa sengaja Syekh Muhammad Bahauddin berkata kepada Muhammad Zahid, “matilah kamu!, Seketika itu Muhammad Zahid mati dari pagi sampai waktu dhuhur.
Melihat hal tersebut Syekh Muhammad Bahauddin Ra. menjadi kebingungan, apalagi melihat mayat temannya yang telah berubah terkena panasnya matahari. Tiba-tiba ada ilham “He, Muhammad, berkatalah ahyi (hiduplah kamu). Kemudian Syekh Muhammad Bahauddin Ra. berkata ahyi sebanyak 3 kali, saat itulah terlihat mayat Muhammad Zahid mulai bergerak sedikit demi sedikit hingga kembali seperti semula. Ini adalah pengalaman pertama kali Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan yang menunjukkan bahwa beliau adalah seorang Wali yang sangat mustajab do’anya.
Syekh Tajuddin salah satu santri Syekh Muhammad Bahauddin Ra berkata, “Ketika aku disuruh guruku, dari Qoshrul ‘Arifan menuju Bukhara yang jaraknya hanya satu pos aku jalankan dengan sangat cepat, karena aku berjalan sambil terbang di udara. Suatu ketika saat aku terbang ke Bukhara, dalam perjalanan terbang tersebut aku bertemu dengan guruku. Semenjak itu kekuatanku untuk terbang di cabut oleh Syekh Muhammad Bahauddin Ra, dan seketika itu aku tidak bisa terbang sampai saat ini”.
Berkata Afif ad Dikaroniy, “Pada suatu hari aku berziarah ke Syekh Muhammad Bahauddin Ra. Lalu ada orang yang menjelek-jelekkan beliau. Aku peringatkan, kamu jangan berkata jelek terhadap Syekh Muhammad Bahauddin Ra. dan jangan kurang tata kramanya kepada kekasih Allah. Dia tidak mau tunduk dengan peringatanku, lalu seketika itu ada serangga datang dan menyengat dia terus menerus. Dia meratap kesakitan lalu bertaubat, kemudian sembuh dengan seketika.
SYECH MUHAMMAD BAHAU’UDDIN NAQSYABANDI DENGAN TAREKATNYA
Peletak dasar Thoriqoh Naqsyabandiyah ini adalah Al-Arif Billah Asy Syaikh Muhammad bin Muhammad Bahauddin Syah Naqsyabandi Al-Uwaisi Al- Bukhori radliyallahu anhu (717-865 H) .
Dijelaskan oleh Syaikh Abdul Majid bin Muhammad Al Khaniy dalam bukunya Al-Hada’iq Al-Wardiyyah , bahwa thoriqoh Naqsabandiyyah ini adalah thoriqohnya para sahabat yang mulia radlallahu anhum sesuai aslinya, tidak menambah dan tidak mengurangi. Ini merupakan untaian ungkapan dari langgengnya (terus menerus) ibadah lahir bathin dengan kesempurnaan mengikuti sunnah yang utama dan ‘azimah yang agung serta kesempurnaan dalam menjauhi bid’ah dan rukhshah dalam segala keadaan gerak dan diam, serta langgengnya rasa khudlur bersama Allah Subhanahu wa ta'ala, mengikuti Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam dengan segala yang beliau sabdakan dan memperbanyak dzikir qalbi .
Dzikirnya para guru Naqsyabandiyah adalah qalbiyah (menggunakan Hati), dengan membaca lafadz “Alloh..Alloh” pada 7 tempat lathaif. Dengan itu mereka bertujuan hanya kepada Allah Subhanahu wa ta'ala semata dengan tanpa riya’ , dan mereka tidak mengatakan suatu perkataan dan tidak membaca suatu wirid kecuali dengan dalil atau sanad dari kitab Allah Subhanahu wa ta'ala atau sunnah Nabi Muhammad Shollallahu 'alaihi wa sallam. Adapun 7 macam lathaif tersebut adalah :
Lathifah al-qalb ada di bawah dada kiri, dua jari di bawah payudara … warnanya adalah kuning, dan dia adalah tempat kekuasaan Nabi Adam as, dan asalnya adalah air, udara dan tanah.
Lathifah al-ruh bertempat di sisi bawah susu kanan, berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah merah, dan merupakan tempat kewenangan Nabi Ibrahhim dan Nuh, dan asalnya adalah api.
Lathifah al-sirr bertempat di atas susu kiri berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah putih, tempat kekuasaan Nabi Musa dan asalnya adalah air.
Lathifah al-khafi bertempat di atas susu kanan, berjarak sekitar dua jari, warnanya adalah hitam, tempat kekuasaan Nabi Isa, dan asalnya adalah udara.
Lathifah al-akhfa bertempat di tengah dada, warnanya hijau, tempat kekuasaan Nabi Muhammad saw., asalnya adalah tanah.
Lathifatul al-Nafsi bertempat di anatara kedua mata kepala
Lathifatul Qolab (Jasad) bertempat di seluruh dan sekujur anggota badan, mulai rambut kepala sampai kaki
Dalam tarekat Naqsyabandi ini telah di ajarkan 11 asas dasar ajaran, yakni :
1). “Huwasy Dardam” , yaitu pemeliharaan keluar masuknya nafas, supaya hati tidak lupa kepada Allah SWT atau tetap hadirnya Allah SWT pada waktu masuk dan keluarnya nafas. Setiap murid atau salik menarikkan dan menghembuskan nafasnya, hendaklah selalu ingat atau hadir bersama Allah di dalam hati sanubarinya. Ingat kepada Allah setiap keluar masuknya nafas, berarti memudahkan jalan untuk dekat kepada Allah SWT, dan sebaliknya lalai atau lupa mengingat Allah, berarti menghambat jalan menuju kepada- Nya.
