Sabtu, Februari 16

kepatuhan sejati



"Semua agama mengajarkan orang jalan menuju kepatuhan sejati kepada Allah yang Maha Kuasa," jelas Grandsyeh kita. "Kita adalah hamba-hambaNya terlepas kita menerimanya atau tidak. Namun, dengan mengetahui hal ini tidaklah cukup. Orang boleh saja berkata, "Kami adalah hamba-hamba Allah yang Maha Kuasa," tapi berapa orang yang sungguh-sungguh menghamba sebagaimana yang diinginkan Tuhan kita? Sesuatu menghalangi kita dari penghambaan yang sesungguhnya, kepatuhan sejati kepada Allah. Itulah nafsu kita.

"Oleh karena itu, manusia selalu berada di antara dua kutub. Dari satu kutub Allah yang Maha Kuasa menyerukan kita untuk menyembahNya, dan dari kutub yang lain nafsu kita memanggil. Ketika seorang hamba mendengar TuhanNya, dia adalah hamba TuhanNya. Ketika dia mendengarkan nafsunya, sebaliknya, dia adalah hamba dari nafsunya."

Nabi (saw) mengajarkan kita bagaimana menyelamatkan diri kita dari budak nafsu kita. "Wahai orang-orang! " kata beliau, "Matilah sebelum kamu mati!" Inilah anjuran untuk mereka yang ingin menjadi hamba sejati Allah yang Maha Kuasa; selalu mendengarkan Tuhan mereka.

Bagi orang yang demikian tidak ada dua Tuhan, hanya Allah. Quran berkata, "Jika ada dua Tuhan, satu haruslah dibunuh!" Seseorang tidak bisa melayani dua majikan. Nafsu kita meminta untuk kehidupan yang tinggi di dunia ini; bunuhlah dia, dan kamu akan bebas untuk menyembah dan mengabdi kepada Tuhanmu.

Grandsyeh kita berkata bahwa tanda seseorang telah meraih posisi ini adalah saat ia tidak lagi punya tuntutan kecuali milik Tuhannya. Baginya tak ada tuntutan di hadapan Tuhannya. Dia tidak berkata, "Saya suka ini. Saya tidak suka itu." Bila Tuhannya suka, diapun suka, tidak ada tuntutan. Inilah kepatuhan sejati. Dia bagaikan jenazah yang berada dalam tangan pencucinya. Dia telah berserah diri. Apakah orang yang sudah mati membahayakan orang lain dengan tangan atau ucapannya? Tidak, tidaklah mungkin. Orang bisa saja membahayakan dia tanpa ada balasan dari si orang mati tersebut.

Inilah makna dari hadits: "Tidak ada kejahatan dalam Islam; tidak ada perbuatan jahat dibalas dengan hal yang sama." Sebagai contoh, saya menanam pohon dan seseorang datang dan mencabutnya. Itulah tindak kejahatan. Namun, Rasulullah (saw) berkata, "Janganlah pergi dan berbuat hal yang sama kepada orang itu!"

Tentu saja, jika tidak ada tindak murni kejahatan, tak ada pula balasannya. Tak ada lagi kejahatan yang terus menerus. Ini adalah sunnah pribadi dari Rasulullah (saw). Beliau adalah rahmat bagi seluruh ciptaan dan seluruh alam. Para pengikutnya yang sejati juga merupakan rahmat bagi seluruh ciptaan; pancuran rahmat dalam hidup ini dan sesudahnya. Saya tidak berkata 'mati.' Setiap orang yang datang kepada mereka entah selama hidup mereka atau dengan mengunjungi makam mereka, akan menemukan rahmat bersama mereka, akan menemukan kenikmatan dalam diri mereka.
786,

"Semua agama mengajarkan orang jalan menuju kepatuhan sejati kepada Allah yang Maha Kuasa," jelas Grandsyeh kita. "Kita adalah hamba-hambaNya terlepas kita menerimanya atau tidak. Namun, dengan mengetahui hal ini tidaklah cukup. Orang boleh saja berkata, "Kami adalah hamba-hamba Allah yang Maha Kuasa," tapi berapa orang yang sungguh-sungguh menghamba sebagaimana yang diinginkan Tuhan kita? Sesuatu menghalangi kita dari penghambaan yang sesungguhnya, kepatuhan sejati kepada Allah. Itulah nafsu kita.

"Oleh karena itu, manusia selalu berada di antara dua kutub. Dari satu kutub Allah yang Maha Kuasa menyerukan kita untuk menyembahNya, dan dari kutub yang lain nafsu kita memanggil. Ketika seorang hamba mendengar TuhanNya, dia adalah hamba TuhanNya. Ketika dia mendengarkan nafsunya, sebaliknya, dia adalah hamba dari nafsunya."

Nabi (saw) mengajarkan kita bagaimana menyelamatkan diri kita dari budak nafsu kita. "Wahai orang-orang! " kata beliau, "Matilah sebelum kamu mati!" Inilah anjuran untuk mereka yang ingin menjadi hamba sejati Allah yang Maha Kuasa; selalu mendengarkan Tuhan mereka.

Bagi orang yang demikian tidak ada dua Tuhan, hanya Allah. Quran berkata, "Jika ada dua Tuhan, satu haruslah dibunuh!" Seseorang tidak bisa melayani dua majikan. Nafsu kita meminta untuk kehidupan yang tinggi di dunia ini; bunuhlah dia, dan kamu akan bebas untuk menyembah dan mengabdi kepada Tuhanmu.

Grandsyeh kita berkata bahwa tanda seseorang telah meraih posisi ini adalah saat ia tidak lagi punya tuntutan kecuali milik Tuhannya. Baginya tak ada tuntutan di hadapan Tuhannya. Dia tidak berkata, "Saya suka ini. Saya tidak suka itu." Bila Tuhannya suka, diapun suka, tidak ada tuntutan. Inilah kepatuhan sejati. Dia bagaikan jenazah yang berada dalam tangan pencucinya. Dia telah berserah diri. Apakah orang yang sudah mati membahayakan orang lain dengan tangan atau ucapannya? Tidak, tidaklah mungkin. Orang bisa saja membahayakan dia tanpa ada balasan dari si orang mati tersebut.

Inilah makna dari hadits: "Tidak ada kejahatan dalam Islam; tidak ada perbuatan jahat dibalas dengan hal yang sama." Sebagai contoh, saya menanam pohon dan seseorang datang dan mencabutnya. Itulah tindak kejahatan. Namun, Rasulullah (saw) berkata, "Janganlah pergi dan berbuat hal yang sama kepada orang itu!"

Tentu saja, jika tidak ada tindak murni kejahatan, tak ada pula balasannya. Tak ada lagi kejahatan yang terus menerus. Ini adalah sunnah pribadi dari Rasulullah (saw). Beliau adalah rahmat bagi seluruh ciptaan dan seluruh alam. Para pengikutnya yang sejati juga merupakan rahmat bagi seluruh ciptaan; pancuran rahmat dalam hidup ini dan sesudahnya. Saya tidak berkata 'mati.' Setiap orang yang datang kepada mereka entah selama hidup mereka atau dengan mengunjungi makam mereka, akan menemukan rahmat bersama mereka, akan menemukan kenikmatan dalam diri mereka.

The Teachings of Grandshaykh Abdullah Faiz ad-Daghestani
by Maulana Shaykh Nazim al-Haqqani

TEBARKAN MAAF HINDARI PERMUSUHAN

Manusia itu makhluk sosial, begitu kata rata-rata ahli ilmu sosial. "Takdir" semacam itu jelas tak bisa dipungkiri. Dengan demikian, manusia tentu tak dapat hidup terpisah atau terasing, bahkan sebaliknya memiliki ketergantungan yang begitu tinggi, terhadap lingkungan sosialnya. Dalam kehidupan bersama, setiap orang punya beragam keperluan dan kepentingan. Pada titik inilah dibutuhkan berbagai peraturan dan norma-norma tertentu. Kalau tidak, bisa kita bayangkan, apa yang bakal terjadi! Antara satu dengan yang lainnya akan saling mengedepankan kepentingan atau kebutuhannya masing-masing, dan tak mau saling mengalah. Akibatnya pertikaian (baik antarpribadi, antarsuku, antarbangsa, dan antar-antar lainnya) akan mudah tersulut.

Pemberlakuan sistem norma dan aturan-aturan bertujuan antara lain untuk menjadi sarana perekat dan penguat bangunan kehidupan bersama. Lebih dari itu, setiap peraturan, norma, atau kontrak sosial ternyata akan membentuk perkembangan watak manusia. Tidak saja terjadi di seputar persoalan materi. Namun juga pada soal kejiwaan, khususnya jiwa persatuan. Jika suatu masyarakat merasakan persatuan lahir dan batin, yang berbentuk kesatuan jiwa secara menyeluruh, sudah pasti kehidupan ini akan tampak selalu indah, tentram, serta damai.

Satu kewajiban mendasar yang harus dipenuhi setiap orang tatkala hendak menjalin hubungan kemanusiaan dengan sesamanya adalah adanya kesiapan jiwa untuk memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Dalam al-Quran (3: 134), Allah Swt berfirman, "Yaitu orang-orang yang senantiasa menafkahkan hartanya baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya, dan memberi maaf atas kesalahan orang lain. Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan".

Apa yang termaktub dalam pernyataan al-Quran di atas memang sungguh luar biasa. Kita tidak menjumpai kata "meminta maaf" di situ, melainkan wal aafiina aninnas (memberi maaf kepada sesama manusia). Memang, pada kenyataannya, acapkali kita menjumpai orang yang amat mudah meminta maaf kendati itu tak lebih sekadar basa-basi, lantaran diucapkan sebelum ia melakukan apapun!), namun sangat jarang menemukan orang yang mau memberi maaf.

Pilihan pernyataan tersebut tentunya memiliki maksud-maksud yang suci, serta implikasi psikologis sangat mendalam. Sifat pemaaf merupakan penjelmaan lahiriah dari kehendak dan mawas diri yang kuat, serta perpaduan antara keteguhan hati dan kekuatan pikiran. Orang yang senantiasa memberi maaf akan merasakan ketenangan batin yang sedemikian indah. Itu terjadi lantaran seluruh tekanan jiwa yang menyumbat segenap pembuluh darah seakan-akan terbuka. Darinya akan segera terasa, bagaimana potensi rohaniah kita menjadi begitu bertenaga sehingga sanggup membebaskan diri dari tirani hawa nafsu. Memaafkan kekurangan orang lain memang bukan pekerjaan ringan. Apalagi bagi mereka yang watak dan karakternya telah dipasung sedemikian rupa oleh kebencian, kekerasan, dan dendam.

Selain berpengaruh pada jiwa si pemberi maaf tadi, sifat pemaaf juga akan berpengaruh kuat pada orang yang dimaafkan. Sampai-sampai mampu merubah pikiran serta perilakunya. Apalagi jika ia adalah seorang musuh. Begitu banyak kasus mengenai hubungan yang renggang dan bermusuhan menjadi baik karena sifat pemaaf, kebencian dan permusuhan yang telah berakar sangat dalam berubah menjadi kedamaian dan ketaatan yang menghiasi diri dan pemikirannya. Sayyid Musavi Lari dalam bukunya Psikologi Islam mengatakan, "Bakat terbesar manusia yang tidak dimiliki hewan adalah sifat pemaaf dan melupakan kesalahan-kesalahan orang lain. Ketika Anda dirugikan orang lain, Anda memiliki kesempatan yang baik untuk memaafkan dan menikmati perasaan batin atas sifat yang mulia ini. Kita diajarkan untuk memaafkan musuh-musuh kita.

Melakukan tindakan balas dendam terhadap lawan, akan menempatkan diri pada tempat yang sama dengan musuh, karena telah melakukan hal sama dengannya, bahkan telah menjadi pengikutnya. Tetapi Anda akan mendapatkan kemuliaan jika Anda mau memaafkan kesalahannya. Menghadirkan sifat pemaaf memaksa musuh-musuh untuk bertekuk lutut yang akan memiliki pengaruh psykologis dan mengajarkan sifat rendah hati. Adalah wajib bagi kita untuk bersikap baik ketika orang lain melanggar, karena kebaikan merupakan kebajikan surgawi, yang dengan itu alam semesta dan para penghuninya dapat hidup dalam kedamaian dan keharmonisan.

Akibat-Akibat Permusuhan dan Kebencian

Salah satu beban psikologis yang begitu berat dirasakan dan berbahaya bagi kehidupan manusia adalah permusuhan dan memendam perasaan benci terhadap orang lain. Sedemikian membebaninya sehingga dapat mempengaruhi kebahagiaan dan ketenangan manusia. Benci dan dendam tumbuh dari sifat amarah yang dapat merusak keseimbangan rohani. Bertentangan dengan sifat pemaaf -- yang merupakan unsur kebaikan, keseimbangan jiwa, kedamaian dan keharmonisan -- kebencian dan permusuhan adalah penyebab lahirnya perselisihan dan perpecahan yang merupakan wujud nyata dari kejahatan rohani. Permusuhan, jika terjadi, memiliki akibat-akibat yang menyakitkan dan sukar untuk mendapatkan pengobatannya. Seseorang dapat mengorbankan kesadarannya karena pengaruh kebencian dan permusuhan dan merambah hampir ke seluruh organ tubuhnya sehingga menimbulkan bencana bagi dirinya sendiri.

Menurut para psikolog bahwa, "Benci dan permusuhan berangkat dari kegoncangan mental, yang mempengaruhi seluruh struktur kesadaran berfikir manusia. Manusia akan kelihalangan sensitifitasnya dan berusaha melakukan tindakan balas dendam dengan berbagai cara yang memungkinkan, untuk merugikan orang lain".

Imam As-Sajjad Ali Zainal Abidin salah seorang cucu Rasulullah saww yang terkenal karena banyaknya bersujud, suatu hari bersama para sahabatnya didatangi seseorang yang mencerca dan memaki beliau. Imam berkata kepada para sahabatnya, "Kalian mendengar apa yang dikatakan orang ini kepadaku, aku ingin kalian ikut dan mendengar jawabanku padanya". Para sahabatnya berkata,"Kami akan ikut bersamamu". Imam berjalan menuju ke rumah lelaki itu seraya membacakan ayat Al-Quran : "Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan adakah yang mengampuni selain dari pada Allah. Mereka tidak meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui". (QS. 3: 135).

Sampai di rumah orang tersebut, Imam memberitahukan kepadanya bahwa dia adalah Ali bin Husain. Lelaki itu keluar dan bersiap-siap. Ia yakin bahwa Imam akan membalasnya. Ketika lelaki itu muncul, Imam as-Sajjad berkata, "Saudaraku ! Anda telah datang kepadaku dan telah mengatakan sesuatu tentangku. Apabila yang Anda katakan itu adalah benar aku mohon ampun dari Allah, dan jika yang Anda tuduhkan padaku itu tidak benar, aku memohon kepada Allah untuk mengampunimu". Lelaki itu mendengar seraya menciumi Imam dan berkata: "Sesungguhnya aku menuduhmu padahal engkau tidak bersalah, kata-kata ini telah menyadarkan aku". Kata-kata Imam mempengaruhi rohani lelaki itu dan sekaligus membebaskannya dari penderitaan dan menunjukkan padanya tanda-tanda kesedihan dan penyesalan.

Dalam Al-Quran Allah Swt berfirman, "Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan, tolaklah kejahatan dengan cara terbaik, maka tiba-tiba orang yang diantara mu dan dia ada permusuhan, seolah-olah teman setia". (QS. 41:34). Sifat dendam ketika memiliki kekuatan dalam diri manusia akan memberikan pengaruh yang demikian besar dalam meruntuhkan hubungan kemanusiaan. Dan karenanya keberadaan sifat pemaaf harus dihadirkan sedemikian rupa supaya dapat menjadi senjata pertahanan untuk melawan persekongkolan para pelaku kejahatan (syetan) dalam diri kita.

Orang yang dengki dibebani dengan sejenis perasaan tanpa belas kasih dan kekurangan sifatnya pemurah. Disamping sangat mudah marah dan tersinggung juga dapat dapat melumpuhkan semua ruang-ruang kebajikan karena siksaan penderitaan rohani yang mendalam dan terus menerus. Dr. Dale Carniege menulis dalam bukunya, How to win Friends and Influence People, "Ketika kita menyembunyikan kebencian dan permusuhan di dalam hati terhadap musuh-musuh kita, sebenarnya kita memberi mereka kontrol terhadap makan, minum, tidur, kesehatan, kebahagiaan kita, dan bahkan tekanan darah kita. Sebenarnya kita membuat mereka mengendalikan hal ini melalui diri kita. Kebencian kita terhadap mereka tidaklah melukai mereka sedikitpun, kecuali justru mengubah kehidupan kita menjadi neraka yang tidak tertanggungkan".

Jalan satu-satunya yang dapat dilakukan untuk memperoleh keharmonisan rohani, kesadaran dan ketinggian mentalitas kita ialah ketika kita telah mampu mengusir dan menghapus noda kebencian dari hati kita. Dan hanya dengan itulah kemudian semua pranata sosial budaya dapat dibangun dalam komunitas manusia. Dengan menghapus kebencian dan dendam maka hati dan akalnya akan lembut dan sejuk. Semakin manusia menjauhkan dirinya dari kemubaziran dan pengumbaran amarah serta kebencian maka kebahagiaan dan kebebasan akan tumbuh dalam dirinya. Manusia akan keluar dari penjara-penjara rohani dan dengan sendirinya menguatkan benteng pertahanan dalam dirinya terhadap hasutan dan propaganda syetan, Wallahu’alam.

KEINDAHAN CINTA


Manusia dalam dirinya dianugerahi rasa cinta. Cinta inilah yang memberikan manusia daya hidup dan perjuangan. Dengan cinta manusia membangun keharmonisan hidup bersama manusia lainnya. Dengan cinta manusia membina hubungan rumah tangga. Bisa dibayangkan membangun keluarga tanpa cinta, maka yang timbul adalah kegundahan dan kegelisahan. Dengan cinta pula manusia mengabdi kepada Tuhannya.

Manusia yang hidup tanpa memiliki rasa cinta, maka hidupnya dipenuhi benci dan dendam. Manusia tanpa rasa cinta, maka yang muncul adalah keegoan. Dengan cinta, manusia dapat melangsungkan hidup dengan kegembiraan dan kepuasan. Cinta lah yang memberikan energi pada manusia untuk melaksanakan tujuan hidupnya. Cinta pula yang memberikan gairah dan semangat hidup pada manusia.

Namun dengan cinta pula manusia dapat terjerumus dalam lembah kenistaan, yaitu ketika manusia cinta dunia dan kekuasaan. Cinta dunia inilah yang membawa manusia pada titik nadir kemanusiaan, manusia kehilangan spritualitas karena cinta pada materi. Manusia kehilangan ruh kemanusiaannya menjadi seperti hewan , karena manusia telah teramat cinta pada kebutuhan jasmani semata, maka manusia seperti ini bagai binatang. Ia hanya mengumbar syahwat jasmani saja, inilah yang terdapat pada hewan. Cinta pada kekuasaan membawa manusia pada tirani bagi manusia lain. Tidak tertebar lagi rasa cinta lagi pada manusia, yang ada adalah nafsu berkuasa.

Sesungguhnya cinta manusia dapat dibagi menjadi dua : “cinta sejati” (‘isyq haqiqi), atau cinta pada Tuhan; dan “cinta imitasi” (‘isyq majazi), atau cinta terhadap segala lain-Nya. Tapi, dalam pengujian yang lebih dekat, orang melihat semua cinta sesungguhnya adalah cinta pada Tuhan, karena segala sesuatu adalah pantulan dan bayang-bayang-Nya. Sedangkan adanya perbedaan antara dua jenis cinta tersebut dikarenakan orang memahami yang ada hanyalah Tuhan dan cinta untuk-Nya semata. Sedangkan cinta pada yang lainnya, karena meyakini adanya keterlepasan eksistensi dari-Nya atas segala objek keinginan yang dicintai, dan tidak mengarahkan pada hubungan cinta terhadap-Nya.

Padahal cinta kepada yang selain-Nya tapi berasal dari-Nya, akan membawa orang kepada-Nya. Setiap objek keinginan dari orang perorang akan menunjukkan kepalsuannya, dan orang akan mengalihkan cintanya. Namun, bagaimanapun juga setiap hasrat (cinta) tidak akan menemukan Kekasih Sejati kecuali setelah kematian, manakala ia sudah terlambat untuk menutup jurang keterpisahan. Pada saat itu, sesal kemudian tidak berguna, karena dalam hidupnya manusia seperti ini telah memberikan cintanya pada selain Tuhan. Bagi seorang Sufi, hanya ada satu Yang Tercinta; dia melihat bahwa semua cinta “palsu” beku dan tidak nyata selain kepada Tuhan.

Dalam konteks ini, Rûmî menerangkan hakikat keindahan cinta sejati secara ringkas dan jelas: Keindahan adalah setetes air yang berasal dari Lautan yang tak berwatas, atau sebuah cahaya yang memantul pada dinding. Semua keindahan berasal dari dunia lain, yang ada disini hanyalah kesementaraan dan pinjaman. Keindahan yang sesungguhnya hanya ada pada Tuhan.

Seperti juga yang diungkapan Rûmî :

Keindahan uang palsu itu adalah sesuatu yang terpinjam, di balik kecantikannya tersimpan kepalsuannya.

Dari perkataan Rûmî bahwa cinta pada kecantikan dunia merupakan cinta palsu. Cinta seperti ini hanya menghasilkan tujuan semu bagi manusia. Jika manusia mengejar dunia, manusia seperti mengejar fatamorgana, yang jika dikejar maka ia tidak akan pernah terpegang. Karena akan menghilang begitu kita sampai di dekatnya. Begitu juga dengan cinta manusia pada dunia, manusia tidak akan pernah puas untuk terus memperbanyak harta dunia.

Sebuah syair yang diungkapkan oleh Rûmî yang menggambarkan tentang cinta dunia berbunyi:

Manusia merasakan cinta, derita, rasa sakit, dan segala hasrat yang seandainya sekalipun seratus dunia telah menjadi miliknya, ia tetap terus mencari, tidak pernah istirah atau menenukan ketenangan. Orang-orang seperti ini menyibukkan diri sepenuhnya dengan segala kemampuan, keahlian, dan kedudukan; mereka mempelajari astronomi, obat-obatan, dan lain sebagainya, tapi mereka tidak pernah memperoleh rasa tenteram, sebab tujuan mereka belum tercapai. Adapun Yang Tercinta, bagaimanapun juga, adalah “ketenteraman hati,” karena hati mencapai tujuan melalui-Nya. Maka, bagaimana mungkin ia menemukan ketenteraman dan kedamaian melalui yang lain ?

Inilah keindahan yang menimbulkan cinta palsu adalah dunia ini. Pada kecantikannya terdapat kepalsuannya. Jadi jika manusia ingin mendapatkan cinta sejati ialah cinta pada Tuhan, yang telah memberikan cinta dan keindahan itu. Manusia tidak terpesona oleh keindahan pantulan-Nya yaitu keindahan dunia ini. Dalam sebuah syairnya Rûmî juga berujar :

Cinta adalah Sifat Tuhan, yang tidak membutuhkan apapun, cinta pada selain-Nya adalah palsu.

Tuhan adalah mata air cinta, sebagaimana Dia adalah sumber segala yang ada. Tapi apa makna “Tuhan adalah Cinta “? Kenyataan bahwa begitu banyak ayat al-Quran menyatakan Cinta adalah Sifat Tuhan. Karenanya, sering disebut-sebut dalam Kitab Suci itu, Tuhan “mencintai” sesuatu. Para Sufi biasa mengutip ayat berikut ini, yang berbicara tentang hubungan hirarkis antara Cinta Tuhan kepada manusia kepada-Nya, yang terakhir bermuara dari yang pertama:

“Tuhan akan mendatangkan suatu kaum yang Dia mencintai mereka dan mereka mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang Mukmin, dan keras terhadap orang-orang kafir , yang berjihad di jalan-Nya dan tidak risau oleh celaan orang-orang yang suka mencela” (Qs.5:54)

Kecintaan manusia pada Tuhannya merupakan cinta sejati. Sedangkan kecintaan manusia pada dunia merupakan cinta imitasi. Jika manusia lebih mencintai dunia, maka ia sebenarnya telah mendekatkan dirinya pada jurang kehancuran. Manusia telah membuang percuma waktu di dunia untuk mencinta yang palsu dan tidak hakiki.

Menurut Husain Mazhahiri ada lima ciri orang cinta pada dunia. Pertama, keadaan mewah. Hal ini menunjukkan tenggelamnya seseorang dalam kecintaan kepada dunia. Keadaan ini jika sampai menguasai manusia, maka ia akan mendorongnya untuk bersikap lalim dan angkuh, dan kemudian manusia itu akan mendapatkan kecelakaan dan kehancuran.

Keadaan mewah menyebabkan yang bersangkutan tenggelam dalam syahwat dan kenikmatan-kenikmatan duniawi, yang pada akhirnya mengiringnya menuju sikap lalim dan mendustakan para Nabi. Allah SWT berfirman :

“Sesungguhnya manusia benar-benar malampaui batas, karena dia melihat dirinya seba cukup.” (QS. al-‘Alaq:6).

Ciri kedua ialah sikap berlebih-lebihan dan mubazir. Mereka yang berlebih-lebihan dan bergaya hidup mewah, ialah orang-orang yang tenggelam dalam kecintaan kepada dunia. Al-Quran al-Karim mencela mereka dengan keras dan menyifati mereka sebagai saudara-saudara setan. “Sesungguhnya orang-orang yang mengerjakan hal-hal yang berlebihan (mubazir), mereka adalah saudara-saudara setan.” (QS.al-Isra:27)

Sedangkan yang ketiga adalah ketergantuingan hati kepada hal-hal duniawi yang bersifat mubah. Yakni manusia tergantung kepada harta, makan, kenyamanan, seks, dan sebagainya. Salah satu contoh ketergantungan kepada dunia ialah merokok. Merokok berbahaya bagi kesehatan badan dan ekonomi negara, begitu juga bagi kesehatan rohani dan keselamatan masyarakat. Dengan melepaskan ketergantungan dari hal-hal duniawi yang bersfat mubah, maka ia telah menjadi orang yang mampu mengendalikan dirinya. Pengendalian diri merupakan penyangga dari keterpelesetan pada dosa.

Dengan mengendalikan diri dari kecintaan terhadap dunia akan membawa manusia pada nilai-nilai kecintaan sejati. Sebuah cinta sejati pada Tuhan. Sedangkan kecintaan manusia pada dunia ini merupakan cinta palsu, cinta yang tidak abadi. Jika manusia sepanjang hidupnya hanya memikirkan kecintaan pada dunia sesungguhnya hidup manusia adalah sia-sia belaka. Karena apa yang dikejarnya merupakan fatamorgana.

Manusia yang ingin mendapat keindahan cinta, kebahagian hakiki, dan keselamatan abadi. Maka manusia harus memberikan cintanya pada yang Maha Indah, Maha Hakiki dan Maha Abadi yaitu Allah SWT. Dengan kecintaan pada Tuhan ini manusia akan mendapatkan kebahagiaan dan keselamatan hidup yang hakiki, karena manusia telah mencintai yang memang patut dicintai.

KESOMBONGAN MEMADAMKAN API CINTA

Sudahkah Anda membaca atau menonton kisah cinta Romeo dan Juliet? Atau kisah percintaan "menggelikan" antara Laila dan Majenun? Ya, kedua kisah itu menunjukkan pada kita, betapa besar kekuatan dari apa yang disebut "cinta". Kekuatan itu ternyata bisa menjadikan seseorang rela menjemput maut (pada kisah Romeo-Juliet). Atau begitu tak acuh dengan lingkungan sosialnya yang seringkali mencemooh dirinya (kisah kedua, di mana Majenun mencintai Laila, seorang gadis yang dalam pandangan umum waktu itu tergolong tidak rupawan). Begitu dahsyat dan mengagumkankah bobot energi cinta, sampai-sampai ia sanggup membutakan mata, melipatgandakan nyali, dan membungkam akal sehat?

Cinta merupakan kekuatan fitrah yang mengendap dalam ruang kesadaran manusia. Ia adalah anugerah Ilahi yang sekaligus menjadi santapan bergizi bagi jiwa manusia. Sebagaimana orang yang gemar makan makanan yang bergizi agar tubuhnya sehat, jiwa yang begitu lahap mengunyah dan menelan benih-benih cinta, akan menjelma menjadi jiwa yang penuh kekuatan dan semangat. Dan kekuatan itu akan terus tumbuh tanpa batas, seiring dengan terus dipupuknya cinta. Semakin berkobar api cinta dalam jiwa seseorang, makin besar pula daya tahan dan semangat hidupnya. Bagi para pecinta, kehidupan ini tampak begitu indah dan penuh kemilau. Sebaliknya, ketika jiwa manusia tersumbat sehingga tak mampu lagi mengendus aroma cinta, maka ia akan kehilangan gairah, mati rasa, dan kehidupan ini melulu terlihat suram dan terasa hambar.

Sudah menjadi watak dasar manusia untuk selalu berinteraksi dengan orang lain. Cinta merupakan jembatan ruhani yang menghubungkan jiwa seseorang dengan jiwa seseorang lainnya. Tak ada cinta berarti tak ada tali hubungan antarindividu masyarakat. Kalaupun terjadi, maka hubungan sosial minus kecintaan tersebut hanyalah bersifat semu semata. Dan kecintaan kita pada orang lain, minimal, sederajat dengan bobot kecintaan pada diri sendiri. "Cintailah saudaramu sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri," tegas sebuah hadis dari Rasul saww. Menunjukkan kasih sayang pada orang lain sangatlah berguna. Sebab, jika perasaan mulia ini diberikan pada orang lain, maka sebaliknya ia akan merasakan hal yang sama. Orang yang betul-betul berharap bisa menemukan jalan menuju permata yang sangat indah ini, harus mengisi hatinya dengan sinar ketentraman dan kejujuran, serta menghapus segala kebencian.

Sifat Sombong Mengundang Kebencian

Kecintaan seseorang pada dirinya sendiri pada dasarnya bersifat naluriah. Ia merupakan faktor yang sangat penting bagi seseorang dalam menempuh kehidupan ini. Hal ini mengingat hubungan antara manusia dengan alam semesta muncul darinya. Namun, jika kecintaan pada diri sendiri menjadi serba berlebihan (ifrad), diumbar sedemikian rupa, dan dibiarkan liar, jelas semua itu bakal menjerumuskan manusia dalam kubangan dosa dan berbagai tindakan amoral. Ancaman pertamanya adalah rusaknya akhlak manusia. Parahnya, dalam diri orang yang terlalu mencintai diri sendiri tak ada lagi tempat untuk mencintai orang lain! Rasa cinta kepada sesama telah lenyap dari dalam hatinya. Darinya, akan rusaklah hubungan si sombong tadi dengan sesamanya. Luqman as, sebagaimana dinyatakan dalam al-Quran surat ke-31 ayat 18, berpesan pada putranya, "Janganlah engkau palingkan wajahmu dari manusia dengan sombong, dan jangan pula berjalan di muka bumi dengan angkuh, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang menyombongkan diri."

Bahaya paling fatal, sekaligus musuh terburuk manusia, adalah sifat sombong dan percaya diri yang melampaui batas. Pada dasarnya, manusia yang sadar diri pasti akan membenci sifat atau perbuatan jahat. Tak terkecuali sifat sombong. Kita tentu tahu, sifat sombong akan menyebabkan tali cinta dan keharmonisan di antara individu menjadi terputus. Nah, dengan begitu sifat sombong sekaligus menjadi bibit unggul dari tumbuhnya permusuhan. Saudaraku, dampak dari sifat sombong itu sungguh merusak dan sangat berbahaya. Yang jadi sasaran bidik utamanya adalah alam bawah sadar manusia. Bisa kita bayangkan, apa jadinya kalau sifat kotor semacam itu sampai diderita orang-orang yang punya penyakit rendah diri (inferior). Sudah barang tentu yang terjadi adalah kekacauan, yang kemudian akan menggiring seseorang yang lemah tadi untuk nekat berbuat kejahatan. Inilah antara lain yang menyebabkan orang sombong menderita kesengsaraan.

Tingkah laku orang sombong bahkan bisa menjadi sangat keterlaluan. Coba saja tengok sejarah! Orang yang senantiasa menghalangi dan paling keras menolak seruan para nabi, rasul, dan orang-orang yang haq adalah mereka yang punya sifat sombong. Selain itu, berbagai pembantaian biadab yang terjadi sepanjang sejarah manusia, diakibatkan oleh perilaku kesombongan dan keangkuhan yang merasuk dalam diri manusia. Sifat sombong tersebut muncul dalam diri seseorang lebih disebabkan ia merasa tak dihargai secara layak oleh masyarakat. Padahal, ambisi penghargaan itu hanyalah bersifat khayali. Namun, bagi orang sombong, hal itu tetap harus mereka raih dengan menghalalkan berbagai cara. Yang penting, mereka bisa mencapai kedudukan mulia dan terpandang di tengah-tengah masyarakat.

Dalam al-Quran, Allah Swt menggambarkan perilaku kesombongan layaknya perbuatan Iblis yang menentang perintah Allah agar ia ‘tunduk’ kepada Adam as. Karena dalam khayalannya, Iblis merasa punya martabat dan derajat yang lebih tinggi ketimbang Adam as, ia pun menolak perintah Allah tersebut. Akibatnya, ia lantas tergelincir jauh ke dalam kesesatan dan kegelapan. Seseorang yang punya kepribadian agung, bermatabat, dan terhormat tentu tak akan mau mencari dan membutuhkan penghormatan yang berlebihan. Ia sadar bahwa dirinya kelak akan mudah terjebak dalam kesombongan dan keangkuhan. Nabi Suci saww bersabda; "Tidak akan pernah mencium dan merasakan baunya surga bagi orang yang di dalam dirinya hinggap kesombongan walaupun sebesar biji zarra."

Untuk menghindari keadaan mengerikan semacam itu, para psikolog memberi sejumlah wanti-wanti yang sangat berharga. Mereka mengatakan, batasilah berbagai harapan dan dambaan anda, kurangilah hasrat dan penantian anda, bebaskanlah diri anda dari kesombongan dan keangkuhan, dan hindarilah khayalan-khayalan untuk menjamin diri anda untuk selalu berada dalam kedamaian. Wejangan itu sesungguhnya bisa disederhanakan dalam satu model perilaku yang pada dasarnya mengandung moralitas tertinggi, sekaligus menjadi simbol cinta, yakni kerendahan hati. Imam Ali kw, berkata; "Jika Allah Swt mengizinkan kesombongan bagi para penyembah-Nya, Dia akan mengizinkannya kepada para Nabi dan auliya-Nya yang paling dekat dengan-Nya. Tetapi Dia menjadikan mereka benci terhadap kesombongan dan menerima kerendahan hati. Oleh karena itu, mereka menundukkan dahi mereka ke bumi, merobohkan wajah mereka ke debu ( dalam bersujud ), dan berendah hati terhadap orang-orang yang beriman."

Orang-orang yang dihinggapi penyakit sombong biasanya punya anggapan yang serba terbalik tentang apa yang ada dalam dirinya. Mereka memandang kelemahan-kelemahannya sebagai kekuatan, kejahatan sebagai kebajikan, kebodohan sebagai kebijakan, dan kekurangan sebagai kelebihan. Misalnya, ketika mereka tiba-tiba marah terhadap orang lain, mereka menganggap itu sebagai bukti kepribadian yang kuat. Juga tentang kelemahannya yang mereka anggap sebagai perwujudan rohani yang agung dan sensitif. Sampai-sampai, mereka memandang berat badannya sebagai bukti kesehatannya.

Imam Ali kw berkata; "Jauhilah kesombongan atau jumlah orang-orang yang akan membencimu akan bertambah." Dalam situasi yang lain, beliau berkata; "Kerendahan hati adalah puncak dari akal dan kesombongan adalah puncak kejahilan." Beliau juga menyatakan: "Orang yang pikirannya melemah, kebanggaan dirinya menguat."

Ketika suatu waktu merasa kecewa atau frustasi terhadap sesuatu hal yang sangat diharapkan namun tidak tercapai, kita tentu akan berupaya menarik perhatian orang lain. Dan lazimnya yang kita lakukan adalah memuja dan meninggikan diri sendiri. Sembari itu, kita membayangkan pula bahwa apa yang diharapkan itu seolah-olah telah tercapai, dengan mengobral bualan mengenai saat-saat dimana kita pernah mengecap keberhasilan di masa lalu. Atau dengan membesar-besarkannya kepada orang lain. Orang-orang yang tertipu oleh bualannya sendiri, biasanya sulit berubah. Mereka sudah tak mampu lagi menyadari bahwa dalam dirinya terkandung berbagai kekurangan yang sangat berbahaya.

Dalam al Quran surat 95 ayat 6-7, Allah Swt berfirman: "Sesungguhnya manusia suka melampaui batas. Karena mereka memandang dirinya serba lebih." Berdasarkan ungkapan yang begitu indah dari ayat tersebut, kita bisa menyimpulkan bahwa sifat sombong bermula ketika seseorang merasa punya kelebihan ketimbang manusia lainnya. Semakin sering kelebihan-kelebihan tersebut ditunjukan pada orang lain, makin bertambah pula tingkat keangkuhan yang bersarang dalam diri kita. Akibatnya, kita akan makin kurang menghargai, bahkan menganggap remeh, setiap kelebihan yang dimiliki orang lain.

Imam Ali kw berkata; "Orang-orang yang merasa puas dengan dirinya, berbagai kelemahannya tersembunyi darinya, dan jika ia mengakui keutamaan orang lain, akan mencukupi berbagai kekurangan dan kelalaiannya. Dan carilah perlindungan kepada Allah dari sifat mabuk kekayaan, karena sesungguhnya ia memiliki suatu kekhidmatan yang jauh."

Islam merupakan agama yang senantiasa menyerukan agar manusia hidup dengan akhlak dan adab yang tinggi. Semua itu tak lain agar manusia sanggup meraih kehidupan yang mulia. Islam jelas tidak menghalalkan segala macam perbedaan yang tidak wajar. Namun, Islam tentu saja sangat menghargai manusia yang memiliki sifat-sifat suci dan luhur, dan sebaliknya, amat mengutuk seseorang yang menderita sifat-sifat buruk. Suatu hari, seorang yang kaya datang mengunjungi Rasulullah saww. Ketika orang kaya tersebut berada bersama rasulullah saww, datanglah seorang miskin dan duduk di dekatnya. Melihat itu, si kaya tadi langsung mengangkat pakaiannya dan menjauhi orang miskin tersebut. Nabi melihat kejadian ini dan bersabda; "Betapa! Apakah kamu takut kalau kemiskinannya akan menular kepadamu."

Alhasil, jika orang-orang sombong ingin merubah dirinya demi mencari kebahagiaan yang hakiki, mereka mau tak mau harus membersihkan dirinya dari sifat yang selama ini telah menyesatkannya. Jika tidak, mereka niscaya akan menghadapi rentetan kekecewaan, kehampaan, dan kemunduran rohani, mental, dan fisik yang tak terelakkan. Naudzubillah

Sungguh Sakitnya Dicuci

M. Rahim Bawa Muhaiyaddeen

SALAM sayangku padamu, cucu-cucuku, saudara-saudaraku dan anak-anakku.
Lihatlah pakaianmu. Lihatlah betapa kotor pakaianmu. Pakaian-pakaianmu telah sangat berubah sejak engkau membelinya pertama kali! Warna-warnanya telah pudar, dan penuh dengan keringat. Ciumlah, pakaian-pakaian itu berbau busuk!

Sekarang, ciumlah bau badanmu! Bau segala sesuatu yang engkau makan, ada dalam keringatmu. Jika engkau makan daging sapi, maka bisa berbau seperti sapi. Jika engkau makan daging kambing, maka bisa berbau seperti kambing. Jika engkau makan ikan, maka bisa berbau seperti ikan, dan jika engkau makan ayam, maka engkau akan berbau seperti ayam. Bahkan jika kamu minum obat, maka akan berbau seperti obat ketika engkau sendawa. Dari mana semua bau badan ini berasal? Dari dalam tubuhmu. Bau badan tersebut berasal dari makanan yang telah engkau makan dan masuk ke dalam tubuhmu. Itulah mengapa engkau berbau dan mengapa pakaianmu berbau, yang berasal dari keringat, dari semua makanan yang telah engkau tumpuk dalam tubuhmu.
Bau busuk dan kotoran yang terkumpul pada pakaianmu bisa dicuci, tapi apa yang bisa dilakukan untuk bau yang ada di dalam tubuh? Salam sayangku padamu, cucu-cucuku, cobalah untuk merenungkannya!
Engkau mencuci pakaianmu, bukan? Engkau berpendapat, “Aku pasti kelihatan menarik. Aku harus tampak menjadi orang penting,” dan dengan demikian, engkau menjaga kerapian serta kebersihan pakaianmu. Di zaman kuno, orang-orang harus menghempas-hempaskan pakaiannya ke batu di pinggir sungai untuk membersihkannya, tapi sekarang, ilmu pengetahuan telah memberi kita mesin cuci dan kita cukup menambahkan sedikit sabun. Tapi pakaian itu benar-benar menderita dalam mesin cuci tadi. Suatu hari nanti, perhatikan bagaimana sebuah mesin cuci bekerja dan engkau akan melihat bagaimana pakaian-pakaian itu menderita. Pakaian-pakaian tersebut dicampuradukkan, dikucek, digosok-gosok, dan dilempar. Bahkan jika kau mencucinya dengan tangan harus menyabunnya dan membilasnya. Itu satu-satunya cara bagaimana kotoran bisa dihilangkan. Pakaian begitu penting, untuk menatamu agar kelihatan menarik, seperti seorang pengantin laki-laki atau perempuan.
Anak-anakku, dengan cara yang sama, engkau harus melenyapkan
bau yang berasal dari setiap pori kulitmu. Penyakit berbau dan karma ini, ilusi, kesombongan, iri hati, keraguan, kebencian, kemarahan, bakhil, kerakusan, fanatik, kecemburuan, perbedaan antara dirimu dan aku, milikku dan milikmu, kepunyaanku dan kepunyaanmu, agamaku dan agamamu, bahasaku dan bahasamu, anakku dan anakmu ini - betapa semua ini busuk! Semuanya mengeluarkan bau busuk setiap detik dari setiap pori tubuhmu.
Sangatlah sukar untuk melenyapkan bau busuk yang berasal dari barang-barang yang telah engkau cari dan yang telah menumpuk dalam dirimu. Dan karena begitu sulit, maka ini mungkin sedikit sakit ketika engkau mencoba untuk mencuci bau busuk ini. Jika engkau menderita penyakit yang mengan dung infeksi dan dokter mengangkat penyakit itu dengan pisau bedahnya, maka engkau mungkin menangis karena sakitnya.
Jika engkau menginjak duri dan dokter mencabutnya, maka engkau makin merasa sakit sehingga engkau mencoba memukul atau menggigit dokter itu. Cukup sulit bagi dokter untuk menjalankan pekerjaan ini tanpa engkau memarahinya dan menganggapnya sebagai orang brengsek.
Engkau mungkin bereaksi dengan cara yang sama ketika datang kepada seseorang yang memiliki kearifan dan sifat-sifat yang baik dan dia mencoba menolong dirimu dari penyakit karma. Ini benar-benar sangat berat. Engkau akan menderita ketika seseorang yang tahu, mengatakan penyakitmu itu. Pikiran dan keinginanmu, rasa lapar, penyakit, usia tua, dan kematianmu, akan menderita. Empat ratus triliun sepuluh ribu penyakit yang menumpuk dalam dirimu akan mengalami penderitaan.
Jika seseorang memberitahumu untuk membuang hal-hal yang telah engkau pelihara dengan begitu hati-hati, maka ini akan membuatmu sedih. Engkau akan berteriak kepadanya dan penuh keraguan, kemarahan, iri hati, dan kemudian engkau akan kabur.
Jadi akan lebih mudah untuk mengunjungi seseorang yang memiliki sifat-sifat sama seperti dirimu, yaitu seseorang yang hanya akan berkata, “Oh, tidak ada yang menyimpang. Tidak ada masalah. Engkau berbau harum, pakai saja sedikit obat pengharum badan. Aku menyukaimu. Makanlah apa saja yang engkau inginkan dan ucapkan mantra apa saja yang engkau pilih. Kemudian, engkau akan gembira.” Engkau akan menyukainya. Engkau akan berkata bahwa dialah dokter yang baik, guru yang baik, dan syekh yang baik.
Tapi coba pikirkan! Karena dia berbau persis sepertimu, maka dia tidak akan keberatan dengan baumu. Bau busuknya dan bau busukmu akan membaur dengan baik, tapi bahkan binatang-binatang akan berlari kabur menjauhi bau busuk itu, dan bau busuk itu begitu menusuk. Pikirkan tentang sigung.
Orang menganggap seekor sigung kerbau mengerikan, kecuali sigung yang lain. Jadi, ketika dua sigung bertemu, mereka bahagia. Tapi umat manusia akan melakukan apa saja untuk membuang bau busuk itu.
Cucu-cucuku, sebagaimana seekor sigung tidak tahu bahwa sigung yang lain juga berbau, maka karma tidak mengenal bau karma. Tapi seorang manusia bijak akan tahu. Dia akan mencoba untuk membuang bau busuk itu. Seorang guru palsu hanya akan menikmati bau karma. Dia tidak akan membantumu untuk membuang sifat busukmu, dan dengan demikian, sifat busuk tersebut akan terus tumbuh dalam dirimu. Dia akan minta uang dan berkata, “Lakukan ini, lakukan itu. Berilah aku 200 dolar, dan segala sesuatunya akan berubah menjadi baik!”
Seorang guru palsu minta uang, tapi seseorang bijak sejati berkata, “Aku tidak menginginkan apa pun. Sudah, cukup jika engkau menjadi baik.”
Seorang tabib sejati yang mencoba untuk menyembuhkan penyakitmu, mungkin menyebabkan rasa sakit pada dirimu. Sungguh berat untuk membasuh keadaan buruk itu karena penyakit merupakan bagian dari daging, darah, dan pikiranmu.
Penyakit melekat pada dirimu seperti cat. Mencoba untuk mengikis atau menghapus penyakit secara menyeluruh, sangatlah sukar. Penyakit harus diatasi dengan [sikap] sabar dan syukur, dengan berpuas diri dan kesabaran hati. Cucu-cucuku, engkau membutuhkan iman, kemantapan hati, dan kepastian. Engkau membutuhkan semua sifat Allah. Maka cat itu bisa dihapus dengan kearifan dan cinta, dan engkau bisa bersih.
Salam sayangku padamu. Sungguh sulit untuk membuang karma bawaan. Sungguh sulit untuk mencuci dan menghapus kecongkakan, karma dan ilusi, tarahan, singhan dan suran, tiga anak ilusi. Sangatlah sukar untuk membuang kebencian, kerakusan, fanatisme, dan kecemburuan. Sangatlah sukar untuk menghapus keadaan mabuk, pencurian, pembunuhan, kebohongan, kemarahan, kegugupan, ketidaksabaran, egois, kesombongan, keraguan, kecurigaan, dan perpecahan yang diciptakan pikiran antara agama dan warna. Hanya jika engkau memiliki kesabaran, rasa senang, iman, kemantapan hati, dan semua sifat Allah, maka orang bijak akan mampu membuatmu seindah dan sebersih dirinya. Dia selalu mencoba melaksanakan tugasnya. Dia idak mencari apa-apa darimu.
Salam sayangku padamu, cucu-cucuku. Berpikirlah tentang hal ini dan perkuatlah imanmu! Kita harus membuang karma ini, bau busuk ini. Bau busuk ini menghancurkan kehidupan dan kebebasan jiwa. Bau busuk ini bisa memotong seluruh kehidupan kita dan menghancurkan hubungan kita dengan Allah. Bau seekor sigung ada dalam kulitnya, tapi bau manusia ada dalam pikirannya. Cukup mudah untuk mengupas kulit sigung, tapi membuang bau pikiran sangatlah sukar. Renungkanlah ini secara mendalam. Buanglah kecongkakanmu, kesombonganmu, dan amarahmu. Milikilah rendah hati, kedamaian, dan ketenteraman. Engkau harus memiliki sifat-sifat ini, yang akan baik untukmu.
Salam sayangku padamu, cucu-cucuku. Semoga karma ini hilang dan wewangian itu menjadi milik kita. Semoga kita tetap beriman kepada Tuhan, dan semoga kita memiliki iman yang mutlak, kemantapan hati, dan kepastian. Hargailah sifat-sifat itu. Bersabarlah. Maka, dokter yang baik itu bisa memakai kearifannya demi kalian. Semoga Allah menolong kalian semua. Amin.

Bagaimana Cara Seorang Murid Memilih Guru ?

Syeikh Abdul Wahab Asy-Sya’rani
 
DAN diantara perilaku seorang murid dalam berguru, hendaknya tidak berguru kecuali kepada seorang guru yang ilmu-ilmu syariatnya benar-benar kuat dan mendalam. Hal ini dimaksudkan agar dengan sang guru yang ilmu syariatnya mendalam ini sang murid merasa cukup dan tidak butuh berguru lagi kepada orang lain. Tuan Guru Syekh Muhammad asy-Syanawi pernah memberitahuku, bahwa suatu ketika ia pernah berkata kepada gurunya, Syekh Muhammad as-Surawi, “Guru, aku ingin mengunjungi si guru (syekh) fulan.” Rupanya Tuan Guru tidak ingin muridnya mencari guru lain, dan berkata dengan menampakkan kecemberutan di wajahnya, ‘Wahai Muhammad, bila engkau belum merasa cukup denganku, lalu bagaimana engkau menjadikan aku sebagai gurumu?” Maka sejak saat itu, aku tidak pernah lagi mengunjungi guru lain sampai beliau wafat.
Maka bisa diketahui bahwa orang yang sudah ditakdirkan untuk masuk ke dalam tarekat dan diambil sumpahnya oleh seorang guru yang ilmu-ilmu syariatnya kurang mendalam maka tidak ada salahnya ia berkunjung dan berkumpul dengan guru lain, sebagaimana kondisi yang terjadi pada sebagian besar para guru di zaman ini. Maka ungkapan Syekh Abu al-Qasim al-Qusyairi, “Dianggap kurang baik seorang murid mengikuti madzhab lain yang bukan madzhab gurunya. Akan tetapi ia hanya diperkenankan mengikuti pada gurunya saja.” Ini jelas ditujukan untuk murid yang mendapatkan guru yang benar-benar mendalami ilmu syariat secara sempurna. Maka tidak ada jeleknya seorang murid mencari dan menisbatkan dirinya ke madzhab lain yang bukan gurunya, bila gurunya tidak benar-benar mendalami ilmu syariat, bahkan hal itu wajib ia lakukan.


Seorang Sufi Juga Seorang Yang Fakih 

IMAM Ahmad bin Hanbal dengan kebesaran dan keagungannya ketika ia tidak mampu menyelesaikan masalah, ia akan bertanya kepada sang sufi, Abu Hamzah al-Baghdadi, “Bagaimana pendapat anda dalam masalah ini wahai sang sufi?” Maka apa yang dikatakan Abu Hamzah akan dijadikan pegangan. Hal ini cukup menjadi catatan sejarah bagi para guru sufi. Demikian pula dengan kisah al-Qadhi Ahmad bin Syuraih yang juga mengakui kelebihan Abu al-Qasim al-Junaid, dimana ia juga mengikuti majelis halaqah al-Junaid, dan ketika ditanya tentang ungkapan-ungkapan al-Junaid ia tidak banyak berkomentar dan hanya mengatakan, “Aku tidak paham sedikit pun apa yang ia katakan, akan tetapi serangan-serangan ungkapannya bukan ucapan yang tidak berarti.”

Syekh Abu al-Qasim al-Junaid —rahimahullah— berkata:
“Andaikan aku tahu bahwa di bawah kolong langit ini Allah memiliki ilmu yang lebih mulia daripada ilmu kaum sufi ini tentu aku akan berangkat ke sana.” Ia juga pernah berkata: “Tidak pernah ada ilmu yang turun dari langit dan Allah memberi jalan kepada makhluk untuk pergi ke sana kecuali Allah juga memberiku bagian pada ilmu tersebut.”

Syekh Abu al-Qasim al-Qusyairi —rahimahullah— berkata:
“Seluruh guru tarekat sufi telah membuat aturan, bahwa salah seorang dan mereka tidak akan memimpin suatu tarekat sama sekali kecuali ia mendalami ilmu syariat secara sempurna dan telah sampai pada tingkatan kasyaf (tersingkap seluruh hijab). Dimana tingkatan ini sudah tidak butuh lagi mencari dalil (argumentasi). Dan apa yang dilakukan oleh murid untuk menisbatkan diri kepada orang lain (yang bukan kaum sufi) dan membaca ilmu-ilmu lain yang bukan ilmu kaum sufi hanyalah karena ketidaktahuan si murid terhadap tingkatan spiritual mereka. Sebab argumentasi kaum sufi lebih kuat dan valid daripada argumentasi kelompok lain. Ini karena argumentasi mereka didukung dengan metode kasyaf. Dan setiap ada seorang dari kaum sufi yang hidup di suatu kurun mesti para ulama di kurun tersebut akan hormat dan tunduk pada si sufi tersebut dan melakukan isyarat-isyaratnya. Mereka meminta kepada Si sufi untuk membantu menghilangkan kesulitan yang sedang mereka hadapi. Andaikan bukan kesaksian para ulama sufi akan masalah-masalah yang menyuarakan ketinggian kedudukan mereka, tentu masalahnya akan sebaliknya, dan tidak seperti itu.” Kami telah membicarakan masalah ini dengan panjang lebar dalam Kitab al-Qawa ‘Id ash-Shuftyyah al-Kubra. — Dan hanya Allah Yang Mahatahu

.
Bolehkah Murid Menjadikan Lebih Dari Seorang Guru ?

DIANTARA perilaku yang harus dilakukan seorang murid hendaknya hanya mengambil dan menjadikan seorang guru. Maka ia tidak diperkenankan sama sekali menjadikan dua orang guru. Sebab tarekat kaum sufi dibangun atas dasar tauhid murni. Syekh Muhyiddin Ibnu al-’Arabi dalam al-Futuhat al-Makkiyyah bab keseratus delapan puluh satu, menuturkan sebagai berikut: “Perlu anda ketahui, bahwa seorang murid hanya diperkenankan menjadikan seorang guru. Sebab hal itu lebih bisa menolongnya dalam menempuh tarekat. Kami tidak pernah melihat seorang murid pun yang sukses dalam menempuh tarekat di bawah bimbingan dua orang guru (tarekat). Sebagaimana di alam ini tidak ada dua Tuhan, tidak ada seorang mukalaf yang hidup diantara dua rasul, dan tidak ada seorang perempuan yang menjadi istri dari dua orang suami, maka demikian pula seorang murid tidak boleh mengambil dua orang guru.” Ini berlaku untuk murid yang mengikat dirinya dengan seorang guru (tarekat) dengan tujuan suluk menuju Allah. Adapun orang yang tidak mengikat dirinya dengan seorang guru, tapi ia sekadar mencari berkah dari guru, maka orang seperti yang terakhir ini tidak dilarang untuk berkumpul dengan guru siapa pun.
Tuan Guru Syekh Ali al-Murshifi —rahimahullah— mengatakan: “Barangsiapa diuji untuk bersahabat dengan dua orang guru atau lebih, maka hendaknya menjadikan gurunya yang hakiki selalu berada di belahan hatinya, disamping ia mencintai Rasulullah Saw. Sebab dia sebagai pengganti Rasulullah Saw. dalam memberi nasihat kepada umatnya dan menunjukkan mereka kejalan yang benar.”

Abu Yazid al-Bisthami pernah berkata: “Barang siapa tidak memiliki seorang guru maka ia menyekutukan dalam tarekat, sedangkan orang yang menyekutukan dalam tarekat gurunya adalah setan.”

Abu Ali ad-Daqqaq —rahimahullah— mengatakan: “Seseorang tidak akan mampu suluk di tarekat kaum sufi tanpa seorang guru. Sebab perjalanan ini menempuh kegaiban atau gaibnya kegaiban. Ibarat sebatang pohon apabila tumbuh dengan sendirinya tanpa ada orang yang menanamnya maka tidak ada seorang pun yang bakal memanfaatkan buahnya sekalipun tumbuh bersemi dan daunnya rindang, bahkan bisa jadi tidak akan berbuah untuk selamanya. Coba anda perhatikan wahai saudaraku, Tuan dari para rasul, Muhammad Saw., bagaimana dengan jibril yang menjadi perantara antara beliau dengan Tuhannya dalam menyampaikan wahyu. Dengan demikian anda tahu, bahwa menjadikan seorang guru adalah suatu keharusan bagi murid yang tidak bisa ditinggalkan.”
Abu Yazid al-Bisthami mengatakan: “Sungguh aku telah mengambil tarekatku ini dari guruku, antar orang ke orang.” Kemudian cukup jelas, bahwa para salaf saleh dari generasi sahabat, tabi’in, dan tabi’t-tabi’in tidak mengikatkan diri dengan seorang guru tertentu, tapi bisa jadi salah seorang dari mereka menjadikan lebih dari seratus orang guru. Ini karena mereka adalah orang-orang yang bersih dari kotoran dan ketololan nafsu, maka masing-masing orang dianggap orang yang sempurna yang tidak butuh kepada orang yang membimbing perjalanannya. Tapi ketika “wabah penyakit” ini semakin banyak dan mereka butuh disembuhkan, maka para guru tarekat memerintah para murid untuk mengikatkan diri dengan seorang guru, agar kondisi spiritual murid tidak kacau dan perjalanan yang ditempuhnya tidak terlalu panjang. Maka pahamilah!
Diantara perilaku seorang murid hendaknya membuang seluruh keterkaitan duniawi, dan hal ini hendaknya dijadikan modal utamanya. Sebab orang yang memiliki keterkaitan duniawi akan sedikit sekali bisa berhasil, karena keterkaitan tersebut akan menyeretnya mundur ke belakang. Oleh karenanya mereka mengatakan: “Diantara syarat orang yang bertobat adalah menjauhi teman-teman jahat, dimana mereka akan menjadi temannya dalam melakukan maksiat sebelum ia bertobat. Sebab mendekat kepada mereka barangkali bisa menyeretnya mundur ke belakang dengan melakukan perbuatan yang sebelumnya ia sudah bertobat darinya.”
Imam al-Qusyairi —rahimahullah— berkata: “Seorang murid wajib melakukan kegiatan yang selalu mengosongkan hatinya dari segala kesibukan. Dan diantara kesibukan-kesibukan yang sangat berat adalah berusaha keluar dari harta yang ia miliki. Sebab dengan harta yang ada di tangannya itu akan bisa berpaling dari jalan yang lurus (istiqamah), karena lemahnya si murid. Sebenarnya tidak boleh ia menyimpan harta kecuali setelah ia benar-benar sempurna dalam perjalanan tarekatnya.” Ia juga mengatakan: “Para guru merasa berat dan tidak mampu menggandeng perjalanan seorang murid yang memiliki keterkaitan dengan duniawi. Maka perjalanan mereka dengan menggandeng murid ini sangat lemah dan lamban. Barangkali umurnya telah habis sementara mereka belum bisa sampai pada tingkat kesempurnaan yang ia inginkan.”

Khamis, Februari 14

JALAN KE HADRAT ILLAHI

JALAN KE HADRAT ILLAHI

Terdapat tiga` jalan ke Hadrat Ilahi iaitu:
1 Jalan Adabul Syari’at
2 Jalan Adabul Hidmat
3 Jalan Adabul Haq
Jalan Adabus Syari’at ialah mematuhi segala 10 hukum-hukum Tuhan . 5 hukum syarak iaitu wajib, sunat, haram , makruh dan harus. 5 hukum wad’e iaitu syarat, sebab, mani’, sah dan batal. Sebagaimana Firman Allah Taala bermaksud:
Barangsiapa membuat membuat kejahatan walau sebesar zarrah sekalipun Allah terima, dan barangsiapa membuat kebajikan sebesar zarrah sekalipun Allah terima juga.
Jalan Adabul hidmat ialah membersihkan hati selain daripada Allah SWT , samada atas pekerjaan keduniaan atau akhirat tanpa meminta balasan.Firman Allah Taala bermaksud:
Dan Allah Taala yang menjadikan kamu dan perbuatan kamu.
Jalan Adabul haq ialah kita melihat` dengan mata zahir dan mata hati serta mata sir menerusi wujud Allah. Firman Allah Taala bermaksud:
Barang di mana kamu hadap, di sana ada wujud Allah.
Cara-cara mencapai jalan ini
Hendaklah kita menuntut 3 jenis ilmu iaitu :
1 Ilmu Fekah
2 Ilmu Usuluddin
3 Ilmu Tasawwuf
Mengapa kita perlu menutut ketiga-tiga jenis ilmu ini. Sebab manusia ini hidup kerana ada 3 syarat iaitu ada jasad, ada hati dan ada roh. Jadi untuk mendapat keselamatan di dunia dan akhirat wajib kita mengetahui ilmu tersebut.
Ilmu Fekah ialah tertakluk kepada tubuh atau jasad manusia jadi hukumnya berkaitan dengan syarak, ilmu usuluddin berkaitan dengan hati hukumnya berkaitan dengan akal, manakala ilmu tasawwuf berkaiatan dengan roh hukumnya berkaitan dengan adat.
Walaubagaimanapun, sebelum memasuki gerbang ketiga-tiga ilmu ini kita wajib mengetahui dan mempelajari ilmu yang paling utama dulu iaitu ilmu awaluddin. Sebagaimana firman Allah Taala bermaksud:
Awal agama mengenal Allah. Allah Taala berfirman lagi yang bermaksud:
Tiada sah sembahyang seseorang itu, melainkan ia mengenal dulu yang disembah.
Sedangkan Allah Taala itu Ghuyub dan maha ghaib. Untuk mengenal Allah wajib kita mengenal diri . Sebagaimana Sbada Rasululllah saw:
Barangsiapa mengenal diirnya, sesungguhnya mengenal Tuhannya, barangsiapa mengenal akan Tuhannya, binasalah dirinya.
Diri ini terdiri dari Diri terusal, Diri terperi, Diri yang terdiri dan Diri terjali
Terdapat 2 jenis agama di dunia iaitu agama Islam dan agama bukan Islam. Kedua-kedua agama ini ialah juga agama Allah. Tetapi agama Islam telah diakui oleh Allah. Firma Allah Taala berbunyi:
Sesungguhnya agama disisi Allah adalah agama Islam,
Agama Islam ini bersih dari syrik jail, syrik khafi dan syrik khafi yul khafi. Sedangkan agama bukan Islam atau kafir mensyrikkkan Tuhan iaitu Allah.
Syrik Jali ialah menyembah selain dari Tuhan yang bernama Allah. Syrik Khafi ialahmenyekutukan pada hati samaada pada wujudNya, sifatNya dan perbuataNya. Manakala syirik Kahafi yul khafi ialah tidak tahu membezakan antara Tuhan dan Hamba atau Qadim dan Muhaddas.
Agama Islam ialah terdiri dari himpunan 5 hukum syarak dan 5 hukum wad’e. Agama itu ialah sebagai iktikad atau pakaian kita inilah yang dikatakan iman.
Agama Islam ini terhimpun ke dalam 4 perkara iaitu Iman, Islam,Tauhid dan Makrifat.
Sumbangan agama kepada kita ialah suatu tali penarik untuk semua manusia yang berpegang kepadanya dan pegangan kita ialah ialah himpunan 4 perkara tersebut iaitu Iman, Islam, tauhid dan Makrifat. Jadi jalan ini ialah jalan membawa kepada kebahagiaan iaitu Syurga. Firma Allah Taala bermaksud:
Berpegang kamu dengan tali Allah dan jangan bercerai berai.
Orang yang berpegang teguh dengan tali Allah dinamakan orang mukmin dan muslimin.
Iman, Islam, Tauhid dan makrifat
Iman atau iktikad terdiri dari 3 derejat iaitu Iman Syari’at, Iman Tareqat, Iman Hakikat.Iman syari’at ialah kita percaya kepada rukun iman yang dua iaitu iman mujamal dan iman munfasal. Iman tareqat ialah kita memandang bahawa hukum Allah tidak berubah. Iman hakikat ialah kita yakin sepenuhnya hukum Tuhan tidak akan berubah. Sebagaiaman Firman Allah Taala berbunyi :
Berbuat Allah Taala dengan sekehendaknya.
Islam terdiri dari 3 derejat iaitu: Islam Syari’at, Islam Tereqat dan Islam Hakikat.Islam syari’at ialah hendaklah kita taat segala hukum perintah dan laranganNya. Islam Tareqat ialah hendaklah ita membersihkan hati kita dari ujub, ria, sama’ah, takbur, hawa, nafsu, dunia, syaitan, hasad, khianat dan dendam. Islam Hakikat ialah menyerahkan diri di dalam segalam hukum iaitu takdir
Tauhid terdiri dari 3 derejat iaitu: Tauhid Syari’at, tauhid tareqat dan tauhid hakikat. Tauhid syari’at ialah menafikan sifat Tuhan yang lain daripada Allah SWT. Tauhid tereqat ialah mengesakan sama ada sifat atau perbuatan bagi Allah. Tauhid hakikat ialah menafikan wujud yang lain
Makrifat pula terdiri dari 3 derejat iaitu makrifat syari’at, makrifat tareqat dan makrifat hakikat. Makrifat syari’at ialah hendaklah kita mengenal segala hukum feqah, hukum akal dengan bersih , Dapat kita mengenal mana yang baik dan mana yang jahat, mana yang haq bagi Tuhan serta dapat mengenal mana yang baik dikerjakan dan mana yang jahat ditinggalkan. Makrifat tareqat ialah hendaklah kita mengenal segala warid yang dating di dalam hati kita. Makrifat hakikat ialah tiada beza antara Allah dengan hamba, sama ada pandang secara zahir atau secara batin.
Untuk mencapai syari’at, tareqat dan makrifat ialah dengan ilmu. Ilmu syari’at ialah ilmu feqah. Ilmu taredat ialah ilmu usuluddin dan ilmu hakikat ialah ilmu tasawwuf. Jika kita tidak faham ketiga-tiga ilmu ini maka tidak sempurna amal kita. Had batasan ilmu feqah ialah bago orang awam iaitu wajib mengetahui hukum syarak yang 5 dan hukum wad’e yang lima. Had batasan ilmu usuluddin ialah sekurang-kurangnya kya mengetahu 68 akaidul iman, Had batasan ilmu tasawwuf ualah kita mengetahui amal kita diterima atau tidak. Firma Allah Taala bernaksud:
Orang yang ulama adalah kekasih Allah walaupun ia fasik, dan bermula orang yang jahil seteru Allah walaupu ia soleh.

ISTILAH-ISTILAH SUFI, TASAWWUF DAN TAREQAT NAQSYABANDIYAH

ISTILAH-ISTILAH
A
Abdal – Kelompok yand terdiri dari orang-orang suci yang di antara mereka terdapat kelompok Shiddiqun (orang yang benar dan jujur)
Ahadiyah – Keesaan tertinggi
Ahadits – Ucapan Nabi Muhammad saw
Ahli Suffah – Orang-orang yang ikut pindah dengan nabi dari Mekah ke Madinah
Ahamadiyah – Tareqat Syekh Ahamd Idris
Akhirat - Kehidupan yang kekal sesudah mati
Agama- Ad-Din, Syariat dan hukum-hakam Islam, ketaatan.
Ahadiyah- Keesaan
Ahmad- Yang Paling Terpuji
Ahwal- Hal-hal keadaan
Akabirin- Syeikh-syeikh besar
Akhfa- Yang paling tersembunyi, Latifah Alam Hahut di Alam Amar
Alam Amar - Alam di atas ‘Arasy
Alam Arwah - Alam Para Ruh
Alam Bahut - Alam Sifat-Sifat Allah, Alam Ketuhanan.
Alam Hahut - Alam Zat Allah, Alam Ketuhanan.
Alam Jabarut - Alam Para Ruh
Alam Kabir - Makrokosmos
Alam Khalaq - Alam di bawah ‘Arasy
Alam Lahut - Alam Bayangan Sifat-Sifat Allah, Alam Ketuhanan.
Alam Malakut - Alam Para Malaikat
Alam Saghir - Mikrokosmos
Allah - Nama Zat Tuhan yang wajib wujud secara mutlak, memiliki segala sifat kesempurnaan dan suci dari segala sifat kekurangan, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Alf Tsani - Seribu tahun kedua sesudah Hijrah Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam
Amir - Pemimpin jemaah
Anjuman - Khalayak ramai
Anwar - Kata jamak bagi Nur, cahaya-cahaya
Aqrab - Paling dekat
Aulia - Kata jamak bagi Wali
Awrad - Himpunan wirid-wirid
Azkar - Kata jamak bagi Zikir
‘Adadi - Bilangan
‘Ainul Yaqin - Syuhud, Ihsan
‘Aliyah - Yang tinggi
‘Aqidah - Pegangan i’tiqad, keimanan
‘Arasy - Tempat Allah Subhanahu Wa Ta’ala bersemayam
Arif – Seseorang yang mengetahui
Arifbillah – Orang yang sangat mengenal Allah SWT
Auliya – Para wali Allah SWT
Autad – Dalam Hirarki sufi terdapat empat manusia sejati Al Autad, yang bertempat di empat penjuru dunia: sebelah timu, barat, Utara dan Selatan
B
Bai‘ah - Janji taat setia
Barakah – Suatu keagungan ; khususnya dikaitkan dengn kurnia Kerohanian yang dianugerahkan oleh Allah SWT
Baz Gasht - Kembali kepada Allah dengan lafaz “Ilahi Anta Maqsudi, Wa Ridhoka Matlubi, A’tini Mahabbataka Wa Ma’rifataka”.
Basirah - Pandangan mata hati/hati nurani/pandangan batin
Basyariyah - Sifat-sifat manusiawi
Bida ‘ah - Amalan yang tidak menuruti Sunna
C
Chishtiyah - Tariqat Hadhrat Maulana Syeikh Mu‘inuddin Chishti Rah. ‘alaih
D
Da‘I - Seorang pendakwah.
Dakwah - Menyeru kepada Agama Allah Ta’ala.
Darwisy – Pencari Allah SWT
Dawam - Secara berterusan, tetap, kekal.
Dawam Al Hudhur – Kehadiran Allah SWT secara terus menerus
Dawam Agahi - Sentiasa berjaga-jaga menantikan limpahan Faidhz. Dawam Hudhur - Kehadiran Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang berterusan.
Dehlawi - Nisbat kepada tempat iaitu Delhi, India..
Doa – Permohonan peribadi seorang hamba kepada Allah SWT
Dosa – Suatu kesalahan atau kekeliruan
F
Faidhz - Limpahan Ketuhanan.
Fana - Kehilangan diri.
Faruqi - Nisbat keturunan kepada Sayyidina Umar Khattab Faruq (R.‘anhu)
Fasad - Kerosakan, kejahatan
Fath - Pembukaan
Fauqaniyah - Yang kedudukannya bersifat teratas.
Faqir - Orang miskin yang menyerah kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Feqah - Kefahaman Agama yang berkaitan Syari‘at.
Fikr – Kekuatan fikiran atau perenungan
Fu’ad – Tempat makrifat dan rahsia-rahsia atau alat penglihatan batin
G
Ghaib- Sesuatu yang tidak dapat dilihat oleh mata kasar
Ghairullah - Makhluk, segala sesuatu yang selain Allah Subhanahu Wa Ta’ala..
Ghauts - Darjat kewalian yang tinggi.
H
Ha/Hiya - Dia (muannats).
Hadrah – Kehadiran sifat Tuhan
Hal – Keadaan rohani yang menguasai hati
Haq - Kebenaran.
Hafiz - Seorang yang menghafal Al-Quran.
Hakikat - Kebenaran.
Hanafi - Mazhab Imam Abu Hanifah Rahmatullah ‘alaih.
Hambali - Mazhab Imam Ahmad Bin Hambal Rahmatullah ‘alaih.
Haqiqat - Kebenaran sesuatu.
Hadits/Hadis - Perkataan, perbuatan dan diam Hadhrat Nabi s.a.w.
Hadhrat - Kehadiran.
Hawa – Kecebderungan nafsu kepada Syahwat. Potensi kalbu tunyuk mrngerakkan kemahuan. Ada keinginan untuk keduniaan
Hidayah - Petunjuk.
Hijab - Penghadang, tirai.
Himmah – Kekuatan yang paling kuat dalam diri manusia
Hosh - Sedar.
Hosh Dar Dam - Sedar dalam nafas.
Hu/Huwa - Dia (muzakkar)
Hudhur – Kehadiran bersama Allah
I
Ibadah – Penghambaan kepada Allah SWT disertai kepatuhan dan cinta mutlak
Ihsan - Merasakan seolah-olah melihat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ijtihad - Menetapkan sesuatu hukum Syari‘at.
Ikhlas – Ketulusan dan kesucian niat kerana Allah SWT
Ilham – Pancaran Ilahi
Ilahi - Tuhan, Tuhanku
Imam - Pemimpin
Iman - Percaya dan yakin dengan perkara yang Ghaib.
Inabah - Kembali kepangkuan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Insan kamil – Manuia sempurna atau Khalifah Allah
Insyirah – Kelapangan dada
Islah - Memperbaiki diri
Islam - Menyerahkan diri kepada Allah dengan perlaksanaan Syari‘at.
Ismu Zat - Nama bagi Zat Pencipta iaitu Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Isyarah – Pengungkapan pengalaman kaum sufi
Isyaraqiyah – Bersinar/memancarkan cahaya , seakan seerti dengan kasyaf
Isyq – Cinta yang bergelora kepada Allah SWT
Istighfar - Memohon keampunan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Itsbat - Menetapkan.
‘Irfan - Limpahan Ma’rifat Ketuhanan.
J
Jabarut – Dunia kekuasaan Tuhan/hakikat Ilahi
Jalallah – Sebutan lafaz Alah
Jam‘iyat - Kesemua lataif yang tetap mengingati Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Jazb – Persaan sedang dimabuk rindu kepada Allah SWT
Jemaah - Secara berkumpulan.
Jihri - Menguat dan mengeraskan suara, lisan yang kedengaran.
Jazbah - Penarikan terhadap Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
K
Kaifiat - Cara dan kaedah perlaksanaan.
Karamah – Kemuliaaan atau Kekeramatan
Kashaf - Pandangan batin./penyingkapan. Terbuka dari tabir
Khafi - Sesuatu yang bersifat tersembunyi, Latifah Alam Bahut.
Khalifah - Naib, pengganti.
Khalwat - Bersendirian, berseorangan.
Khalwatiyah – Tereqat Syaikh Umar Al Khalawti (Wafat 800/1397H)
Khalwat Kabirah - Bersendirian dengan Allah dalam kesibukan manusia.
Khalwat Saghirah - Bersendirian dengan Allah jauh dari kesibukan manusia.
Khandan - Kelompok, golongan, keturunan.
Khanqah - Tempat Syeikh mendidik Para Muridnya, Zawiyah, Ribat.
Khatrah - Kekhuatiran dan lintasan hati.
Khauf – Sap merasa takut kepada Allah swt kerana kurang sempurna pengabadiannya
Khilafah - Menerima tanggungjawab Khalifah.
Khudawanda - Oh! Tuhanku.
Khwajah - Guru Murshid, Syeikh.
Khwajagan - Kata jamak bagi Khwajah.
Kiamat / Qiyamat - Hari tertegaknya perhitungan Allah Subhanahu Wa Ta’ala
L
Laduni – Ilmu yang dipancarkan langsung oleh Tuhan ke lubuk hati manusia tanpa melalui belajar
La Ilaha Illa Allah - Tiada Tuhan Melainkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Lafaz - Sebutan.
Lahut – Sifat Ketuhanan
Lataif - Kata jamak bagi Latifah.
Latifah - Kehalusan sifat Rohani.
Lisani - Ingatan yang dilakukan menerusi lidah
M
Mabda - Tempat permulaan
Mabda Faidhz - Tempat sumber permulaan Faidhz
Mahabbah – Cinta
Makhafah – Perasaan takut kepada Allah da selalu ingat kepadaNYa kepada Allah SWT
Maqam – Kedudukan kerohanian
Maqamat – Tingakatan atau tahapan dalam mendekatkan diri
Ma’rifat – Pengetahuan yang sangat jelas dan pasti ntang Tuhan yang diperolehi melalui sanubari
Masjid - Tempat mendirikan solat berjemaah
Majzub - Seorang yang ditarik menuju kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Mahabbat - Cinta, kasih sayang
Malaikat - Makhluk Allah yang diciptakannya dari cahaya dan taat kepadaNya.
Malakutiyah - Sifat-sifat Malaikat
Malfuzat - Kata-kata, ucapan, perkataan yang dilafazkan
Maliki - Mazhab Imam Malik Bin Anas Rahmatullah ‘alaihima
Maqam - Tempat kedudukan
Masyaikh - Kata jamak bagi Syeikh
Maulana - Tuan Guru
Maulawi – Guru
Maulawiyah – Tareqat Maulana Jalalaluddin Rumi (672/1273M
Mawahib – anugerah ilahiyah
Mawrid Faidhz - Tempat yang hendak dilimpahkan Faidhz Mazhab - Jalan anutan Para Imam Ahlus Sunnah
Mi’raj - Perjalanan Ruhani dari tempat rendah ke tempat yang tinggi.
Mu’aqabah – Sangsi terhadap- pelanggaran
Mubatadi – Pemula
Muhadharah – Perasaan hadirnya Allah dalam hati
Muhasabah – perhitungan
Muhasanah – Memperbaiki keadaan diri masa kini
Mujaddid - Seorang yang memperbaharukan Agama Islam
Mujaddidiyah - Nisbat kepada Imam Rabbani Mujaddid Alf Tsani.
Mujahadah - Jihad melawan hawa nafsu
Mukasyafah – Terbuaknaya tadbir antara diri dengan Alah SWT
Mumkinat – Mungkin
Munfaridun – Orang-orang yandgselalu berzikir ingat kepada Allah SWT
Muntahi – Tingkat akhir
Muqaddimah - Pendahuluan
Muqarrabin - Orang-orang yang mendekatkan diri dengan Allah Ta’ala.
Muraqabah - Berjaga-jaga menantikan limpahan Faidhz dari Allah Ta’ala
Murshid - Syeikh, pembimbing Rohani
Murid - Seorang yang berkehendak kepada ilmu
Murad - Sesuatu yang dikehendaki
Musyahadah - Ihsan, Syuhud, menyaksikan kehadiran Allah Subhanahu Wa Ta’ala
Mutabarikun – Orang-orang yeng terlibat dalam pemberkatan
Mutawassit - Pelanjut
N
Nabawiyah - Kenabian
Nafi - Menidakkan
Nafi Itsbat - Ucapan kalimah LA ILAHA ILLA ALLAH
Nafs - Latifah Alam Khalaq
Nafsu - Kehendak yang bersifat Duniawi
Naqsh - Ukiran
Naqshband - Ukiran yang terpahat
Naqshbandiyah - Nisbat kepada Tariqat Shah Bahauddin Naqshband Rah. ‘alaih
Nasut – Alam kemanusiaan
Nazar - Memandang
Nigah - Berjaga-jaga, memerhati
Nisbat – Pe rtalian hubungan
Nubuwwah - Kenabian
Nur – Cahaya
Nur Muhamma – Cahaya Muhammad
P
Pir - Syeikh, Murshid, Khalifah, pembimbing Rohani.
Q
Qadam - Kaki.
Qadiriyah - Nisbat kepada Tariqat Hadhrat Syeikh Abdul Qadir Jailani Rah.‘alaih.
Qadiriyah Naqsyabandiyah – Nisbat kepada tareqat yang didirikan oleh Syaikh Ahmad Khatib sambas (Wafat 1878M) seorang sufi besar dari Indonesia yang bermukim di Mekah
Qalb - Latifah Alam Malakut di Alam Amar.
Qalbi - Ingatan yang dilakukan dengan hati.
Qalbu - Hati.
Qalibiyah - Empat Latifah Alam Khalaq iaitu Tanah, Air, Api dan Angin.
Qana ‘ah - Bersederhana dalam segala urusan kehidupan.
Qaus - Maqam muraqabah di dalam Daerah Wilayah Kubra.
Qawali – Nyanyian sufi dalam bahasa Urdu dan Persia
Qiblah - Arah panduan.
Qurb – Kedekatan kepada Allah
Qutub - Seorang wali yang mencapai kedudukan tertinggi dan menghuraikan ilmu Hadhrat Baginda Rasulullah s.a.w.
Qutubul Aqtab - Wali Qutub yang bertanggungjawab ke atas sekelian Wali Aqtab.
R
Rabitah - Menghubungkan diri dengan Syeikh secara jasmani mahupun rohani.
Rabbani - Pemelihara, pemberi tarbiyah.
Raja’ - Berharap
Redha - Menerima Qada dan Taqdir Allah dengan lapang dada.
Rifaiyah – Nisbat kepada Tareqat Syaikh Ahmad Rifai (1182m)
Riyadah – latihan-latihan kerohanian
Rohani - Sesuatu yang bersifat kekal pada diri manusia.
Rahmat - Kasih sayang Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Ruh - Latifah Alam Jabarut di Alam Amar.
S
Sabar - Tetap dalam melakukan ketaatan dan meninggalkan maksiat.
Safar - Perjalanan.
Safar Dar Watan - Merantau di Alam Amar.
Salafus Soleh - Orang-orang Soleh yang terdahulu.
Salik – Penempuh jalan kerohanian
Sanad - Sijil.
Sair - Berjalan, bersiar-siar, merantau.
Sair Afaqi - Perjalanan di luar diri.
Sair Anfusi - Perjalanan di dalam diri.
Sanusiyah – Dinisbatkan tareqat kepada Syaikh Muhammad Ibn Ali Sanusi Al Idrisi
Shadiqun – Orang-orang yang jujur
Shidiqun – orang yang benar dan tulus
Sir - Latifah Alam Lahut di Alam Amar.
Solat - Sembahyang.
Sohbet - Berdamping, bersahabat.
Salik - Seseorang yang dalam perjalanan menuju Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sirhindi - Nisbat kepada tempat Hadhrat Imam Rabbani.
Sayyid - Seorang yang berketurunan Hadhrat Baginda s.a.w.
Shauq - Keseronokan.
Syadziliyah – Nisbat Tereqat Syaikh Aul Hasan As –Syaziliyah (1258M)
Syafi‘I - Mazhab Imam Syafi‘i Rahmatullah ‘alaih.
Syaitan - Musuh yang nyata bagi orang-orang beriman
Syeikh - Pembimbing rohani.
Syeikhul Masyaikh - Syeikh kepada Para Masyaikh, Guru sekelian guru.
Syukur - Berterima kasih kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Silsilah - Kesinambungan rantaian sesuatu hubungan.
Subhanahu - Maha Suci Dia.
Sufi - Seorang yang membersihkan hati dari ingatan selain Allah Ta’ala.
Suhrawardiyah – Dnisatkan kepada Syaikh Abu Najib As-Suhrawardiyah
Sukr –Kemabukan kerohanian
Suluk - Perjalanan khusus menuju Hadhrat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Sunnah - Amalan Hadhrat Baginda Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam
Syaikh – Guru Kerohanian
Syari‘at - Hukum hakam Agama Islam.
Syarif - Mulia
Syafa‘at - Pertolongan dan belas kasihan.
Syatariyah – Dinisbatkan kepada Syaikh Abdullah Syattar (wafat 1482 H)
Syawq- Kerinduan
Syuhud - Ihsan, musyahadah.
T
Ta’ala - Maha Memiliki Ketinggian.
Ta’ayyun – Ketepatan hati
Tabligh - Menyampaikan kebenaran Agama Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Taffakur – Perenungan terhadap sesuatu
Tahalli – Menghiaskan diri dengan perbuatan baik
Tajalli - Manifestasi, penzahiran.
Takhalli – Penarikan diri dari segala sesuatu
Takhliyyah - Pengosongan
Talqin - Menyebut dan mengajarkan sesuatu kalimah zikir.
Tanzih – Pembersihan dari noda
Tanazzul – Penyingkapan Tuhan dari kegaiban kea lam penampakan
Taqwa - Mentaati perintah Allah Subhanahu Wa Ta’ala. dan RasulNya Sallallahu ‘Alaihi Wasallam serta meninggalkan laranganNya
Taslim Penyerahan
Taubat - Perjanjian tidak akan mengulangi dosa.
Taufiq - Asbab kemampuan untuk melakukan ketaatan.
Tariqat - Jalan khusus menuju kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Tasawwuf - Ilmu tentang membersihkan hati.
Taskiyyah - Penyucian
Taslim - Menyerahkan diri kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Tauhid – Mengakui yang Maha Esa
Tawajjuh - Memberikan penumpuan.
Tawakkal - Berserah diri sepenuhnya kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Tijaniyah – Dinisbatkan tareqat kepada Syaikh Abas Ibnu At-Tijani (1815H)
Tilawah - Pembacaan Al-Quran secara lancar.
U
Ubudiyyah – Penghambaan
Uluhiyyah - Ketuhanan
Ulul ‘Azmi - Lima Nabi yang tertinggi dan teragung darjatnya iaitu Hadhrat Nabi Nuh ‘Alaihissalam, Hadhrat Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam,Hadhrat Nabi Musa‘Alaihissalam, Hadhrat Nabi ‘Isa ‘Alaihissalam dan Hadhrat Nabi Muhammad Rasulullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Uwaisi / Uwaisiyah - Nisbat Ruhaniah secara batin dengan seseorang Ahlullah yang jauh samada yang masih hidup ataupun yang sudah mati.
Uzlah – Mengasingkan diri
W
Wajd – Kegembiraan luar biasa
Wahdah – Kesendirian Tuhan
Wahiddiyah - Ketunggalan
Wali - Seorang wakil bagi Allah Subhanahu Wa Ta’ala dari kalangan manusia.
Waqt – Masa sekarang
Wara’ - Memperbanyakkan amalan ibadah.
Warid - sesuatu yang terhasil dari amalan zikir.
Wasilah – Kedekatan dengan Allah
Wazifah - Amalan zikir yang khusus.
Wijdani - Suatu pengalaman yang dapat dirasai secara nyata.
Wilayah – Kewalian
Wirid – Sruan yang mengadung permohonan tertentu kepada Allah SWT
Wuquf - Hentian tetap.
Wuquf Qalbi- Menumpukan kepada hati dan hati menumpukan kepada Allah Ta’ala.
Wuquf ‘Adadi - Menumpukan kepada bilangan yang ganjil ketika berzikir Nafi Itsbat.
Wuquf Zamani - Menumpukan kembali ingatan kepada Allah selepas beberapa jam.
Y
Yad - Ingat, zikir.
Yad Dasyat - Zikir yang bersungguh-sungguh.
Yakin – Kepercayaan yang kukuh
Z
Zauq - Kelazatan.
Zamani - Berkaitan dengan masa.
Zat - Hakikat diri.
Zat Allah- Allah SWT dalam diriNya sendiri
Zauq - Rasa
Zihni - Kewujudan sesuatu di ruang fikiran.
Zikir - Mengingat Allah Subhanahu Wa Ta’ala.
Zikir Allah – Terdiri dari Tahmid (Al Hamdulillah), Tasbih ( Subahanallah), Takbir (Allahu Akbar), Tahlil (La Ilaha Illallah), Basmalah (Bismillahhirah manirahim), Istighfar (Astaghfirullah). Hawqalah (La hawlawala Quwata illa billah),
Zuhud - Meninggalkan kesenangan dan kelazatan Duniawi.
Zuriat - Anak-anak

ILMU TAUHID -AWALLUDDIN MAKRIFATULLAH

ILMU TAUHID -AWALLUDDIN MAKRIFATULLAH

Ilmu tauhid adalah ilmu yang penting… sangat penting… malah yang terpenting! Gagal ilmu tauhid bererti gagallah yang lain-lain. Tapi dalam dunia hari ini, pelajaran ilmu tauhid semakin terpinggir. Sebahagian besar para pendakwah sendiri mengabaikan ilmu ini dengan hanya mengambil yang asas sahaja. Mereka rasakan ‘yang asas’ itu sudah mencukupi lalu mereka tumpukan usaha mereka kepada gerak kerja dakwah. Apabila kita mendengar percakapan mereka ataupun kita membaca tulisan-tulisan mereka, barulah kita sedar yang mereka bermasalah dalam tauhid. Malangnya…. mereka sendiri tidak sedar yang tauhid mereka bermasalah. Kalau tauhid para pendakwah sendiri banyak yang bermasalah, kita yang orang awam ini bagaimana?
Tentulah lebih banyak masalahnya! Sebab itulah para ulama terdahulu sangat menekankan ilmu tauhid.

PENGENALAN AWAL
Persoalan mentajdid diri, keluarga, masyarakat dan umat sering diutarakan dalam blog-blog website. Saranan-saranan baru, saranan-saranan pemulihan dan saranan-saranan ‘meningkatkan keberkesanan’ silih berganti menghiasi muka depan tetapi hal ehwal akidah kurang disentuh. Sebahagian pelayar mungkin tertanya-tanya, mana tulisan tentang tauhid? Bukankah ia persoalan asas lagi utama?
Bukanlah niat kita untuk mengetepikan urusan teratas dalam agama ini tetapi ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang terpaksa kita teliti. Memang banyak individu dan perkumpulan yang mendakwa sedang berjuang hari ini sebenarnya masih kabur dalam persoalan akidah dan mereka tidak menyedarinya.
Sebahagiannya menyangkakan cukuplah ‘ilmu tauhid’ sebagaimana yang dihidangkan oleh orang atasan mereka.
Sebahagiannya pula ‘tertolak’ beberapa sudut penting ilmu tauhid tanpa disedari kerana menyangkakan hal itu bukan sebahagian daripada ilmu tauhid ataupun kurang penting.
Sebahagiannya lagi tidak mahu ambil tahu pun, cukup sekadar dia tahu yang Tuhannya Allah dan dia menyembah Allah selama ini. Sangkaan-sangkaan sebegini sebenarnya SANGAT BERBAHAYA menurut pandangan orang-orang yang faham.
Sebab itulah asas ilmu tauhid mesti dibereskan terlebih dahulu bersesuaian dengan ungkapan “Awwaluddin maghrifatullah”- Awal agama ialah mengenal Allah. Kalau Tuhan tidak dikenal, kepada siapa kita berabdi selama ini? Ke mana hala perjuangan kita selama ini? Kita menyembah Allah ataupun kita tersembah ‘makhluk’ yang kita sangka Allah? Ataupun kita tersembah Allah yang kita sekutukan dengan makhluk? Bagaimana kita hendak tahu dengan pasti?
“Supaya janganlah kamu menyembah (berabdi kepada) selain Allah.” (Hud: 2)
Berbicara lantang tentang hukum-hakam agama memang baik. Berjuang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan daulah juga sangat baik. Demikianlah halnya dalam memperjuangkan idea-idea jemaah, ekonomi, tajdid fiqh, dakwah, hiburan Islam, kemajuan teknologi dan lain-lain. Tapi selama ini sedarkah kita setara mana KETAUHIDAN kita kepada Khaliq? Ada yang berpendapat cukuplah dengan ‘asas’. Apakah ‘asas’ yang kita faham itu benar-benar asas untuk lulus dengan baik dalam mentauhidkan Allah ataupun ia sekadar ‘asas kepada asas’?
Tulisan di bawah disampaikan dalam gaya bahasa yang paling mudah agar dapat difahami oleh ‘orang atasan’ mahupun ‘orang bawahan’, seolah-olah berbicara saja lagaknya. Hal ini dilakukan kerana kita tidak mahu ada yang tersalah faham. Sangat besar bahayanya jika berlaku sedemikian.
Satu perkara yang sangat penting untuk kita faham ialah… contoh-contoh yang dibuat untuk menerangkan isi kandungan ilmu tauhid ini umumnya tidak ada yang tepat 100%. Hal ini berlaku kerana kita membicarakan Allah iaitu Khalik sedangkan contoh-contohnya kita ambil daripada alam makhluk. Mana mungkin contoh-contoh daripada alam makhluk dapat menceritakan hal Khalik dengan tepat 100%!
“Dan tidak ada suatu apa pun yang setara dengan-Nya.” (Al-Ikhlas : 4)
“Tiada suatu apapun yang standing dengan-Nya, dan Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy-Syura: 11)
Semoga penjelasan asas ini dapat membuka minda kita bersama.

PENGENALAN KEDUA
Ilmu tauhid adalah ilmu yang penting… sangat penting… malah yang terpenting! Gagal ilmu tauhid bererti gagallah yang lain-lain. Tapi dalam dunia hari ini, pelajaran ilmu tauhid semakin terpinggir. Sebahagian besar para pendakwah sendiri mengabaikan ilmu ini dengan hanya mengambil yang asas sahaja. Mereka rasakan ‘yang asas’ itu sudah mencukupi lalu mereka tumpukan usaha mereka kepada gerak kerja dakwah. Apabila kita mendengar percakapan mereka ataupun kita membaca tulisan-tulisan mereka, barulah kita sedar yang mereka bermasalah dalam tauhid. Malangnya…. mereka sendiri tidak sedar yang tauhid mereka bermasalah. Kalau tauhid para pendakwah sendiri banyak yang bermasalah, kita yang orang awam ini bagaimana?
Tentulah lebih banyak masalahnya!
Sebab itulah para ulama terdahulu sangat menekankan ilmu tauhid. Kata mereka, “Awaluddin maghrifatullah”- Awal agama ialah mengenal Allah. Permulaan agama ialah dengan mengenal Allah.
Ilmu-ilmu yang utama dalam agama Islam ini ada tiga iaitu
ilmu tauhid,
ilmu fiqh dan
ilmu tasauf.
Ringkasnya tauhid-fiqh-tasauf. Setiap satunya ada beberapa nama lain. Contohnya, ada orang sebut ilmu kalam, ilmu syariat dan ilmu akhlak. Banyak nama tapi sebenarnya menceritakan benda yang sama. Jadi, tak perlulah kita berbahas tentang nama ataupun istilah, nanti akan membuang masa.
Ketiga-tiga ilmu ini tidak boleh dipisahkan. Semua orang mesti berusaha untuk belajar dan memahami ketiga-tiganya setakat yang termampu. Kita tidak boleh ‘ambil dua tolak satu’. Kita juga tentulah lebih tidak boleh ‘ambil satu tolak dua’. Ketiga-tiganya umpama batu tungku yang digunakan untuk melapik kawah.
Bolehkah kawah diletakkan di atas dua tungku sahaja? Jawapannya ‘tidak boleh’, ataupun lebih tepat lagi ‘hampir-hampir mustahil” boleh.
Kalau satu tungku? Lagilah tak boleh! Akan terbaliklah kawah.
Samalah misalannya dalam hal menembak musuh. Untuk menembak musuh dengan senapang, mestilah ada tiga perkara utama iaitu tukang tembak (manusia), senapang dan peluru. Seandainya tidak ada salah satu perkara di atas, perlakuan ‘menembak musuh’ tidak akan berlaku.
Ada manusia ada senapang tapi tak ada peluru. Boleh tembak? Tak boleh.
Ada manusia ada peluru, tak ada senapang. Boleh tembak? Tak boleh juga.
Ada senapang ada peluru tapi tak ada manusia. Boleh tembak? Tak boleh juga.
Ketiga-tiganya mesti ada untuk membolehkan perlakuan ‘menembak musuh’ berlaku.
Tapi orang sekarang ni pandai. Dia kata ‘ada peluru ada senapang tapi tak ada manusia” boleh tembak. Macam mana? Kita programkan senapang tu guna komputer. Apabila komputer berjaya mengesan penceroboh, secara automatik senapang akan mencari sasaran dan melepaskan peluru!
Memang betul, tapi kita kena tanya balik- yang programkan komputer tu siapa dia? Bukankah manusia juga?
Jadi, tetap mesti kena ada ketiga-tiganya baru senapang tadi boleh menembak.
Kita bagi contoh lagi, supaya faham betul-betul.
Untuk suap makanan ke mulut, kena ada sekurang-kurangnya tiga perkara utama. Satu- makanan. Dua- tangan. Tiga- mulut.
Katakanlah ada makanan ada tangan, tapi tak ada mulut. Macam mana? Ke mana makanan nak dihalakan? Kalau makanan itu dihalakan ke ketiak, ia tidak dinamakan suap. Kalau makanan itu dihalakan ke pusat, ia juga tidak dinamakan suap. Kalau makanan itu disumbatkan ke telinga, adakah kita sebut ‘suap”? Tidak kan?. Ia dinamakan ‘suap’ apabila makanan tadi dihalakan ke mulut. Selain itu tidaklah dinamakan ‘suap’. OK?
Baik. Ada makanan ada mulut tapi tak ada tangan. Jadi tak ‘suap’? Tidak.
Ada tangan ada mulut… tak ada makanan. ‘Suap’ ke tu? Tak jugak.
Kesimpulannya, untuk ‘suap’… mesti ada ketiga-tiganya sekali iaitu makanan, tangan dan mulut.
Tauhid ialah tahu, kenal dan faham Tuhan. Fiqh ialah cara-cara berabdi ataupun beribadah kepada Tuhan. Tasauf pula ialah pemurnian kepada tauhid dan fiqh tadi, untuk mencantikkan lagi tauhid dan fiqh.
Contohnya- orang hendak menjala ikan.
Sebelum kita pergi menjala ikan kita kenalah tahu, kenal dan faham yang mana jala dan yang mana tempat ada ikan. Jangan pula nanti kita bawa cangkul ataupun joran ataupun senapang untuk menjala ikan. Ataupun kita pergi menjala di kolam renang, kolah bilik air, kubang kerbau dan sebagainya. Untuk itu kita kena belajar yang mana jala dan tempat mana ada ikan yang boleh dijala. Inilah tauhid ataupun usuluddin. Disebut juga ilmu usul dalam agama.
Setelah kita tahu apa itu jala dan di mana ada ikan, kenalah ada CARA-CARA menangkap ikan menggunakan jala. Cara-cara inilah yang kita katakan fiqh ataupun syariat. Kita belajar pula cara menjala.
Ada orang lempar jala yang kembangnya berbentuk bujur. Ada yang tak terkembang. Ada yang bentuk huruf lapan. Ada yang bulat cantik kembangnya. Dengan itu kenalah belajar pula pemurnian untuk mencantikan lagi kembang jala itu. Ini dinamakan tasauf.
Apabila ketiga-tiga ilmu ini dipelajari dan dikuasai, barulah boleh mendapat ikan, barulah mudah mendapat ikan.
MAKSUD ILMU TAUHID
Kita masuk kepada definisi ataupun takrif ilmu tauhid.
Apakah ilmu tauhid? Banyak takrif yang dibuat oleh para ulama. Ada yang sebut Ilmu Kalam, ada yang sebut Ilmu Usuluddin, ada yang sebut Ilmu Aqa’idul Iman dan sebagainya. Masalahnya… yang mana satu yang lebih mudah untuk difaham oleh orang awam macam kita. Jadi saya rumuskan satu takrif yang saya rasa paling mudah difaham oleh kita iaitu…
ilmu tauhid ialah ilmu untuk tahu, ilmu untuk kenal dan ilmu untuk faham Tuhan.
“Permudahkanlah, jangan menyulitkan.”
Apakah ilmu tauhid?
Ilmu untuk tahu, kenal dan faham Tuhan. Itulah ilmu tauhid.
Mengapa kita mesti belajar ilmu tauhid?
Supaya kita dapat tahu, faham dan kenal Tuhan.
Apa tujuan belajar ilmu tauhid?
Tujuannya untuk kita tahu Tuhan, kenal Tuhan, faham Tuhan.
Apa akan jadi kalau kita tidak belajar ilmu tauhid?
Kemungkinan besar kita tidak tahu Tuhan, tidak kenal Tuhan dan tidak faham Tuhan.
Apa risikonya jika kita tidak tahu, tidak kenal dan tidak faham Tuhan?
Risikonya- kemungkinan besar segala amal ibadah kita tidak diterima oleh Tuhan. Hal ini terjadi kerana kita tersalah sembah! Salah sembah, sia-sialah amal ibadah kita.
“Berapa banyak orang yang berdiri (mengerjakan solat sedangkan) daripada solat itu (mereka mendapat) hanya penat dan lelah.” (An-Nasa’i & Ahmad)
“Berapa banyak orang yang berpuasa (sedangkan) daripada puasanya itu (mereka mendapat) hanya lapar dan dahaga.” (An-Nasa’i & Ibnu Majah)
BEZA ANTARA TAHU, KENAL DAN FAHAM
Apa beza antara ‘tahu Tuhan’, ‘kenal Tuhan’ dan ‘faham Tuhan’?
Mula-mula kita kena faham maksud tahu, kenal dan faham dulu. Ketiga-tiganya berbeza. Kenal lebih tinggi daripada tahu, dan faham adalah lebih tinggi daripada kenal. Yang paling atas ialah faham, kemudian kenal dan kemudian barulah tahu.
Biasanya disebut ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin. Ada juga yang menambah kepada satu tingkat lagi iaitu kamal yaqin.
Contoh.
Seorang pelancong dari Barat yang datang ke Malaysia diberitahu tentang sambal tumis ikan bilis. Sebelum ini dia tidak pernah dengar pun masakan bernama ‘sambal tumis ikan bilis’. Ketika diberitahu, itulah kali pertama dia TAHU adanya masakan yang disebut ‘sambal tumis ikan bilis’.
Ilmu peringkat ini dinamakan ilmu peringkat TAHU ataupun ILMU YAQIN - tahu cerita tetapi tidak pernah melihat dan belum pernah merasa.
Kemudian si pelancong diajak makan tengah hari mengikut hidangan orang-orang Melayu. Dalam hidangan itu ada sambal tumis ikan bilis. Orang tempatan menunjukkan kepadanya, “This is sambal tumis ikan bilis”. Itulah kali pertama si pelancong melihat sambal tumis ikan bilis. Dilihatnya sebagai sejenis masakan lauk berkuah, berwarna merah dan ada ikan-ikan kecil di dalamnya.
Ilmu peringkat ini dinamakan ilmu peringkat KENAL ataupun AINUL YAQIN- tahu cerita dan sudah melihat tetapi belum merasa.
Seterusnya si pelancong dipersilakan menjamah hidangan bersama sambal tumis ikan bilis. Barulah dirasanya pedas, manis, masin, lemak, masam dan lain-lain adunan rasa sambal tumis petai itu. Itulah sambal tumis sebenar.
Ketika ini ilmunya berada di peringkat FAHAM ataupun disebut HAQQUL YAQIN- sudah tahu cerita, sudah disaksikan dan sudah dirasa/ dialami.
Contoh kedua…
Datang beberapa orang beritahu kepada kita ada pokok tumbang merentang jalan raya. Kita hanya tahu ada pokok tumbang daripada cerita mereka dan kita belum melihat pokok tumbang itu. Ilmu peringkat ini adalah ilmu peringkat TAHU ataupun ILMU YAQIN sahaja.
Kemudian kita pergi melihat pokok yang tumbang itu. Memang betullah ada sebatang pokok besar tumbang merentang jalan raya, kita lihat dengan mata sendiri. Ilmu peringkat ini adalah ilmu peringkat KENAL ataupun AINUL YAQIN sahaja, sudah melihat tapi belum tahu hal ehwal ketumbangan pokok itu.
Kemudian kita menyelidik perihal pokok tumbang itu hingga kita faham bagaimana ia boleh tumbang, bila ia tumbang, apa yang menyebabkannya tumbang, apa akibat daripada tumbangnya itu, benarkah ia tumbang dan lain-lain. Ketika ini ilmu kita adalah di peringkat FAHAM ataupun HAQQUL YAQIN.
Contoh ketiga…
Para sahabat berdakwah hingga ke negara China. Mereka perkenalkan Tuhan kepada orang-orang China- “Tuhan kita ada satu sahaja iaitu Allah”. Ada orang-orang China yang percaya. Ketika ini iman mereka adalah di peringkat TAHU ataupun ILMU YAQIN sahaja. Mereka baru tahu Siapa yang sepatutnya disembah tetapi belum tahu bagaimana keadaan Yang Disembah itu.
Orang yang belajar ilmu Tauhid Uluhiyyah dan Tauhid Rubbubiyyah sahaja biasanya sampai ke peringkat ini.
Kemudian orang-orang China tadi belajar hingga mereka tahu keadaan Yang Disembah itu. Mereka tahu Allah itu sedia ada sejak awal, tidak boleh mati, tidak terpengaruh dengan warna, ruang, arah, bentuk dan tempat, menguasai segala-galanya, tidak sama dengan makhluk, menciptakan syurga dan neraka, mencipta semua makhluk, memberi wahyu dan sebagainya. Mereka juga tahu sifat-sifat yang mustahil bagi Allah. Iman peringkat ini adalah iman peringkat KENAL ataupun AINUL YAQIN. Melalui kajian ataupun pembelajaran mereka, mereka sudah menyaksikan bukti-bukti tentang Yang Disembah itu tetapi belum ‘MENYAKSIKAN’ Yang Disembah itu sendiri. Peringkat ini dinamakan FAHAM ataupun HAQQUL YAQIN.
(* Perkataan ‘MENYAKSIKAN’ Yang Disembah dalam ayat tadi adalah istilah sufi yang tidak dapat dihurai dengan perkataan. Ia tidaklah sama dengan perkataan ‘menyaksikan’ sebagaimana yang biasa kita guna. Harap maklum)
Orang yang belajar Tauhid Sifat 20 biasanya sampai ke peringkat ini.
Peringkat seterusnya, mereka yang dikurniakan kebolehan oleh Allah dapat pula ‘MENYAKSIKAN’ Allah, ataupun ‘MEMANDANG WAJAH ALLAH’ ataupun ‘MERASAI SENDIRI’ Allah. Inilah yang dikatakan beriman kepada Allah hingga ke tahap Haqqul Yaqin.
(* Perkataan-perkataan berhuruf besar adalah istilah sufi yang tidak dapat dihurai dengan perkataan melainkan pemahaman. Maksud perkataan-perkataan itu tidaklah sama dengan maksud perkataan-perkataan yang biasa kita gunakan)
Orang yang belajar ilmu tasauf atau ilmu hakikat BOLEH mencapai peringkat ini.
Sebab itu ada ungkapan berbunyi:
Ahli fiqh menemui Allah dengan jalan mengkaji dalil-dalil al-Quran.
Ahli ilmu kalam menemui Allah dengan jalan berfikir
Dan ahli tasauf menemui Allah dengan jalan ‘MERASA SENDIRI’.
Manakah yang terbaik?
Yang terbaik ialah yang mengambil ketiga-tiga jalan dan menguasai ketiga-tiganya.
Jadi, dengan penerangan ringkas lagi dhaif itu tadi, diharap dapatlah memahamkan para pembaca akan perbezaan antara tahu, kenal dan faham. Seterusnya dapat pula memahamkan pembaca akan perbezaan antara ilmu yaqin, ainul yaqin dan haqqul yaqin.

BAHAYA JIKA TIDAK MENGENAL ALLAH
Penduduk sebuah kampung hendak mengadakan kenduri. Mereka bercadang untuk menyembelih empat ekor kerbau. Masalahnya, kerbau-kerbau itu dilepaskan hidup secara liar di dalam hutan. Beratus ekor tinggal di hutan itu. Pendek kata, masuk-masuk hutan saja akan terus terjumpa kerbau. Mereka bersepakat mengerahkan empat orang pemuda yang diajar menggunakan senapang berpeluru pelali untuk mendapatkan kerbau-kerbau itu. Keempat-empat pemuda ini dberi masa dua puluh empat jam sahaja. Siapa yang paling awal berjaya melalikan kerbau, akan dapat hadiah istimewa.
Pemuda A mengambil senapang lalu terus pergi entah ke mana dalam keadaan dia tidak tahupun binatang apa yang penduduk kampung mahu, di mana lokasinya dan bagaimana sifat-sifatnya serta apa sifat-sifat yang mustahil bagi seekor kerbau. Dapatkah dia membawa pulang kerbau yang dimaksudkan? 99.99% pasti dia tidak akan dapat kerbau kerana dia tidak tahu pun binatang apa yang dimaksudkan oleh penduduk kampung. Setelah sehari semalam berjalan baru dia terperasan, “Eh, orang kampung suruh aku tembak binatang apa ya?”
Rakannya Pemuda B tahu penduduk kampung mahukan seekor binatang bernama kerbau dan dia tahu binatang itu tinggal liar di dalam hutan. Masalahnya, dia tidak pernah melihat, tidak pernah tahu dan tidak pernah belajar bagaimana rupa dan sifat-sifat kerbau. Yang dia tahu, ada binatang bernama kerbau dan binatang itu tinggal di dalam hutan. Itu saja. Ada kemungkinan tak dia akan dapat menembak kerbau? Besar kemungkinan tidak kerana dia tidak pernah tahu kerbau itu bagaimana. Boleh jadi dia akan menembak ayam hutan, ular sawa, rusa, monyet , babi dan sebagainya yang disangkakannya kerbau.
Ini ilmu peringkat TAHU.
Pemuda C pula, walaupun tidak pernah melihat kerbau tetapi ada belajar tentang sifat-sifat kerbau. Diketahuinya kerbau itu berkaki empat, bersuara menguak, mendengar dan bertelinga, bertanduk, biasanya berwarna kelabu, suka berkubang, badannya besar, bentuknya macam lembu, melihat dan matanya besar, ada ekor dan sebagainya. Sifat-sifat mustahil bagi kerbau pun diketahuinya iaitu mustahil rupa kerbau itu seperti kucing, mustahil bersuara seperti manusia, mustahil boleh terbang, mustahil boleh memanjat pokok, mustahil berdiri di atas satu kaki dan sebagainya. Bagaimana? Ada kemungkinan tak Pemuda C akan memperolehi seekor kerbau? Ya, tentu. Kemungkinan besar dia akan menembak kerbau dan bukannya binatang-binatang lain.
Ini ilmu peringkat KENAL.
Pemuda D pula sudah ‘menyaksikan’ kerbau sedari kecil. Dia sendiri membela beberapa ekor kerbau di rumahnya. Setiap hari dia ‘berinteraksi’ dengan kerbau-kerbaunya. Dimandikannya, diberus badan, ditunggangnya di sawah, diubatnya jika ada penyakit ataupun tercedera, dipeluk dan sebagainya. Ariflah dia akan hal ehwal hamba Allah yang bernama kerbau itu. Bagaimana? Ada kemungkinankah dia mendapat seekor kerbau di hutan itu? Pasti! Pasti jika tiada apa-apa aral lain yang melintang. Betul tak?
Ini ilmu peringkat FAHAM ataupun MENYAKSIKAN.
Ringkasnya:
Pemuda A pasti tidak dapat kerbau.
Pemuda B kemungkinan besar tidak dapat kerbau.
Pemuda C kemungkinan besar dapat kerbau.
Pemuda D pasti dapat kerbau.
Contoh ini kita hendak gunakan untuk memahami betapa pentingnya tahu Allah, kenal Allah dan faham Allah.
Pemuda Alif tidak tahu apa itu ‘Tuhan’, tidak tahupun Tuhan itu memang wujud. Adakah dia menyembah Tuhan selama hari ini? Pasti dia tidak menyembah Tuhan bahkan tidak menyembah apa-apa, sebab dia tidak tahupun yang Tuhan itu memang wujud. Sampai bila-bila pun dia tidak akan mendapat Allah. Samalah seperti Pemuda A tadi. Sampai bila-bila pun dia tidak akan mendapat kerbau kecualilah dia belajar tentang kerbau ataupun menyaksikan sendiri rupa kerbau.
Inilah risiko yang dihadapi oleh mereka yang tidak pernah ambil tahu tentang Tuhan, tidak pernah belajar agama kerana mereka tidak pernah TAHU, KENAL dan FAHAM Tuhan.
Pemuda Ba pula tahu Tuhan itu ada dan nama bagi Tuhan ialah Allah. Itu saja yang diketahuinya. Dia tidak tahupun sifat-sifat Tuhan ada tidak tahu juga sifat-sifat yang mustahil bagi Tuhan. Adakah B menyembah Allah selama hari ini? Belum tentu! Ada kemungkinan dia tersembah selain daripada Allah yang disangkakannya sebagai Tuhan. Samalah nasibnya macam Pemuda B tadi yang mngkin tertembak ayam hutan, ular sawa, rusa, monyet , babi dan sebagainya yang disangkakannya kerbau. Hal inilah yang kita takut!
Inilah risiko yang dihadapi oleh mereka yang belajar setakat Tauhid Rubbubiyyah dan Tauhid Uluhiyyah sahaja. Mereka hanya tahu ‘Tuhan itu ada” dan ‘Tuhan yang sebenar ialah Allah”. Itu saja. Mereka tidak tahu apa sifat-sifat Tuhan dan apa sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya, ringkasnya mereka tidak belajar Sifat 20 ataupun ilmu yang setara dengannya. Ada kemungkinan mereka akan tersembah selain Allah, sama ada tersembah makhluk ataupun tersembah Allah yang bercampur dengan makhluk.
Ringkasnya, boleh jadi mereka tidak mengEsakan Allah yang menjadikan tauhid mereka rosak. Ini kerana mereka TIDAK KENAL dan TIDAK FAHAM Tuhan, hanya setakat TAHU Tuhan sahaja.
Pemuda Ta tahu Tuhan itu ada dan nama bagi Tuhan ialah Allah, sama seperti Pemuda Ba. Selain itu dia juga pernah belajar dan faham Allah itu bagaimana. Diketahuinya apa sifat-sifat bagi Allah dan apa sifat-sifat yang msutahil bagi Allah. Ringkasnya, dia belajar dan khatam ilmu Sifat 20 ataupun yang setara dengannya. Adakah dia menyembah Allah selama hari ini? Ya, kemungkinan besar dia menyembah Allah, iaitu Tuhan yang sebenar. Sangat kecil risikonya untuk dia tersembah selain daripada Allah. Samalah seperti Pemuda C tadi. Hampir-hampir mustahil Pemuda C akan tertembak selain daripada kerbau. Hampir-hampir mustahil juga Pemuda Ta akan tersembah selain daripada Allah, sama ada tersembah makhluk ataupun tersembah Allah yang bersekutu dengan makhluk.
Orang jenis ini ialah mereka yang sudah menguasai ilmu Sifat 20 ataupun yang setara dengannya. Ringkasnya, tauhid orang yang menguasai Sifat 20 adalah lebih selamat daripada tauhid mereka yang belajar Tauhid Uluhiyyah sahaja. Ini kerana mereka sudah TAHU dan KENAL Tuhan, c uma belum MENYAKSIKAN-NYA (FAHAM) saja lagi.
Pemuda Tha seorang yang ‘ahli’ dalam tasauf dan Ilmu Hakikat. Dia ‘menyaksikan’ sendiri Allah. Adakah dia menyembah Allah selama hari ini? Pasti! Ada kemungkinankah dia tersembah selain daripada Allah? Mustahil! Samalah seperti mustahilnya Pemuda D tersalah tembak selain daripada kerbau. Setiap hari dia bergelumang dengan kerbau, mustahil dia akan sengaja menembak tupai, beruang, kumbang, kala jengking, landak dan sebagainya yang disangkakannya kerbau.
Orang jenis ini ialah mereka yang sudah menguasai Ilmu Hakikat (kita tidak maksudkan ilmu hakikat yang sesat). Mereka TAHU, KENAL dan FAHAM (menyaksikan) Tuhan. Ini peringkat paling selamat.
Kita beri contoh lagi supaya betul-betul faham.
Empat pemuda Orang Asli hendak pergi berburu ke sebuah lembah. Tok Batin maklumkan kepada mereka bahawa di lembah itu ada tuhan mereka iaitu sebatang pokok cengal daripada sepuluh batang pokok cengal. Pokok cengal yang menjadi tuhan mereka itu ialah pokok cengal yang paling tua sekali. Sesiapa yang pergi ke sana mestilah menyembah dan sujud sebanyak tujuh kali kepada tuhan mereka itu.
Pemuda pertama datang lewat dan tidak sempat mendengar penerangan Tok Batin. Apabila dia tiba di lembah itu, adakah dia akan menyembah apa-apa? Tentu tidak sebab dia tidak tahupun di lembah itu ada tuhan mereka dan tuhan mereka itu ialah pokok cengal yang paling tua. Pemuda ini TIDAK TAHU, TIDAK KENAL dan TIDAK FAHAM,.
Pemuda kedua tahu di lembah itu ada tuhan mereka dan tuhan mereka itu ialah pokok cengal yang paling tua. Malangnya dia tidak tahu yang mana satu pokok cengal, apakah sifat-sifat pokok cengal dan apakah sifat-sifat yang mustahil bagi pokok cengal. Apabila dia tiba di lembah itu, pastikah dia bersujud kepada tuhan mereka iaitu pokok cengal yang paling tua? Besar kemungkinannya dia akan bersujud kepada selain pokok cengal. Jika dia bersujud kepada pokok cengal pun, kemungkinan besar dia sujud kepada pokok cengal yang bukan tuhan mereka.
Pemuda ini sekadar tahu tuhan mereka ada dan tuhan mereka ialah pokok cengal yang tertua di lembah itu. Samalah dengan orang yang belajar Tauhid Uluhiyyah- dia tahu Tuhan itu ada dan Tuhan yang sebenar ialah Tuhan yang Ilah iaitu Allah. Ini ilmu peringkat TAHU.
Pemuda ketiga tidak pernah melihat pokok cengal, namun begitu dia pernah belajar sifat-sifat pokok cengal dan sifat-sifat yang mustahil bagi pokok cengal. Oleh kerana dia tahu sifat-sifat pokok cengal, tahulah dia bagaimana keadaan pokok yang lebih muda dan keadaan pokok yang lebih tua. Sampai di lembah itu, berjayakah dia bersujud kepada tuhan mereka iaitu pokok cengal yang paling tua? Kemungkinan besar dia akan berjaya.
Pemuda ini tahu membezakan antara Tuhan yang sebenar dengan yang lain. Samalah dengan orang yang belajar dan menguasai Sifat 20 ataupun ilmu yang setara dengannya. Ini ilmu peringkat KENAL.
Pemuda keempat pula sudah menyaksikan sendiri pokok cengal tertua yang menjadi tuhan mereka itu. Setiap hari dia melalui lembah itu untuk mencari madu dan petai. Dapatkah dia bersujud kepada tuhan mereka? Sudah tentu! Adakah dia akan tersilap sembah dengan bersujud kepada pokok-pokok lain? Mustahil. Ini ilmu peringkat FAHAM atau MENYAKSIKAN.