2). “Nazhar Bar qadlam” yaitu setiap murid atau salik dalam iktikaf/suluk bila berjalan harus menundukkan kepala, melihat ke arah kaki dan apabila dia duduk dia melihat pada kedua tangannya. Dia tidak boleh memperluas pandangannya ke kiri atau ke kanan, karena dikhawatirkan dapat membuat hatinya bimbang atau terhambat untuk berzikir atau mengingat Allah SWT. Nazhar Barqadlam ini lebih ditekankan lagi bagi pengamal tarikat yang baru suluk, karena yang bersangkutan belum mampu memelihara hatinya.
3). “Safar Dar wathan” yaitu perpindahan dari sifat kemanusiaan yang kotor dan rendah, kepada sifat-sifat kemalaikatan yang bersih dan suci lagi utama. Karena itu wajiblah bagi si murid atau salik mengontrol hatinya, agar dalam hatinya tidak ada rasa cinta kepada makhluk.
4). “Khalwat Dar jaman” yaitu setiap murid atau salik harus selalu menghadirkan hati kepada Allah SWT dalam segala keadaan, baik waktu sunyi maupun di tempat orang banyak. Dalam Tarikat Naqsyabandiyah ada dua bentuk khalwat :
a. Berkhalwat lahir , yaitu orang yang melaksanakan suluk dengan mengasingkan diri di tempat yang sunyi dari masyarakat ramai.
b. Khalwat batin , yaitu hati sanubari si murid atau salik senantiasa musyahadah, menyaksikan rahasia- rahasia kebesaran Allah walaupun berada di tengah- tengah orang ramai.
5). “Ya Dakrad” yaitu selalu berkekalan zikir kepada Allah SWT, baik zikir ismus zat (menyebut Allah, Allah,.), zikir nafi isbat (menyebut la ilaha ilallah), sampai yang disebut dalam zikir itu hadir.
6). “Bar Kasyat” yaitu orang yang berzikir nafi isbat setelah melepaskan nafasnya, kembali munajat kepada Allah dengan mengucapkan kalimat yang mullia
“Wahai Tuhan Allah, Engkaulah yang aku maksud (dalam perjalanan rohaniku ini) dan keridlaan-Mulah yang aku tuntut” . Sehingga terasa dalam kalbunya rahasia tauhid yang hakiki, dan semua makhluk ini lenyap dari pemandangannya.
7).“Nakah Dasyat” yaitu setiap murid atau salik harus memelihara hatinya dari kemasukan sesuatu yang dapat menggoda dan mengganggunya, walaupun hanya sebentar. Karena godaan yang mengganggu itu adalah masalah yang besar, yang tidak boleh terjadi dalam ajaran dasar tarikat ini.
Syekh Abu Bakar Al Kattani berkata, “Saya menjaga pintu hatiku selama 40 (empat puluh) tahun, aku tiada membukakannya selain kepada Allah SWT, sehingga menjadilah hatiku itu tidak mengenal seseorang pun selain daripada Allah SWT.”
Sebagian ulama tasawuf berkata “Aku menjaga hatiku 10 (sepuluh) malam, maka dengan itu hatiku menjaga aku selama 20 (duapuluh) tahun.”
8).“Bad Dasyat” yaitu tawajuh atau pemusatan perhatian sepenuhnya pada musyahadah, menyaksikan keindahan, kebesaran, dan kemuliaan Allah SWT terhadap Nur Zat Ahadiyah (Cahaya Yang Maha Esa) tanpa disertai dengan kata- kata. Keadaan “Bad Dasyat” ini baru dapat dicapai oleh seorang murid atau salik, setelah dia mengalami fana dan baka yang sempurna. Adapun tiga ajaran dasar yang berasal dari Bahauddin Naqsyabandi adalah,
9).“Wuquf Zamani” yaitu kontrol yang dilakukan oleh seorang murid atau salik tentang ingat atau tidaknya ia kepada Allah SWT setiap dua atau tiga jam. Jika ternyata dia berada dalam keadaan ingat kepada Allah SWT pada waktu tersebut, ia harus bersyukur dan jika ternyata tidak, ia harus meminta ampun kepada Allah SWT dan kembali mengingat- Nya.
10).“Wuquf ‘Adadi” yaitu memelihara bilangan ganjil dalam menyelesaikan zikir nafi isbat, sehingga setiap zikir nafi isbat tidak diakhiri dengan bilangan genap. Bilangan ganjil itu, dapat saja 3 (tiga) atau 5 (lima) sampai dengan 21 (duapuluh satu), dan seterusnya.
11).“Wuquf Qalbi” yaitu sebagaimana yang dikatakan oleh Syekh Ubaidullah Al- Ahrar, “Keadaan hati seorang murid atau salik yang selalu hadir bersama Allah SWT”. Pikiran yang ada terlebih dahulu dihilangkan dari segala perasaan, kemudian dikumpulkan segenap tenaga dan panca indera untuk melakukan tawajuh dengan mata hati yang hakiki, untuk menyelami makrifat Tuhannya, sehingga tidak ada peluang sedikitpun dalam hati yang ditujukan kepada selain Allah SWT, dan terlepas dari pengertian zikir.
Selain itu, dalam tarekat ini juga dikenalkan akan tehnik muroqobah, sebanyak 20 macam muroqobah
Demikian kisah keramatnya Syekh Muhammad Bahauddin Ra dan ajaran-ajarannya. Rodiyallah ‘anhu wa a’aada a‘lainaa min barokaatihi wa anwaarihi wa asroorihii wa ‘uluumihii wa akhlaaqihi allahuma amiin.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan