Sabtu, November 23

Wahai Pencari, Berhijrahlah


Jika pohon punya sayap atau kaki,
tentulah ia bisa bergerak,
sehingga tak diterimanya sakit dari mata gergaji
atau dari pukulan kampak.

Dan jika matahari tak bergegas ketika

malam tiba, bagaimanakah bumi akan diterangi
ketika fajar merekah.


Dan jika air tidak menguap dari laut ke langit, 

kapankah taman akan dialiri sungai
dan dibasahi hujan.

Ketika setitik benih bergerak dari sumbernya

ke tujuan, ditemukannya rumahnya, dan
lalu menjadi sebutir mutiara.

Bukankah Yusuf, walau sambil berlinang air-mata,

mengembara meninggalkan ayahnya.
Bukankah dalam pengembaraan itu,
dia menemukan kerajaan, ketenaran dan kemenangan?

Bukankah Mustapha berhijrah,

dan di Madinah memperoleh kedaulatan,
dan menjadi tuan dari berbagai negeri?

Kalaupun kaki tak engkau miliki,

tempuhlah hijrah di dalam dirimu sendiri,
(Itu) bagaikan tambang merah-delima mulai
tersingkap oleh secercah cahaya matahari.

Wahai pencari, berhijrahlah,

keluar dari kampung halamanmu, menuju
ke kedalaman dirimu sendiri.

Karena dengan hijrah seperti itu,

bumi menjadi tambang emas.

Dari yang semula masam dan pahit,

berkembanglah menjadi sesuatu yang manis.

Bahkan dari tanah yang tandus,

tumbuh berbagai jenis buah-buahan.

Lihatlah kejaiban ini,

yang tergelar di bawah matahari kebanggaan Tabriz.
Karena semua pohon mendapatkan keindahannya
dari cahaya matahari.

Syarah (12)

Bab yang menjelaskan perihal Ibadah Hajji

Ibadah Hajji dan Umrah adalah wajib bagi setiap orang yang mukallaf (Islam dan Dewasa) dan mustati’ yakni mampu untuk melaksanakan keduanya itu, dalam seumur hidupnya satu kali.
Maksudnya mampu disini yaitu ;
1. Memiliki biaya untuk pergi ke Mekkah dan biaya hidup disana serta memiliki biaya yang cukup untuk pulang kembali ke negerinya.
2. Biaya yang dipakai itu bukan dari hutang.
3. Ada nafkah yang cukup untuk keluarganya yang ditinggalkan selama ia pergi hingga sekembalinya.
4. Kuasa untuk melakukan perjalanan ke Mekkah.
5. Tidak ada halangan besar pada perjalanannya itu (mis.ada perang teluk dsb).

Jika lengkap syarat-syarat tersebut, maka itu dinamakan mustati’ dan wajiblah atasnya untuk pergi melakukan ibadah itu.
Adapun jika tidak lengkap padanya akan syarat-syarat yang tersebut, maka tidaklah wajib atasnya melakukan Ibadah Hajji dan Umrah, malahan kepadanya akan menjadi dosa jika ia melakukan kesusahan atas dirinya dan keluarganya, misalnya seperti menanggung hutang atau menyusahkan keluarganya yang ditinggalkan karena kekurangan nafkah.

Ibadah Hajji Bagi Seorang Perempuan:
Jikalau yang hendak melakukan Ibadah Hajji itu perempuan maka dibutuhkan biaya yang lebih besar, karena harus menyewa kamar atau pemondokan yang tidak dapat bercampur dengan laki-laki ijnabi, dan mesti ada mahramnya (orang yang tidak haram atasnya) atau bersama-sama dengan suaminya menunaikan Ibadah Hajji itu.
Maka apabila tidak dengan sebagaimana yang tersebut diatas, Haram hukumnya seorang perempuan menunaikan Ibadah Hajji itu, apalagi jika sampai meninggalkan Shalat (sama saja laki-laki atau perempuan), maka adalah rugi yang teramat besar.
Berkata sebahagian besar ulama bahwa, Pahala seribu kali Ibadah Hajji tidak akan cukup untuk menutupi dosa meninggalkan satu Shalat Fardhu.

Adapun prihal segala amalan-amalan Ibadah Hajji dan Umrah, baik itu rukun-rukun dan syarat-syaratnya serta tata cara berziarah ke makam Rasullullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, dan perihal qiblat dan segala Shalat Qashar Jama’, maka sekalian yang demikian itu telah diuraikan di dalam kitab Manasik Hajji, yang kami buat beserta segala do’a-do’a yang ada di dalamnya secara lengkap dan sempurna.
Maka tidak dijelaskan yang demikian itu pada kitab ini.


Pasal Ke limapuluh delapan
Idh-hiyyah atau Qurban

Idh-hiyyah atau yang biasa disebut qurban hukumnya Sunnah Muakkadah (sunnah-sunnah yang dianjurkan), waktunya adalah dari setelah selesai Shalat Idhul Adha hingga tanggal 13 bulan Zulhijjah.

Binatang yang Sah dibuat idh-hiyyah (qurban) adalah:
1. Unta, Sah dibuat Idh-hiyyah unta yang telah berumur 5 tahun atau lebih.
2. Lembu (sapi) atau kerbau; Sah dibuat Idh-hiyyah yang telah berumur 2 tahun atau lebih.
3. Kambing; Jika kambing ma’jun atau kambing jawa yang telah berumur 2 tahun atau lebih.
Jika kambing Kibas atau do’an maka yang telah berumur 1 tahun atau lebih.
Jika kambing itu sudah kupak (sudah bertumbuh gigi dengan lengkap) walaupun belum cukup umurnya 1 tahun maka sah dibuat idh-hiyyah.

Syarat-syarat binatang/hewan yang di jadikan idh-hiyyah:
1. Janganlah binatang itu terlalu kurus.
2. Jangan yang kuring atau ompong sekalian giginya.
3. Jangan yang terpotong kupingnya atau ekornya atau buta matanya atau bermata sebelah.
Keafdhalan hewan yang di jadikan idh-hiyyah adalah sbb:
1. Jenis hewannya yang paling afdhal adalah Unta, kemudian Lembu (sapi) atau kerbau, Kambing Kibas, Kambing Jawa
2. Warna bulu atau kulit binatang yang dijadikan idh-hiyyah afdhalnya adalah berbulu putih, kemudian berbulu kuning, berbulu Dauk (abu-abu), berbulu merah, berbulu belang (campur) dan berbulu hitam
3. Bertanduk lebih afdhal daripada yang tidak bertanduk.
4. Jenis kelaminnya, lebih afdhal jantan daripada betina.

Adapun seekor daripada Unta, lembu (sapi) atau Kerbau, maka boleh untuk Idh-hiyyah sendiri (seorang) atau boleh juga untuk 7 orang, sedangkan seekor kambing hanya diperbolehkan untuk satu orang.

Wajib niat pada saat menyembelih hewan, dan sunnahnya berlafaz: “sahajaku membuat sunnah idh-hiyyah” bagiku atau bagi si fulan jika ia wakil daripadanya.

Dan sunnah membaca do’a dibawah ini pada saat menyembelih hewan:

بِسْـمِ اللهِ، اَللهُ أَكْبَرُ، أَللَّهُـمَّ هَذَا مِنْكَ وَإِلَيْكَ فَتَقَبَّلَهَا مِنِّى يَا كَرِيْمُ.

Artinya:
Dengan Nama Allah, Allah yang Maha Besar. Ya Allah Tuhanku, ini qurban daripada Engkau dan kembali pada Engkau maka kabulkanlah wahai Tuhan yang Maha Murah.

Dan wajib memberi sedekah sedikit daging daripada idh-hiyyah itu daging yang mentah, dan tidak boleh dijual akan sesuatu daripadanya sekalipun kulitnya.

Sunnah membagi daging itu menjadi 3 bagian, dimana:
1. satu bagian di sedekahkan kepada fakir miskin.
2. satu bagian untuk dihadiahkan kepada sahabat dan handai taulan
3. satu bagian lagi untuk makan keluarganya.


Pasal Ke limapuluh sembilan
Prihal Sunnah ‘Aqiqah

Sunnah hukumnya bilamana seorang ayah membuat ‘Aqiqah bagi anaknya pada lingkup waktu antara anaknya itu berumur 60 hari dari semenjak anak tersebut dilahirkan.
Juga sunnah bagi seorang ayah membuat ‘Aqiqah itu dari semenjak anaknya dilahirkan hingga anak itu balligh.
Jika Ayahnya tidak mampu untuk meng-‘aqiqahkan anaknya, maka sunnah bagi ibunya membuatkannya jika ia mampu, atau orang lain yang melakukannya dengan seizin ayah atau ibunya.
Hewan yang sah dibuat ‘Aqiqah sama halnya dengan hewan yang sah dibuat ‘Idh-hiyyah. Dengan segala syarat-syaratnya, wajibnya dan sunnah-sunnahnya.

Afdhalnya menyembelih hewan ‘Aqiqah adalah pada hari ke 7 (tujuh) dari anak tersebut dilahirkan, jika tidak maka pada hari yang ke 14 (empatbelas), jika tidak maka pada hari ke 21 (duapuluh satu).

Sunnah-sunnah dalam ‘Aqiqah:
1. Sunnah mencukur rambut bayi itu pada hari menyembelih hewan ‘aqiqah.
2. Sunnah menimbang rambut bayi itu, dan berat rambutnya di nilai dengan emas atau perak, dan senilai emas atau perak itu disedekahkan kepada fakir miskin.
3. Sunnah memberi nama akan bayi itu dengan nama yang baik, maka afdholnya jika laki-laki menggunakan nama: Abdullah, Abdul Rahman atau seumpamanya. Muhammad, Ahmad atau seumpamanya. Maka yang tersebut itu lebih afdhal dari lainnya.
4. Sunnah di cicipkan pada lidah bayi itu dengan sedikit kurma atau lainnya yang manis-manis.
5. Sunnah diberikan akan paha belakang daripada kambing ‘aqiqah itu kepada dukun beranak yang membantu.
6. Sunnah dimasak daging ‘Aqiqah itu dengan campuran sedikit gula dan dihadiahkan kepada fakir miskin dan kepada sahabat serta handai taulan dan buat makan di rumah. Ulama mengatakan campuran manis itu akan menjadi manis juga perangai anak itu, yakni menjadi baik budi bahasanya dengan taqdir Allah Ta’ala.


Pasal Ke enampuluh
Penutup

وَالصَّلاَةُ وَالسَّلاَمُ عَلَىسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَاصَّحْابِهِ اَجْمَعِيْنَ. سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُوْنَ، وَالسَّلاَمٌ عَلَى الْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.

Di bawah ini adalah do’a dan tasbih yang dinaqol dari kitab “maslikul akhyar”, maka hendaklah dibaca bila hendak mengaji (menuntut ilmu) ilmu syar’I, Insya Allah faedahnya lekas dapat dan faham:

اَللَّـهُمَّ افْتَحْ لَنَاحِكْمَتَكَ وَانْشُرْ عَلَيْنَا رَحْمَتَكَ يَا ذَالْجَلاَ لِ وَ اْلإِكْرَامِ.

Artinya:
Ya Allah Tuhanku, bukakan bagi kami Ilmu daripada Engkau, dan hamburkan atas kami wahai yang mempunyai Kebesaran dan Kemulyaan.

Dibawah ini tasbihnya, maka hendaklah dibaca setiap habis mengaji, Insya Allah faedahnya apa yang sudah di dapat maka tidak akan lupa dan yang belum dapat akan lebih mudah untuk mendapatkannya:

سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُ ِللهِ وَ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ
عَدَدَ كُلِّ حَرْفٍٍ كُتِبَ أَوْ يُكْتَبَ اَبَدَ اْلآبِدِيْنَ وَ دَهْرَءَ الدَاهِرِيْنَ
Artinya:
Mahasuci Allah dan segala Puji bagi Allah dan tiada Tuhan yang disembah hanya Allah dan Tuhan yang Maha Besar, sebilangan tiap-tiap huruf telah tertulis atau lagi akan tertulis selama-lamanya, artinya bertahun-tahun lamanya.

Syarah (11)

Bab yang menjelaskan prihal Puasa


Pasal Ke limapuluh satu
Menentukan Awal Puasa

Disini akan disebut segala sebab-sebab yang mewajibkan melakukan puasa Ramadhan:
Ru’yatul Hilal:
Maka adalah:
* Setiap orang yang melihat bulan dengan matanya sendiri, maka wajib atasnya berpuasa, walaupun Sabit Ru’yah (terlihat bulan sabit) malam itu atau tidak. Begitupun bagi orang yang tidak melihat bulan, jika ia mengi’tiqadkan (meyakini diri) akan kebenaran orang yang melihat bulan itu, sekalipun yang melihatnya itu orang yang bukan adil, maka wajib atasnya berpuasa.
* Jika orang hanya menyangka (mengira-ngira) akan kebenaran orang yang melihat bulan itu, maka boleh baginya puasa.
* Jika ia syak (meragukan) akan kebenaran yang melihat bulan itu, maka tidak diharuskan baginya berpuasa.

Hisab (hitungan):
Berpuasa dengan memakai Hisab (perhitungan) dalam menetapkan bulan Ramadhan, atau bulan Sya’ban atau lainnya, maka tidak mengharuskan orang berpuasa, melainkan jika yang menghisab itu (mengitung itu) orang yang telah pandai ilmunya dalam ilmu Hisab Taqwim yaitu ilmu yang mempelajari akan perjalanan Matahari, Bulan, Buruj dan munzalah, yang berada keduanya itu pada malam ru’yah atau pada malam adanya bulan, serta ada berapa derajat didalam buruj-buruj atau munzalah dan berapa derajat antara keduanya.
* Maka apabila seseorang mengetahui akan sekalian ilmu itu, disebutlah orang itu Hasib (ahli menghitung), boleh bagi dirinya sendiri berpuasa dengan hisab taqwimnya, itupun tidak menjadi puasanya itu pada bilangan bulan Ramadhan, Pada Syekh Ibnu Hajar di tahfid, melainkan jadi puasanya itu puasa sunnah saja.
* Jika seseorang kepandaian ilmu hisabnya hanya sekedar taqlid (garis besar) saja, atau disebut Ahjaza Dabawuda atau dengan almunka, padahal ia tidak mengetahui akan taqwim seperti yang tersebut di atas, maka tidak boleh dan tidak sah baginya berpuasa dengan hisabnya itu. Karena bukan seperti itu yang dinamakan Hasib (ahli hitung) oleh kalangan ulama.

Hisab dan Ru’yah:
Jika satu orang melihat bulan Sya’ban dengan matanya sendiri atau ia mengi’tiqadkan (berkeyakinan) akan kebenaran orang yang melihatnya, sekalipun orang itu bukan adil; maka apabila cukup hitungan 30 (tigapuluh) hari akan bulan Sya’ban, wajiblah bagi keduanya itu berpuasa sekalipun orang lain kebanyakan belum berpuasa.
Dan hukum ini berlaku hanya kepada orang tersebut saja.
Tetapi jika hanya sekedar mendapat keterangan dari salah satu orang yang melihat bulan itu, maka tidak harus baginya berpuasa.

Penentuan Puasa Secara Umum:
Sedangkan hukum berpuasa secara umum pada sekalian orang adalah:
* Jika bulan Sya’ban itu dilihat oleh banyak orang pada malam 30 (tigapuluh) Rajab.
Maka apabila telah cukup 30 (tigapuluh) hari dari bulan Sya’ban, wajiblah hukumnya berpuasa bagi sekalian orang pada negeri itu, sekalipun tidak terlihat bulan Ramadhan atau tidak ada Qadhi Syar’i (orang atau lembaga yang menerima akan suatu kesaksian misalnya Departemen Agama) pada negeri itu.
* Jika telah cukup 30 Sya’ban, 30 Kamal Rajab dan dari ru’yahnya pula yang sabit pada orang-orang banyak adanya, maka wajib berpuasa secara umum jika pada malam 30 Sya’ban dapat terlihat bulan Ramadhan oleh orang banyak.
* Jika pada malam 30 Rajab atau 30 Sya’ban atau 30 Ramadhan tidak banyak orang yang melihat bulan, melainkan hanya dua atau tiga orang, kemudian beberapa orang itu bersaksi bahwa mereka mengaku dengan sebenar-benarnya melihat bulan, maka syarat memberlakukan puasa secara umum adalah seperti yang disebut oleh sebahagian besar ulama di dalam kitab yang mu’tamad, bahwa saksi-saksi itu harus lengkap padanya syarat-syarat adil, dan syarat-syarat mar’ut, dan diterima akan saksi-saksi itu oleh qadhi syar’i, yaitu yang sempurna baginya ruku-rukun qadhi dan syarat-syaratnya.
Jika tidak sempurna baginya yang demikian itu, atau tidak sempurna bagi saksi-saksi akan syarat-syarat adil dan syarat-syarat mar’ut, maka tidak wajib dan tidak harus bagi umum sekalian berpuasa, malainkan hanya bagi orang-orang yang mengi’tiqadkan (berkeyakinan) kebenaran akan saksi-saksi itu, maka wajib baginya berpuasa, itupun jikalau tidak didapat keterangan yang menyalahkannya (membantah).

Syarat-syarat adil dan syarat-syarat mar’ut maka telah tersebut sekaliannya itu di dalam segala kitab yang mu’tamad, dan syaratnya terlalu banyak.

Sebahagian daripada syarat-syarat adil adalah bahwa orang tersebut memiliki sikap sebagai berikut:
1. Selalu memerintahkan akan yang wajib, dan mencegah atas perbuatan yang haram.
2. Tidak pernah mendengarkan bunyi-bunyian yang haram.
3. Mencegah orang lain meninggalkan shalat.

Adapun syarat-syarat Mar’aut adalah:
1. Orang tersebut tidak pernah meninggalkan Shalat Sunnah.
2. Tidak pernah jatuh akan bulu jenggotnya.

Apakah ada manusia yang memiliki syarat-syarat seperti ini pada jaman sekarang?
Apalagi ditambah dengan syarat-syarat yang lain, maka hendaknya diketahui akan syarat-syarat yang lain itu dan dapat dilihat di dalam kitab Fiqih yang Mu’tamad, yaitu bagi mereka yang mengetahui akan bahasa arab dan sudah lama waktunya ia mengaji (menuntut ilmu agama) pada guru-guru yang mengerti.
Maka nanti akan di dapat keterangan baginya apakah ada atau tidak di negerinya akan saksi yang memiliki syarat-syarat saksi serta rukun-rukun qadhi dan syarat-syaratnya.
Bilamana hendak mengetahui akan yang demikian itu maka dapat dibaca pada kitab yang dinaqol dari kitab-kitab yang mu’tamad sehingga dapat lebih mudah untuk dipahami, yaitu pada kitab Taudhihul Adillah, atau kitab Qauninul Syar’iyyah.


Pasal Ke limapuluh dua
Syarat-syarat Sahnya Puasa

Syarat-syarat Shahnya berpuasa adalah:
1. Islam.
2. Niat setiap malam pada puasa wajib seperti Ramadhan atau puasa wajib lainnya. Jika puasa sunnah maka afdhalnya niatnya pada malamnya, tetapi boleh niatnya sebelum tergelincir Matahari dan belum makan dan minum.
Lafaz niat Puasa Ramadhan yang aqmal adalah:

نَوَيْتُ صَوْمَ غَدٍ أَنْ أَدَاءِ فَرْضِ شَّهْرِ رَمَضَانَ هَذِهِ السَّنَةِ ِللهِ تَعَالَى.

Artinya: Sahjaku puasa esok hari daripada menunaikan fardhu bulan Ramadhan pada ini tahun Lillahi Ta’ala. (niat ini dibaca di dalam hati)

3. Mencegah diri daripada sengaja makan dan minum, serta memasukkan sesuatu barang atau benda kedalam lubang badannya.
4. Mencegah diri daripada sengaja muntah.
5. Mencegah diri daripada jima’ atau pekerjaan lainnya yang mengeluarkan mani.
* Apabila makan atau minum atau jima’ oleh karena ia lupa, tidak menjadi batal puasanya.
* Tetapi jika ia ingat pada tengah-tengah pekerjaan yang demikian itu maka wajib segera diberhentikan.
* Tidak batal puasa jika menelan ludah yang tidak dicampur apa-apa seperti riak/lendir atau darah atau bekas-bekas sisa makanan, atau lainnya.
* Adapun merokok atau menyisik tembakau maka membatal-kan puasa karena termakan sedikit diludahnya yang bercampur dengan sedikit bekas-bekas benda itu.
6. Suci daripada Haidh (menstruasi) dan Nifas (mengeluarkan darah melahirkan) pada seharian berpuasa itu.
7. Berakal pada seharian berpuasa itu.
* Apabila mendapat haid (mens) atau nifas (keluar darah) sekalipun sedikit dan waktunya sebentar saja pada hari berpuasa itu, maka batal puasanya.
* Demikian pula jika mendapat hilang akal seperti gila atau mabuk daripada minuman atau makanan maka batal puasanya sekalipun hilang akal atau mabuknya itu hanya sebentar saja.
* Adapun mabuk yang diuzurkan oleh Syara’ misalnya, pada malamnya (atau diwaktu sahur) ia makan suatu makanan yang dia tidak mengetahui bahwa makanan itu memabukkan. Jika tiba-tiba pada siang harinya ia menjadi mabuk, maka tidak menjadi batal puasanya, jika mabuknya tidak terus-menerus pada seharian itu.
* Demikian pula jika mendapat penyakit pitam (ayan), jika tidak terus-menerus pada seharian itu, maka tidak batal puasanya.

Hari-hari yang diharamkan berpuasa:
1. Tidak Sah dan haram hukumnya orang yang berpuasa pada dua hari raya yaitu hari raya Idhul Fitri dan Idhul Adha.
2. Tidak Sah dan haram orang yang berpuasa pada hari-hari Tasyrik, yaitu tanggal 11, 12 dan 13 daripada bulan haji atau Zulhijjah.
3. Haram hukumnya mengawali puasa pada hari yang syak (ragu-ragu), yaitu pada hari tanggal 30 Sya’ban jika ada yang mengabarkan bahwa ada orang melihat bulan tetapi tidak cukup syarat qabulnya.

Sebagaimana yang tersebut maka bersabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam:

مَنْ صَامَ يَوْمَ الشَّكِّ فَقَدْ عَصَ أَ بَا الْقَاسِمِ.

Artinya: Barangsiapa berpuasa dihari Syak maka niscaya bermaksiat olehnya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.

4. Haram hukumnya berpuasa sunnah yang di mulai dihari 16 bulan Sya’ban hingga akhir bulan Sya’ban.


Pasal Ke limapuluh tiga
Syarat-syarat Wajib Berpuasa

Syarat-syarat Wajib Berpuasa:
1. Islam
2. ‘Aqil Balligh (berakal dan dewasa)
3. Kuasa.

Tidak wajib qadha puasa atas seorang kafir jika masuk Agama Islam, begitu pula kepada orang gila bila sudah sembuh dan juga anak-anak jika telah balligh (dewasa).

* Wajib atas seorang Bapak dan Ibu untuk memerintahkan anak-anaknya untuk berpuasa ketika anaknya itu telah berumur 7 tahun, dan boleh dipukul dengan pukulan yang tidak melukai bilamana anak tersebut tidak mau berpuasa padahal anak itu telah berumur 10 tahun, itupun jika anak-anak tersebut kuasa untuk berpuasa.
* Tidak wajib berpuasa bagi orang yang tidak kuasa berpuasa dikarenakan sangat tuanya atau karena terkena suatu penyakit yang tidak dapat diharapkan lagi untuk kesembuhannya.
* Tetapi Wajib atas keduanya itu untuk mengeluarkan fidyah setiap hari 1 (satu) mud selama ia tidak berpuasa, yaitu setengah gentong fitrah (2,5 kg) yang diberikan kepada fakir miskin seperti zakat fitrah.
* Orang yang sakit yang tidak sanggup berpuasa atau orang yang sedang berlayar (musafir) sejauh dua marhalah (90 KM) maka boleh bagi keduanya itu tidak berpuasa, tetapi wajib qadha’ di kemudian hari, adapun jika ia tidak mengqadha’ hingga bertemu lagi pada bulan Ramadhan berikutnya, maka wajib bagi keduanya itu bersama-sama dengan qadha’ puasanya adalah membayar fidyah atas tiap-tiap hari yang tidak berpuasa 1 (satu) mud.
 Jika orang tersebut senantiasa sakit terus-menerus hingga meninggal dunia, maka tidak wajib suatu apapun.
 Jika orang tersebut telah sembuh dan sehat yang membolehkan dia membayar qadha’ puasanya, tapi tidak juga dia membayar qadha’nya itu hingga dia meninggal dunia, maka wajib padanya tiap-tiap satu hari tidak berpuasa adalah 1 (satu) mud.


Pasal Ke limapuluh empat
Makruh Dalam Berpuasa

Makruh (dibenci Allah SWT) atas orang yang berpuasa memakai wangi-wangian, sifat mata, bersugi (sikat gigi) apabila sudah gelincir matahari.


Pasal Ke limapuluh lima
Sunnah-Sunnah Dalam Berpuasa

Sunnah-sunah dalam berpuasa, yaitu:
1. Membaca kitab suci Al-Qur’an dengan memakai adab dan tatacaranya.
2. Sunnah berI’tikaf (berdiam) di dalam Masjid.
3. Menyegerakan berbuka puasa jika yakin sudah masuk Maghrib.
4. Mengakhirkan waktu sahur sebelum masuk waktu imsak.
5. Sunnah berbuka puasa dengan kurma.
6. Sunnah membaca do’a ini setelah berbuka puasa:

أَللَّـهُمَّ لَكَ صُمْتُ وَعَلَى رِزْقِكَ أَفْطَرْتُ، ذَهَبَ الظَمَأُ وَابْتَلَتِ الْعُرُوْقُ، وَثَبَتَ اْلأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللهُ تَعَلَى.

Artinya:
Ya Allah Tuhanku bagi Engkau aku berpuasa dan atas rizki Engkau aku berbuka puasa, telah berlalu rasa dahaga dan telah basah selurut urat-urat badan, dan telah tetap ganjaran pahalanya Insya Allah Ta’ala.


Pasal Ke limapuluh enam
Yang Membatalkan Pahala Puasa

Tersebut di dalam Hadist Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:

خَمْسُ يُفْطِرْنَ الصَّائِمَ الْكِذْبُ وَالْغِيْبَةُ وَالنَّمِيْمَةُ وَالْيَمِيْنُ الْكَاذِبَةُ وَالنَّظْرُ بِشَهْوَةٍ.

Artinya:
Ada lima perkara yang membatalkan pahala puasa, yaitu: Berdusta (berbohong), mengumpat (marah-marah), mengadu domba satu sama lain (menceritakan orang), bersumpah dusta (sumpah bohong), melihat dengan syahwat.


Pasal Ke limapuluh tujuh
Puasa-puasa Sunnah

Puasa-puasa sunnah yang dapat dikerjakan adalah:
1. Sunnah berpuasa pada 6 hari di bulan Syawwal dan afdhalnya dari hari yang ke-2 setelah Hari Raya Idhul Fitri, berturut-turut.
2. Sunnah berpuasa pada tanggal 8 dan 9 bulan Zulhijjah, yaitu yang dinamakan yaumal tarwiyah (hari tarwiyah) dan yaumal arofah (hari orang berwukuf).
3. Sunnah berpuasa pada tanggal 9 dan 10 bulan Muharram, yaitu yang dinamakan yauma tasu’a dan yauma ‘asyura.
4. Sunnah berpuasa di bulan Rajab, bulan Sya’ban, bulan Zulqaidah, dan bulan Zulhijjah selain daripada hari raya Idhul Adha dan hari tasyrik yaitu tanggal 11, 12 dan 13 Zulhijjah.
5. Sunnah berpuasa pada setiap hari Senin dan Kamis.

Syarah (10)

Bab yang menerangkan prihal Zakat

Macam-macam Zakat ada 7 (tujuh) macam, yaitu:
1. Zakat Binatang Ternak.
2. Zakat Buah-buahan dan Tumbuh-tumbuhan.
3. Zakat Mas dan Perak.
4. Zakat Dagangan/Perniagaan.
5. Zakat Rakaz / Harta Terpendam.
6. Zakat Ma’din.
7. Zakat Fitrah.


Pasal Ke empatpuluh tiga
Zakat Binatang

Binatang yang wajib dizakatkan daripadanya ada 3 (tiga) macam dan memenuhi syarat, yaitu:
1. Onta
2. Lembu (sapi) atau Kerbau.
3. Kambing.

1. Untuk Zakat Onta, tidak dibahas disini.
2. Zakat Lembu (sapi) atau Kerbau:
Nisabnya yakni batas kewajiban mengeluarkan zakatnya, yaitu:
* Jika telah cukup jumlahnya 30 (tiga puluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 1 (satu) ekor daripada anaknya yang telah berumur 1 (satu) tahun.
* Jika telah cukup jumlahnya 40 (empat puluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 1 (satu) ekor daripada anaknya yang telah berumur 2 (dua) tahun.
* Jika telah cukup jumlahnya 50 (lima puluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 1 (satu) ekor daripada anaknya yang telah berumur 3 tahun.
* Jika telah cukup jumlahnya 60 (empat puluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 2 (dua) ekor daripada anaknya yang telah berumur 1 (satu) tahun.
* Demikian seterusnya kelipatan 30, ditambah satu ekor.

3. Zakat Kambing:
Nisabnya, yakni batas kewajiban mengeluarkan zakatnya yaitu:
* Jika telah cukup jumlahnya 40 (empat puluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 1 (satu) ekor daripada kambing itu yang telah berumur 2 (dua) tahun, adapun jika dari jenis kambing kibas maka yang umurnya 1 (satu) tahun.
* Jika telah cukup jumlahnya 120 (seratus duapuluh) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 2 (dua) ekor.
* Jika telah cukup jumlahnya 201 (duaratus satu) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 3 (tiga) ekor.
* Jika telah cukup jumlahnya 400 (empat ratus) ekor, maka diwajibkan mengeluarkan zakatnya 4 (empat) ekor.
* Demikian seterusnya setiap bertambah kelipatan seratus, maka ditambah zakatnya 1 (satu) ekor.

Syarat wajib Zakat Binatang:
1. Waktunya telah cukup setahun lamanya.
2. Makanannya didapat daripada angonan (menggembala) yang tidak membeli.
3. Binatang itu tidak dipakai untuk bekerja apapun (bajak sawah dll).


Pasal Ke empatpuluh empat
Zakat Buah-buahan & Tumbuh-tumbuhan

Yang diwajibkan mengeluarkan zakat buah-buahan adalah adalah Buah Korma dan Kismis (anggur), adapun tumbuh-tumbuhan yang diwajibkan mengeluarkan zakatnya adalah tumbuh-tumbuhan yang dimakan untuk kehidupan seperti gandum, terigu, jagung dan padi, serta kacang-kacangan.
Adapun nisab yang demikian itu adalah lima wisik, yaitu sekedar tiga di atas gantung fitrah, yaitu sembilan pikul enam puluh lima kati bersih daripada kulit.
Adapun bagi zakat padi maka nisabnya dua kali, yaitu sembilan belas pikul tigapuluh kati.
Bagi tumbuhan yang airnya didapat dengan tidak memerlukan usaha/disiram, yang wajib dikeluarkan yaitu satu bahagian daripada sepuluh bahagian, atau yang disebut ‘usyur (sepersepuluhnya atau sepuluh persen)
Sedangkan jikalau tumbuhannya dengan disiram atau memerlukan ongkos (biaya) untuk membeli air maka zakatnya adalah didalam duapuluh bahagian dikeluarkan satu bagian, atau yang disebut nisful ‘usyur (seperduapuluh atau lima persen)
Yang wajib dikeluarkan itu dihitung dari seberapa dapatnya dari sawahnya itu, bukan dihitung dari hasil bersih setelah membayar cukai (pajak) dan upah memotong padi.


Pasal Ke empatpuluh lima
Zakat Mas dan Perak

Nisabnya zakat Mas adalah duapuluh misqal, yaitu berat tiga rial ditambah dengan setengah suku.
Nisabnya zakat Perak adalah beratnya duaratus dirham, yaitu limapuluh delapan rupiah zaman sekarang ditambah setengah rupiah.
Yang wajib dikeluarkan daripada keduanya itu yaitu satu bahagian daripada empat puluh bagian, yaitu yang disebut rubu’ul ‘asyro (seper empatpuluh atau 2,5 persen), dan cukup setahun dari waktu memilikinya, maka wajib dikeluarkan zakatnya dan sebagaimana lebihnya Mas dan Perak itu daripada nisabnya, maka dikeluarkan zakatnya pula sekedarnya.


Pasal Ke empatpuluh enam
Zakat Dagangan/Perniagaan

Zakat perdagangan atau zakat tijrah, yaitu apabila telah cukup satu tahun dari mulai berdagang/berusaha tiba-tiba di akhir tahun itu telah cukup nishabnya, yaitu seperti nishabnya zakat perak, maka wajib ditaksir atas dagangan itu kemudian dikeluarkan zakatnya dengan uang perak dalam empat puluh dikeluarkan satu (2,5 persen) seperti zakat perak.
Adapun pada permulaan dagang maka tidak disyaratkan cukup nishabnya.


Pasal Ke empatpuluh tujuh
Zakat Rakaz / Harta Terpendam

Harta terpendam daripada Mas dan Perak yang dipendam oleh orang-orang dahulu sebelum Nabi Muhammad Sallallohu ‘Alaihi Wasallam, jika didapat (ditemukan) harta itu dan cukup akan nishabnya, maka wajib dikeluarkan zakatnya dengan segera, yaitu Khumus (seperlima atau 20 persen) yakni satu bahagian dari lima bahagian.


Pasal Ke empatpuluh delapan
Zakat Ma’din
Zakat Ma’din yaitu zakat Emas dan Perak yang didapat dari dalam tanah menurut asal kejadiannya (dari hasil tambang).
Maka apabila didapat daripadanya mencukupi nishabnya, wajib atasnya mengeluarkan zakatnya yaitu satu bahagian dari empatpuluh bahagian yakni rubu’ul ‘asyro (seper empatpuluh atau 2,5 persen).


Pasal Ke empatpuluh sembilan
Zakat Fitrah

Zakat Fitrah adalah wajib bagi setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan, yang mendapatkan masa sebelum waktu maghrib dan sesudahnya Maghrib di malam hari raya syawwal (Malam Hari raya Idhul Fitri).
Yang dikeluarkannya adalah yang melebihi daripada makanan yang dimakan wajib nafkahnya atas dirinya pada malam hari raya itu beserta hari rayanya. (lebih kurang 2,5 kg makanan pokok).
Wajib atas seorang suami membayar zakat fitrah istrinya dan anak-anaknya yang belum balligh, begitu juga membayarkan zakat fitrah bagi ayah-ibunya yang tidak mampu mengeluarkan zakat fitrah.
Zakat Fitrah boleh dibayar pada awal bulan Ramadhan, tetapi afdhalnya adalah pada pagi hari raya syawwal (pagi Hari Raya Idhul Fitri) sebelum melakukan shalat Iedh, atau pada malam hari raya itu.
Makruh hukumnya jika dita’khirkan hingga selesai shalat Iedh.
Haram hukumnya jika dita’khirkan hingga waktu maghrib pada hari raya itu, sehingga menjadi qadha’.


Pasal Ke limapuluh
Yang Berhak Menerima Zakat

Dari tujuh macam zakat yang tersebut, maka wajib diberikan zakat itu kepada orang-orang yang telah ditentukan dan diperintahkan oleh Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an akan memberi zakat kepada mereka itu, yang tersebut didalam Firman Allah:

إِنَّمَا الصَّدَ قَـتُ لِلْفُقَرَآءِ وَالْمَسَـكِيْنِ وَالْعَا مِلِيْنَ عَلَيْهَا وَالْمُؤَ لَّفَةِ قُلُوْ بُهُمْ وَفِ الرِّقَابِ وَالْغَارِمِيْنَ وَفِى سَبِيْلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيْلِ.

Bahwasanya segala zakat itu itu maka wajib diberikan kepada segala fakir dan miskin dan bagi orang yang mengurusnya, dan bagi segala mu’allaf kafir masuk islam, dan bagi budak ‘abid yang buat tebus dirinya daripada tuannya, dan bagi orang yang menanggung hutang, dan bagi orang yang di dalam sabillillah, dan bagi orang yang musafir minta zakat.

Jika telah diketahui daripada ini ayat Al-Qur’an bahwasanya yang mempunyai hak yaitu delapan macam itu, dan yang ada dinegeri kita dari delapan macam itu hanya lima macam, yaitu fakir-fakir, dan miskin-miskin, dan mu’allaf, dan orang yang menanggung hutang, dan orang yang musafir minta zakat.
Maka dengan perintah Allah Ta’ala di dalam Al-Qur’an atas wajib memberi zakat bagi mereka itu, maka tidak boleh dan tidak syah zakat itu diberikan kepada lain-lain orang yang bukan iya termasuk daripada delapan macam yang tersebut.
Adapun aturan membagi zakat kepada mereka itu maka adalah zakat itu dibagi dengan seberapa bilangan macam-macam yang ada daripada delapan macam itu, dan tiap-tiap satu bahagian dibagi satu macam dan jikalau boleh dapat rata maka diberi pada sekalian itu tiap-tiap macam. Adapun jika tidak boleh dapat rata maka diberi pada tiap-tiap macam pada tiga orang saja.
Wajib niat atas yang mengeluarkan zakat pada masa ia memberikan pada yang mempunyai hak zakat, atau kepada wakilnya yaitu dengan mengatakan di dalam hatinya dan sunnah ber lafaz “Sahjaku mengeluarkan Zakat Hartaku atau Zakat Fitrahku Lillali Ta’ala”

Syarah (9)


Pasal Ke empatpuluh dua
Shalat Jenazah

Shalat Jenazah adalah menyalatkan mayyit atau orang yang sudah meninggal.
Dan ini merupakan Fardhu Kifayah atas sekalian orang dalam suatu negeri atau kampung yang mengetahui akan meninggalnya seseorang yang Muslim.

Arti Fardhu Kifayah adalah: jika sudah dikerjakan oleh sebahagian orang-orang tersebut maka terlepaslah/gugurlah kewajibannya itu atas yang lain, dan bilamana tidak dikerjakan sama-sekali oleh orang-orang yang telah mengetahui akan meninggalnya seorang mayyit muslim, maka berdosalah seluruh orang-orang itu.

Ada 4 (empat) perkara yang menjadi Fardhu Kifayah, yaitu:
A. Memandikan mayyit.
B. Mengkafankan mayyit.
C. Menyalatkan mayyit.
D. Menguburkan mayyit.

A. Memandikan Mayyit:
Sekurang-kurangnya memandikan mayyit adalah meratakan sekalian tubuhnya dengan air yang suci dan menyucikan, dengan terlebih dahulu membasuh segala najis yang ada.
Beberapa hal dalam Memandikan Mayyit:
1. Sunnah niat Memandikan Mayyit.
2. Sunnah memandikannya ditempat yang tertutup dengan pagar atau langsa.
3. Sunnah membakar dupa pada saat memandikan mayyit.
4. Wajib tidak terlihat antara pusat sampai lutut si mayyit itu.
5. Sunnah melipat sepotong kain (pakai sarung tangan) di tangan kiri bagi yang memandikan mayyit untuk membasuh najis yang ada pada mayyit, dan sepotong kain yang lain untuk suginya (giginya), dan sepotong kain lagi untuk menggosok badannya.
6. Sunnah pada permulaan memandikannya dengan air campur bidara, yang kedua dengan air biasa saja, kemudian di penghabisannya dengan air yang dicampur dengan sedikit kapur barus, semuanya tiga kali-tiga kali sambil di petel (digosok) sekalian badannya.
7. Sunnah mengambilkan wudhu (air sembahyang) bagi mayyit, sedangkan niatnya adalah wajib bagi yang mengambilkan wudhu itu.

B. Mengkafankan Mayyit:
Sekurang-kurangnya mengkafankan mayyit adalah dengan sehelai (satu lapis) kain yang menutupi sekalian badannya.
Beberapa hal dalam Mengkafankan Mayyit:
1. Bagi mayyit laki-laki sunnah dikafankan dengan 3 (tiga) helai kain putih yang baru dan tiap-tiap helai menutupi sekalian badannya.
2. Bagi mayyit perempuan sunnah memakai ghamis yaitu baju kurung dan telengkung (mukenah) dan kain dan masing-masing 2 (dua) helai.
3. Sunnah bagi keduanya (mayit laki-laki atau perempuan) dipakaikan kapas yang dicampur dengan cendana dan kapur barus yang diletakkan diatas tiap-tiap lubang badan dan anggota sujud.

C. Menyalatkan Mayyit (shalat Janazah):
Rukun Shalat Janazah 7 (tujuh) perkara, yaitu:
1. Niat Shalat Janazah.
2. Shalatnya dengan 4 (empat) takbir, dimana Takbir pertama adalah Takbiratul ikhram.
3. Membaca Al-Fatihah dengan sunnah membaca اَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ saja dan tidak sunnat membaca do’a istiftah.
4. Shalat dilakukan dengan berdiri jika kuasa.
5. Membaca Shalawat seperti shalawat pada tashahhud akhir sesudahnya takbir yang kedua.
6. Mendo’akan Mayyit setelah takbir yang ke tiga, sekurang-kurangnya yaitu: اَللَّـهُمَّ اغْفِرْلَهُ artinya: Ya Allah Tuhanku ampunilah bagi mayyit ini.
7. Memberi salam setelah takbir yang ke empat, sunnah dengan menambahkan وَبَرَكَاتُهُ .
Adapun aturan dalam Shalat Janazah pada takbir yang pertama dan yang ke dua, maka Wajibnya dan Sunnahnya adalah sama saja bagi mayyit laki-laki atau perempuan.
Sedangkan pada takbir yang ke tiga dan ke empat, maka ada perbedaan dhamirnya (sebutannya).

Berikut adalah Tatacara Shalat Janazah:
1. Niat Shalat Janazah:

اُصَلِّى عَلَى هَـذَا الْمَيِّتِ أَرْ بَعَ تَكْبِيْرَاتٍ فَرْضَ الْكِفَايَةٍ ِللهِ تَعَالَى.

Artinya: Sahjaku shalat atas mayyit ini dengan 4 takbir fardhu kifayah lillahi ta’ala.

2. Takbiratul ihram: اَللهُ اَكْبَرُ (berbarengan dengan niat itu)
3. Dilanjutkan dengan membaca Al-Fatihah dan sunnah اَعُوْذُبِاللهِ, yaitu:

* اَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
* بِسْـمِ اللهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيْمِ.
* اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
* اَلرَّحْمَـنِ الرَّحِيْمِ.
* مَـلِكِ يَوْمِ الدِّ يْنِ.
* اِيَّا كَ نَعْبُدُ وَ اِيَّا كَ نَسْتَعِيْنُ.
* اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ.
* صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ، غَيْرِالْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ، وَلاَالضَّآلِّيْنَ.
* آمِيْنْ.

Tidak Sunnah membaca Surah setelah Al-Fatihah.
4. Takbir yang kedua: اَللهُ اَكْبَرُ
5. Dilanjutkan dengan membaca Shalawat:
َللَّـهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وُذُرِّيَّتِهِ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ.
وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْ لِكَ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ، وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وُذُرِّيَّتِهِ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ. فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.

6. Takbir yang ketiga: اَللهُ اَكْبَرُ
7. Dilanjutkan dengan do’a mayyit:
Bagi mayyit laki-laki adalah sebagai berikut:

اَللَّـهُمَّ اغْفِرْلَهُ وَارْحَمْهُ وَعَافِهِ وَاعْفُ عَنْهُ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهُ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهُ، وَاغْسِلْهُ بِالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهِ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّىالثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِلْهُ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهِ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهِ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهِ، وَأَدْخِلْهُ الْجَنَّةَ وَأًعِذْهُ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ عَذَابِ النَّارِ.

Bagi mayyit perempuan adalah sebagai berikut:

اَللَّـهُمَّ اغْفِرْلَهَ وَارْحَمْهَ وَعَافِهَ وَاعْفُ عَنْهَ، وَأَكْرِمْ نُزُلَهَ وَوَسِّعْ مَدْخَلَهَ، وَاغْسِلْهَ بِالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ، وَنَقِّهَ مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّىالثَّوْبُ اْلأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، وَأَبْدِ لَّهَ دَارًا خَيْرًا مِنْ دَارِهَ، وَأَهْلاً خَيْرًا مِنْ أَهْلِهَ، وَزَوْجًا خَيْرًا مِنْ زَوْجِهَ، وَأَدْخِلْهَ الْجَنَّةَ وَأًعِذْهَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَ عَذَابِ النَّارِ.

Artinya:
Ya Allah Tuhanku, ampuni bagi mayyit ini dosanya dan berikan Rahmat padanya dan sentosakannya dan maafkan padanya, dan mulyakan datangnya dan luaskan kuburnya dan sucikan dia dengan embun dan dengan air dan dengan air barad, dan bersihkan dia daripada segala dosa seperti dibersihkannya kain putih daripada segala kotoran, dan gantikan baginya rumah yang terlebih baik dari rumahnya, dan keluarga yang terlebih baik daripada keluarganya, dan Istri yang lebih baik daripada istrinya (bagi wanita: dan perangai suami yang lebih baik dari perangai suaminya didunia), dan masukkan dia ke dalam syurga dan jauhkan dia dari siksa kubur dan siksa api neraka.

8. Takbir yang ke Empat: اَللهُ اَكْبَرُ
9. Dilanjutkan dengan ber do’a:
Bagi mayyit laki-laki adalah sebagai berikut:

اَللَّـهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا اَجْرَهُ، وَلاَ تُفْتِنَّا بَعْدَهُ، وَاغْفِرْلَنَا وَلَهُ.

Bagi mayyit perempuan adalah sebagai berikut:

اَللَّـهُمَّ لاَ تَحْرِمْنَا اَجْرَهَ، وَلاَ تُفْتِنَّا بَعْدَهَ، وَاغْفِرْلَنَا وَلَهَ.

Artinya:
Ya Allah Tuhanku, janganlah luputkan kami akan pahalanya, dan janganlah fitnahkan kami sesudahnya, dan ampuni kami dan baginya.

10. Memberi salam 2 (dua) kali, yaitu:

اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ.(2×)

D. Menguburkan Mayyit:
Sekurang-kurangnya Mengubur Mayyit adalah mengubur dalam satu lobang yang dapat menutup aroma bau dan mencegahnya dari (korekan/galian) binatang-binatang buas.
Sunnahnya bahwa dalamnya kubur itu sependirian ditambah satu hasta (setinggi orang dewasa yang sedang berdiri sambil mengangkat/melambaikan tangannya).
Wajib menghadapkan mayyit ke arah Kiblat, dan sunnah dibacakan Talqin dan do’a wahabah, maka sekalian itu tersebut di dalam kitab “Maslikul Akhyar” dengan segala artinya.

Syarah (8)

Pasal ke Tigapuluhsatu
Shalat-shalat Sunnah

Shalat-shalat Sunnah, yaitu:
1. Sunnah yang Mu’akkad (yang dianjurkan), jumlahnya ada 10 (sepuluh) raka’at, yaitu:
a. Dua raka’at sebelum (qabliyah) shalat Shubuh.
b. Dua raka’at sebelum (qabliyah) shalat Zhuhur atau Jum’at
c. Dua raka’at setelah (ba’diyah) shalat Zhuhur atau Jum’at.
d. Dua raka’at setelah (ba’diyah) shalat Maghrib.
e. Dua raka’at setelah (ba’diyah) shalat Isya’.
2. Sunnah yang bukan Mu’akkad (bukan yang dianjurkan), jumlahnya ada 12 (duabelas) raka’at, yaitu:
a. Dua raka’at ditambahkan sebelum shalat Zhuhur atau Jum’at.
b. Dua raka’at ditambahkan setelah shalat Zhuhur atau Jum’at.
c. Empat raka’at sebelum shalat Ashar.
d. Dua raka’at sebelum shalat Maghrib.
e. Dua raka’at sebelum shalat Isya’.
3. Sunnah shalat Witir, sekurang-kurangnya satu raka’at, pertengahannya tiga raka’at dan sebanyak-banyaknya sebelas raka’at. Adapun waktunya adalah dari sehabis shalat Isya’ hingga Fajar.
4. Sunnah shalat Dhuha’, sekurang-kurangnya dua raka’at dan sebanyak-banyaknya delapan raka’at. Waktunya adalah dari terbitnya Matahari sekedar sependirian hingga masuknya waktu shalat Zhuhur.
5. Sunnah shalat Wudhu’ (sunnatul wudhu’), yaitu dua raka’at sesudahnya mengambil Air Wudhu.
6. Sunnah Shalat Tahyatul Masjid (menghormati masjid), yaitu dua raka’at jika memasuki masjid.
7. Sunnah shalat Taraweh, yaitu dua puluh raka’at dan tiap-tiap dua raka’at daripadanya dengan tasyahhud dan salam.

TANBIH:
Bermula orang yang mempunyai Qadha’ Shalat fardhu (meninggalkan shalat wajib) maka jika dengan uzur (sebab) yaitu karena lupa atau ketiduran, atau karena dipaksa, maka wajib atasnya Shalat Qadha’ kapan saja waktunya tetapi sunnahnya adalah dengan segera membayar qadha’nya itu, dan sunnah mendahulukannya atas shalat-shalat sunnah.
Adapun jikalau orang yang mempunyai Qadha’nya itu dari tinggal shalat tidak dengan uzur (sengaja tidak shalat) maka wajib atasnya segera membayar qadha’ itu dan tidak harus shalat sunnah, hingga selesai daripada membayar qadha’nya itu.



Pasal ke Tigapuluh dua
Dosa Meninggalkan Shalat

Dosanya orang yang meninggalkan shalat adalah terlalu amat besar dan siksanya terlalu amat keras.
Maka telah diriwayatkan oleh setengah daripada ulama bahwa ada seorang perempuan yang suka meninggalkan shalat, kemudian dia mati.
Sewaktu diturunkannya mayat itu kedalam kubur oleh saudara laki-lakinya, maka terjatuhlah ke dalam lobang kubur sebuah kantong konjen yang berisi uang milik saudaranya itu.
Maka setelah ditutup lobang kuburnya itu, saudaranya itu ingat bahwa kantong konjen berisi uangnya itu terjatuh ke dalam lobang kubur.
Kemudian baliklah saudaranya itu yang bermaksud hendak menggali kuburan itu untuk mengeluarkan kantong konjennya itu sebab ada uangnya.
Sewaktu ia mulai menggali kuburan itu maka keluarlah api daripada kuburan itu, dan ia tidak dapat tahan atas panasnya.
Lalu ia kembalikan tanah kuburan itu, dan ia menangis berjalan pulang, kemudian menanyakan kepada ibunya, “betapakan dosa saudaraku semasa hidupnya?” dan diceritakannyalah kepada ibunya itu mengenai kejadian di atas kuburan saudaranya itu.
Maka ibunyapun sangat amat menangis sedih hatinya mendengan cerita tentang kuburan anak perempuannya itu, maka berkatalah ibunya “tiada dosa yang diperbuat oleh saudara perempuanmu melainkan terkadang ia suka meninggalkan shalat lima waktu dengan tiada uzur (tak ada sebab)”.


Pasal ke Tigapuluh tiga
Kewajiban Orangtua terhadap Anaknya

Wajib hukumnya atas orangtua Ayah maupun Ibu untuk memerintahkan anak-anaknya mengerjakan shalat semenjak anaknya berumur 7 (tujuh) tahun.
Dan jika sampai umur anaknya 10 (sepuluh) tahun belum juga mau melakukan shalat, maka wajib atas Ayah dan Ibu memerintahkannya dengan ancaman suatu pukulan yang pantas dan tidak membuatnya terlalu kesakitan.



Pasal Ke tigapuluh empat
Hadist Nabi SAW tentang Shalat

Bersabda Rasullullah Sallallahu ‘Alaihi Wasallam:

مَنْ تَرَكَ الصَّلاَةَ مُتَعَمِّدًا فَقَدْ كَفَرَ.

Artinya:
Siapa orang yang meninggalkan Shalat dengan sengaja maka telah Kafirlah ia.

Maka berdasarkan atas ini hadist, dimaknakan oleh Imam Hanbali Radhiyallahu ‘an, dengan zahirnya (kelihatannya), yakni tiap-tiap orang yang meninggalkan shalat dengan tiada uzur (sebab) maka kafirlah ia.
Sedangkan yang dimaknakan oleh Imam Syafi’I Radhiyallahu ‘an, yaitu jikalau orang yang meninggalkan shalat dengan tidak meng-I’tiqadkan (tidak berkeyakinan) bahwa shalat itu wajib baginya, maka kafirlah ia. Adapun jika ia meninggalkan shalat dikarenakan oleh sebab malas saja padahal ia ber-I’tiqad (berkeyakinan) bahwa shalat itu walau bagaimanapun wajib bagi dirinya, maka tidak menjadi kafir, tetapi dosanya amatlah besar.

Pasal Ke tigapuluh lima
Shalat Berjama’ah

Shalat Berjama’ah (bersama-sama imam) bagi laki-laki itu lebih afdhal daripada munfarid (shalat sendiri).
Sedangkan bagi perempuan afdhalnya adalah shalat di rumahnya sekalipun munfarid (shalat sendiri), dan jikalau dapat dirumahnya itu berjama’ah dengan sama-sama perempuan atau mahramnya (yang tidak menjadikan ia haram) maka itu lebih afhal lagi.
Syarat-syarat Shalat Berjama’ah 10 (sepuluh) perkara:
1. Bahwa janganlah ma’mum meng-I’tiqadkan (berkeyakinan) bahwa Shalat imamnya itu batal, atau imamnya itu sedang shalat qadha’
2. Janganlah ma’mum mengikuti ma’mum.
3. Janganlah seorang imam itu tidak pandai mengucapkan huruf bacaan Al-Fatihah, atau imam menggantikan sesuatu huruf dengan huruf yang lain, misalnya: alhamdulillah diganti dengan khabasara, melainkan jika ma’mumnya saja yang melakukan kesalahan seperti itu.
4. Janganlah ma’mum labih maju berdirinya atau duduknya daripada imam.
5. Janganlah ma’mum laki-laki mengikuti imam perempuan atau banci, akan tetapi perempuan atau banci sah mengikuti imam laki-laki.
6. Berniat (didalam hati) oleh ma’mum akan ma’muman (mengikuti imam) sewaktu di Takbirathul Ihram.
7. Bahwa ma’mum mengetahui akan imamnya ketika ruku’, sujud, duduk dan lainnya, dengan melihat padanya atau mendengar suara imamnya takbir intiqal (mengucapkan اَللهُ اَكْبَرُ) atau dengan takbir Muballigh (maksudnya suara bilal atau yang mengeraskan suara imam), atau melihat pada sebahagian ma’mum akan ruku’ sujudnya.
8. Jangan ada palang (penghalang) yang mencegah orang untuk berjalan antara tempat imam dan tempat ma’mum. Misalnya antara imam dan ma’mum dihalangi oleh bambu yang melintang, pintu tertutup, atau bale-bale yang tinggi, yang karena tingginya itu mencegah akan orang yang berjalan sebagaimana biasa orang yang berjalan, melainkan ia harus dengan sangat menunduk atau melompat.
9. Ma’mum wajib mengikuti gerakan imamnya, maka afdhalnya adalah jika imam telah sampai di batas ruku’ maka barulah ma’mum ruku’, dan jika imam telah sampai di batas berdiri maka barulah ma’mum bangkit daripada ruku’, dan jika imam telah sampai di batas sujud maka barulah ma’mum turun sujud, demikian pula pada rukun-rukun yang lain.
a. Makruh hukumnya bagi ma’mum membarengi gerakan imam dalam shalat, dan haram hukumnya mendahulukan imam pada satu rukun fi’li, dan batal shalatnya ma’mum jika mendahulukan imam dengan dua rukun fi’li.
b. Makruh hukumnya bagi ma’mum bila tertinggal gerakan imam dengan tiada uzur hingga imam mendapat satu rukun fi’li, dan batal shalatnya ma’mum jika tertinggal gerakan imam dengan dua rukun fi’li jika ketiadaan uzur.
c. Adapun jika ada uzur seumpama ma’mum lambat membaca Al-Fatihah dan Imamnya terlalu cepat membacanya, atau ma’mum terlupa membaca Al-Fatihah maka setelah imamnya ruku’ barulah ma’mum ingat, atau ma’mum yang muwaffak membaca do’a istiftah dan imamnya ruku’ sebelum ma’mum membaca Al-Fatihah, maka dengan salah satu uzur dalam kondisi yang tersebut ini boleh ma’mum ketinggalan daripada imamnya karena menghabiskan bacaan Al-Fatihah hingga imamnya bangkit daripada sujud yang kedua.
10. Jangan berlawanan gerakan ma’mum dengan gerakan imamnya dengan perbedaan yang sangat berbeda (mencolok) dilihatnya, yaitu seumpama imam sujud tilawah atau sujud sahwi maka tidak diikuti oleh ma’mum akan sujud tilawah atau sujud sahwi itu. Perbedaan gerakan oleh sebab yang demikian itu akan menjadi batal shalat ma’mum jika ia tidak berniat mufarraqah (berpisah dari imam).

Artinya muwaffak: yaitu makmum yang memulai didalam pendirian shalatnya bersama-sama imam, dimana waktu yang yang didapat ma’mum cukup muat untuk membaca Al-Fatihah seluruhnya.
Artinya Masbuk: yaitu ma’mum yang tidak mendapatkan waktu yang cukup membaca Al-Fatihah seluruhnya kecuali hanya takbiratul ihram atau mendapatkan imamnya lagi ruku’.
Ketentuan-ketentuan Masbuk:
1. Jika Masbuk mendapatkan imamnya lagi berdiri, maka sesudahnya ma’mum takbiratul ihram harus segera ia membaca Al-Fatihah dengan tidak perlu membaca اَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ atau do’a istiftah lagi, karena apabila imam ruku’ sedangkan ma’mum belum menyelesaikan Al-Fatihah, maka ia boleh langsung mengikuti imamnya untuk ruku. Dan ma’mum mendapatkan raka’at itu.
2. Apabila Masbuk mendapatkan imam lagi ruku’, maka sehabis ma’mum takbiratul ihram ia langsung ruku’ mengikuti imam dengan sunnah membaca takbir intiqal (اَللهُ اَكْبَرُ), maka jika ma’mum mendapatkan thuma’ninah (diam sekedar سُبْحَانَ اللهِ) bersama-sama imam di dalam ruku’ itu, maka dapatlah ma’mum akan raka’at itu.
Akan tetapi bilamana ma’mum tidak mendapatkan thuma’ninah itu bersama-sama imam (misalnya ma’mum ruku’ bersamaan imamnya I’tidal) maka ma’mum tidak mendapatkan raka’at itu.
3. Adapun jikalau Masbuk mendapatkan imam lagi sujud atau lagi duduk antara dua sujud atau lagi tasyahhud, maka sehabis ma’mum takbiratul ihram, dia langsung mengikuti imam dimana adanya dengan tidak membaca takbir intiqal lagi. Dan ma’mum dalam hal ini tidak mendapatkan raka’at itu.



Pasal Ke tigapuluh enam
Shalat Qashar dan Jama’

Arti Qashar adalah: Mengurangi 2 (dua) raka’at daripada shalat (yang empat raka’at) seperti Shalat Zhuhur, Ashar dan Isya’.
Arti Jama’ adalah: menggabungkan dua shalat fardhu didalam satu waktu.
Syarat-syarat Qashar 7 perkara:
1. Mengetahui akan harusnya bagi orang yang berlayar (musafir/bepergian) yang perjalanannya itu berjarak dua marhalah yaitu perjalanan 90 pal (kilometer).
2. Jangan kurang kadar jarak pelayarannya itu dari yang ditentukan diatas itu.
3. Pelayarannya itu bukan dengan maksud maksiat (piknik maksiat misalnya mau nonton bola)
4. Qasadnya (tempat yang akan dituju) pada tempat yang sudah ditentukan sebelumnya.
5. Niat Qashar di dalam takbiratul ihram.
6. Jangan mengikuti imam yang sedang shalat tamam (shalat yang lengkap/biasa).
7. Senantiasa pelayarannya itu hingga akhir shalat.

Arti Jama’ Taqdim yaitu: mendahulukankan Shalat Asyar diwaktu Zhuhur atau mendahulukankan Shalat Isya’ diwaktu Maghrib.
Maka syaratnya ada 4 perkara:
1. Mendahulukan shalat Zhuhur baru kemudian Asyar atau mendahulukan shalat Maghrib baru kemudian Isya’.
2. Niat Jama’ di dalam shalat yang didahulukan itu (didalam shalat Zhuhur atau shalat Maghrib), dengan mengatakan di dalam hatinya saja: “sahjaku menjama’ shalat Ashar di waktu Zhuhur” atau “sahjaku menjama’ shalat Isya diwaktu Maghrib”.
3. Segera melakukan shalat antara keduanya (maksudnya setelah salam shalat Zhuhur langsung takbiratul ihram lagi untuk shalat Ashar)
4. Senantiasa pelayarannya (perjalanannya) itu hingga habis waktu untuk takbiratul ihram shalat yang kedua (shalat Ashar atau Isya’).

Arti Jama’ Ta’khir yaitu: menta’khirkan shalat Zhuhur di waktu Asyar atau menta’khirkan shalat Maghrib di waktu Isya’.
Maka syaratnya ada 2 perkara:
1. Niat menta’khirkan diwaktu yang awal (misalnya di waktu Zhuhur tetapi diluar shalat atau di waktu Maghrib tetapi diluar shalat) dan sunnah berlafaz akan niat itu sebagai berikut:

نَوَيْتُ تَأْخِيْرَ الظُّهْرِ إِلَى الْعَصْرِ.

Artinya: Aku niat menta’khirkan Zhuhur kepada Ashar.
Atau:

نَوَيْتُ تَأْخِيْرَ الْمَغْرِبِ إِلَى الْعِشَآءِ

Artinya: Aku niat menta’khirkan Maghrib kepada Isya’
2. Senantiasa pelayarannya (perjalanannya) itu hingga shalat yang kedua. (shalat Ashar atau Isya tetapi cukup waktunya untuk melakukan shalat jama’ tersebut).

Syarah (7)

Pasal Ke duapuluhenam
Sunnah-sunnah Ab’ad

Sunnah-sunnah Ab’ad ialah sunnah-sunnah di dalam Shalat, yang apabila tidak dikerjakan salah satunya disebabkan oleh karena lupa atau tertinggal, maka disunnahkan untuk melakukan sujud sahwi.
Sunnah Ab’ad ada 7 perkara, manakala tiada dapat dikerjakan salah-satu daripadanya maka sunnah sujud sahwi, yaitu:
1. Tidak membaca Tasyahud Awwal
2. Tidak Duduk dalam membaca Tasyahud Awwal
3. Tidak membaca Shalawat atas Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam di Tasyahud Awwal
4. Tidak Membaca Shalawat atas Keluarga Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam di Tasyahud Akhir
5. Tidak membaca do’a qunut pada Shalat Shubuh
6. Tidak membaca Shalawat dan Taslim atas Nabi dan atas keluarganya dan sahabatnya di dalam do’a qunut.
7. Tidak berdiri pada saat membaca do’a qunut.



Pasal Ke duapuluhtujuh
Pekerjaan yang Makruh di dalam Shalat

Perihal pekerjaan yang makruh (dibenci Allah) di dalam shalat yaitu:
1. Menengok ke atas atau ke kanan atau kiri.
2. Menyimpulkan rambut atau kain atau baju dengan tiada hajat (maksud/sebab)
3. Bershalat dengan menahan hadast (menahan buang air kecil/besar atau angin)
4. Berdiri dengan sebelah kaki atau memajukan salah satu kakinya dengan tiada uzur (sebab)
5. Bersender pada sesuatu barang yang sekiranya dilakukannya niscaya jatuh olehnya.
6. Bertolak pinggang.
7. Jahir di dalam Shalat Sir (bersuara keras pada shalat Zuhur dan Ashar) dan Sir ditempat yang jahir (bersuara pelan di Shalat Shubuh, Maghrib dan Isya’).
8. Membarengkan gerakan Imam di dalam ruku’, sujud atau lainnya.



Pasal Ke duapuluhdelapan
Yang Membatalkan Shalat

Perihal yang membatalkan shalat, yaitu:
1. Kedatangan hadast kecil atau besar.
2. Kedatangan najis yang tiada dimaaf, melainkan jika najis yang kering dan segera dijatuhkan dengan tiada memegang atau memikulnya dan tiada ada bekas-bekasnya ditempat kenanya itu
3. Terbuka aurat jika tidak segera ditutup.
4. Dengan sengaja menyebut dua huruf sekalipun tidak ada artinya atau satu huruf yang ada memiliki arti.
5. Sengaja makan atau minum sekalipun sedikit atau banyak, sekalipun karena lupa.
6. Bergerak tiga kali berturut-turut sekalipun karena lupa.
7. Menambah satu rukun fi’li dengan sengaja.
8. Mendahulukan gerakan Imam dengan dua rukun fi’li atau ketinggalan daripadanya dengan dua rukun fi’li dengan tiada uzur (sebab).
9. Niat di dalam hati untuk membatalkan shalat atau menggantungkan niat itu dengan sesuatu barang (keadaan) atau pergi datang fikiran untuk membatalkannya itu.



Pasal Ke duapuluhsembilan
Sunnah Sujud Sahwi

Sunnah melakukan sujud sahwi dua kali sujud, disebabkan karena 3 perkara, yaitu:
1. Meninggal sunnah ab’ad, misalnya:
a. Meninggalkan Tasyahud Awwal
b. Meninggalkan Shalawat di Tasyahud Awwal
c. Meninggalkan Shalawat atas keluarga Nabi di Tasyahud akhir.
d. Tidak membaca do’a qunut diwaktu shalat shubuh.
e. Tidak membaca shalawat atau taslim atas Nabi, keluarga atau sahabatnya di dalam do’a qunut.
2. Mengerjakan yang membatalkan shalat. Jika dikerjakannya itu dengan lupa maka tidak batal tetapi sunnah sujud sahwi, misalnya:
a. makan sedikit karena lupa
b. berkata-kata sedikit karena lupa
c. menambah satu rukun fi’li karena lupa.
3. Mengerjakan rukun fi’li dengan syak (ragu-ragu) apakah lebih atau tidak, misalnya:
a. Syak (ragu-ragu) apakah sudah sujud dua kali atau baru sekali, maka wajib sujud sekali lagi dan sunnah sujud sahwi.
b. Syak (ragu-ragu) apakah sudah empat raka’at atau baru tiga raka’at, maka wajib satu raka’at lagi dan sunnah sujud sahwi.

Adapun jatuhnya (dapat dilakukan) sujud sahwi itu bagi Munfarid (shalat sendiri) atau bagi Imam, dan niatnya (di dalam hati untuk melakukan sujud sahwi) wajib atas keduanya dengan tiada berlafaz (tidak diucapkan), jika berlafaz maka menjadi batallah shalatnya itu.
Adapun ma’mum maka wajib atasnya mengikuti imamnya jika imamnya melakukan sujud sahwi.


Pasal Ke tigapuluh
Sunnah Sujud Tilawah

Sunnah melakukan Sujud Tilawah sekali sujud, yaitu bagi orang yang membaca suatu ayat atau orang yang mendengarkan suatu ayat yang ada perintah untuk melakukan sujud.
Maka ayat yang memerintahkan sujud di dalam Al-Qur’an itu ada 14 (empat belas) ayat.
Jika yang membaca atau mendengar ayat itu berada di luar shalat, maka syarat melakukan Sujud Tilawah adalah sama seperti syarat-syarat shalat, yaitu:
1. Suci daripada hadast kecil dan besar.
2. Suci daripada najis.
3. Menghadap Qiblat.
4. Menutup aurat.

Adapun rukun Sujud Tilawah 4 perkara, yaitu:
1. Niat di dalam hati: “Sahjaku Sujud Tilawah karena Allah Ta’ala”, berbarengan dengan Takbiratul Ihram.
2. Takbiratul Ihram (اَللهُ اَكْبَرُ).
3. Sekali Sujud dengan Thuma’ninah (diam anggota badan sekedar سُبْحَانَ اللهِ).
4. Mengucapkan Salam seperti shalat, tetapi tidak dengan tasyahhud.

Jika yang membaca atau mendengar ayat itu berada di dalam shalat, maka sunnah bagi munfarid (shalat sendiri) atau bagi imam melakukan Sujud Tilawah.

Adapun niat sujud tilawah di dalam shalat maka ada khilaf (perselisihan pendapat) diantara ulama-ulama, ada yang mengatakan wajib niat ada yang mengatakan sunnah niatnya, tetapi kedua-duanya mu’tamad (memiliki kekuatan).
Sedangkan bagi ma’mum maka wajib atasnya mengikuti imamnya bilamana imam melakukan sujud tilawah

Syarah (6)

Pasal Ke dua puluh empat
Zikir-zikir didalam Shalat

1. Segala zikir di dalam Shalat adalah sebagai berikut:
a. Niat Shalat sebelum Takbiratul Ihram.
Segala lafaz niat yang akan datang ini yaitu jika shalat munfarid yakni sendiri, adapun jika menjadi ma’mum maka ditambah مَأْمُوْمًا yakni mengikuti imam, dan jika menjadi imam maka ditambah اِمَامًا yakni menjadi imam.


Niat Shalat Shubuh:

اُصَلِّىفَرْضَ الصُّبْحِ رَكْعَتَيْنِ (مَأْمُوْمًا/اِمَامًا) ِللهِ تَعَالَى، اَللهُ اَكْبَرُ.

Artinya:
Sahjaku Shalat fardhu Shubuh dua raka’at (mengikuti imam/menjadi imam) Lillahi Ta’ala, Allah yang Maha Besar.

Niat Shalat Zhuhur:

اُصَلِّىفَرْضَ الظُّهْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ (مَأْمُوْمًا/اِمَامًا) ِللهِ تَعَالَى، اَللهُ اَكْبَرُ.

Artinya:
Sahjaku Shalat fardhu Zhuhur empat raka’at (mengikuti imam/menjadi imam) Lillahi Ta’ala, Allah yang Maha Besar.

Niat Shalat Ashar:

اُصَلِّىفَرْضَ الْعَصْرِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ (مَأْمُوْمًا/اِمَامًا) ِللهِ تَعَالَى، اَللهُ اَكْبَرُ.

Artinya:
Sahjaku Shalat fardhu Ashar empat raka’at (mengikuti imam/menjadi imam) Lillahi Ta’ala, Allah yang Maha Besar.


Niat Shalat Maghrib:

اُصَلِّىفَرْضَ الْمَغْرِبِ ثَلاَثَ رَكَعَاتٍ (مَأْمُوْمًا/اِمَامًا) ِللهِ تَعَالَى، اَللهُ اَكْبَرُ.

Artinya:
Sahjaku Shalat fardhu Maghrib tiga raka’at (mengikuti imam/menjadi imam) Lillahi Ta’ala, Allah yang Maha Besar.

Niat Shalat Isya:

اُصَلِّىفَرْضَ الْعِشَآءِ اَرْبَعَ رَكَعَاتٍ (مَأْمُوْمًا/اِمَامًا) ِللهِ تَعَالَى، اَللهُ اَكْبَرُ.

Artinya:
Sahjaku Shalat fardhu Isya empat raka’at (mengikuti imam/menjadi imam) Lillahi Ta’ala, Allah yang Maha Besar.

b. Do’a Istiftah dibaca sesudah Takbiratul Ihram.
Inilah Bacaannya:

اَللهُ اَكْبَرُكَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ ِللهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَّاَصِيْلاً، وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَالسَّمَـوَاتِ وَاْلاَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَااَنَامِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. اِنَّصَلاَتِىْ وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِىْ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ. لاَشَرِيْكَ لَهُ وَبِذَ لِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَا لْمُسْلِمِيْنَ.

Artinya:
Allah yang Maha Besar Kebesarannya, dan segala Puji bagi Allah puji yang banyak, Maha Suci Allah Ta’ala senantiasa pagi dan sore.Aku hadapkan mukaku pada Rahmat Tuhan yang menjadikan segala langit dan bumi pada hal muslim dan tiada aku daripada orang yang musyrik (menyekutukan) Sesungguhnya Shalatku dan ibadahku dan hidupku dan matiku hanya bagi Allah, Tuhan seru sekalian Alam. Tiada sekutu bagi-Nya dan dengan yang demikian itu tidak aku diperintahkan dan aku daripada kaum yang Islam.

c. Membaca Surah Al-Fatihah.
Inilah Bacaannya:

* اَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ.
* بِسْـمِ اللهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيْمِ.
* اَلْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ.
* اَلرَّحْمَـنِ الرَّحِيْمِ.
* مَـلِكِ يَوْمِ الدِّ يْنِ.
* اِيَّاكَ نَعْبُدُ وَاِيَّاكَ نَسْتَعِيْنُ.
* اِهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيْمَ.
* صِرَاطَ الَّذِيْنَ اَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ، غَيْرِالْمَغْضُوْبِ عَلَيْهِمْ، وَلاَالضَّآلِّيْنَ.
* آمِيْنْ.

Artinya:
* Aku berlindung dengan Kuasa Allah Ta’ala daripada godaan Syaitan yang terkutuk.
* Dengan nama Allah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
* Segala Puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam.
* Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
* Raja di Hari Qiyamat. Hanya kepada Engkau kami menyembah dan hanya pada Engkau kami memohon pertolongan.
* Tunjukanlah kami jalan yang lurus.
* Yaitu perjalanan yang telah Engkau beri nikmat atas mereka itu Anbiya dan Mursalin Auliya Shalihin, bukan perjalanan yang dimurkai atas mereka itu daripada Yahudi dan bukan perjalanan yang sesat daripada Nasrani.
* Terimalah wahai Tuhanku.

d. Membaca Surah Al-Kafirun setelah Al-Fatihah pada raka’at yang pertama.
Inilah bacaannya:

* بِسْـمِ اللهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيْمِ.
* قُلْ يَـأَ يُّهَا الْكَـفِرُوْنَ.
* َلآ اَعْبُدُمَا تَعْبُدُوْنَ.
* وَ َلآ اَنْتُمْ عَـبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُ.
* وَ َلآ اَنَاعَابِدٌمَّا عَبَدْتُّمْ.
* وَ َلآ اَنْتُمْ عَـبِدُوْنَ مَآ اَعْبُدُ.
* لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ.

Artinya:
* Dengan nama Allah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
* Katakanlah olehmu Ya Muhammad: Hai orang-orang kafir.
* Tiada aku menyembah akan yang kamu sembah.
* Dan tiada kamu menyembah akan Tuhan yang ku sembah.
* Dan tiada aku sembah barang yang kamu sembah.
* Dan tiada nanti kamu sembah akan Tuhan yang ku sembah.
* Bagimu adalah agamamu dan bagiku adalah agamaku.

e. Membaca Surah Al-Ikhlas setelah Al-Fatihah pada raka’at yang kedua.
Inilah bacaannya:

* بِسْـمِ اللهِ الرَّحْمَـنِ الرَّحِيْمِ.
* قُلْ هُوَ اللهُ اَحَدٌ.
* اَللهُ الصَّمَدُ.
* لَمْ يَلِدْ وَلَمْ يُوْلَدْ.
* وَلَمْ يَكُنْ لَّهُ كُفُوًا اَحَدٌ.

Artinya:
* Dengan nama Allah Tuhan yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
* Katakanlah olehmu Ya Muhammad: Allah ituTuhan Yang Esa.
* Lagi yang diqasadkan oleh mahluk padanya tiada Allah Ta’ala beranak dan tiada diberanakkan dan tiada ada jadi baginya bandingan.

f. Takbir Intiqal ketika hendak Ruku’ dan bacaan ruku’
Inilah bacaannya:

اَللهُ اَكْبَرُ.
سُبْحَانَ رَبِّيَ الْعَظِيْمِ وَبِحَمْدِهِ (3×)

Artinya:
Allah Maha Besar.
Maha Suci Tuhanku yang Maha Besar dan segala puji baginya.

g. I’tidal setelah bangun dari ruku’.
Inilah bacaannya:

سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ.
رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَالسَّمَـوَاتِ وَمِلْ ءَ اْلاَرْضِ، وَمِلْ ءَمَا شِئْتَ مِنْ شَيْئٍ بَعْدُ.

Artinya:
Dikabulkan Allah Ta’ala bagi yang memuji padanya.
Hai Tuhan kami bagi Engkau segala puji sepenuhnya segala langit dan sepenuhnya bumi, dan sepenuhnya barang yang Engkau tentukan daripada ‘Arasy dan Kursy sesudahnya yang demikian itu.

h. Do’a Qunut setelah membaca do’a I’tidal untuk Shalat Shubuh.
Inilah bacaannya:

اَللَّـهُمَّ اهْدِنِيْ فِيْمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِيْ فِيْمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِيْ فِيْمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِيْ فِيْمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِيْ شَرَّمَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِيْ وَلاَ يُقْضَىعَلَيْكَ، وَإِنَّهُ لاَيَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، وَلاَ يَعِزُّ مَنْ عَادَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ، فَلَكَ الْحَمْدُ عَلَى مَا قَضَيْتَ، نَسْتَغْفِرُكَ وَنَتُوْبُ إِلَيْكَ، وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَىآلِهِ وَصَحْبِهِ وَسَلَّمَ.

Artinya:
Hai Tuhanku berikan aku Hidayat didalam bilangan kaum yang Engkau berikan Hidayat Dan beri Afiat padaku didalam bilangan kaum yang Engkau berikan Afiat padanya. Dan peliharakan aku didalam bilangan kaum yang Engkau peliharakan mereka itu Dan beri Barokah bagiku didalam bilangan barang yang Engkau beri padaku. Dan selamatkan aku daripada kejahatan yang engkau taqdirkan. Dan bahwasanya Engkau jua yang menghukumkan dan tidak dihukumkan atas Engkau. Dan bahwasanya tiada menjadi hina oleh orang yang Engkau peliharakan. Dan tiada menjadi mulya oleh orang yang Engkau seterukan dia. Telah Amat Kebesaran Engkau hai Tuhan kami dan Amat Ketingian Engkau maka bagi Engkau segala puji atas barang yang Engkau hukumkan. Aku mohon ampunan dan aku bertobat pada Engkau Dan berikan shalawat atas Nabi Muhammad yang ummi dan atas keluarganya dan sahabatnya dan berikanlah salam.

i. Sujud yang pertama setelah I’tidal.
Inilah bacaannya:

اَللهُ اَكْبَرُ.
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلاَعْلَى وَبِحَمْدِهِ (3×)

Artinya:
Allah Maha Besar.
Mahasuci Tuhanku yang Maha Tinggi.

j. Duduk Antara dua Sujud setelah sujud pertama.
Inilah bacaannya:

اَللهُ اَكْبَرُ.
رَبِّ اغْفِرْ لِيْ، وَارْحَمْنِىْ، وَاجْبُرْ نِىْ، وَارْ فَعْنِىْ، وَ ارْزُ قْنِىْ، وَاهْدِ نِىْ، وَعَا فِنِىْ، وَاعْفُا عَنِّى.

Artinya:
Allah Maha Besar.
Hai Tuhanku ampuni bagiku, dan berikanlah Rahmat bagiku, dan sempurnakan kekuranganku, dan tinggikanlah derajatku, dan berikanlah rizki padaku, dan beri hidayat kepadaku, dan afiatkan aku, dan maafkanlah aku.




k. Sujud yang kedua setelah duduk antara dua sujud.
Inilah bacaannya:

اَللهُ اَكْبَرُ.
سُبْحَانَ رَبِّيَ اْلاَعْلَى وَبِحَمْدِهِ (3×)

Artinya:
Allah Maha Besar
Mahasuci Tuhanku yang Maha Tinggi.

l. Di akhir Shalat maka duduk Tahiyyat.
Inilah bacaannya:

اَللهُ اَكْبَرُ.
اَلتَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَـاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَـاتُ ِللهِ. اَلسَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ. اَلسَّلاَمُ عَلَيِنَا وَعَلَى عِبَادِ اللهِ الصَّالِحِيْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهِ. وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدً ارَّسُوْلُ اللهِ.
اَللَّـهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وُذُرِّيَّتِهِ كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ.
وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ النَّبِيِّ اْلاُمِّيِّ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَأَزْوَاجِهِ وُذُرِّيَّتِهِ
كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيْمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيْمَ.
فِي الْعَالَمِيْنَ إِنَّكَ حَمِيْدٌ مَجِيْدٌ.
اَللَّـهُمَّ إِنِّيْ أَعُوْذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمِ، وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ، وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَ الْمَمَاتِ، وَمِنْ شَرِّ فِتْنَةِ الْمَسِيْحِ الدَّجَّالِ، وَمِنَ الْمَغْرَمِ وَالْمَأْثَمِ.
اَللَّـهُمَّ اغْفِرْلِيْ مَا قَدَّمْتُ، وَمَا أَخَّرْتُ، وَمَا أَسْرَرْتُ، وَمَا أَعْلَنْتُ، وَمَا أَسْرَفْتُ، وَمَا أَنْتَ أَعْلَمُ بِهِ مِنِّيْ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَ أَنْتَ الْمُؤَخِّرُ، لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ.
اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ.(2×)

Artinya:
Allah Maha Besar.
Segala kehormatan, segala keberkahan, segala Shalat, dan segala kesempurnaan hanya bagi Allah Ta’ala. Sejahtera atas engkau hai Nabi Muhammad, dan Rahmat Allah dan segala berkahnya. Sejahtera atas kami dan atas hamba Allah yang saleh-saleh. Aku ketahui dengan ikrar bahwa tiada Tuhan yang wajib disembah hanya Allah. Aku ketahui dengan ikrar bahwa Nabi Muhammad utusan Allah.
Hai Tuhanku berikan Rahmat atas Sayyidina Muhammad dan atas keluarga Sayyidina Muhammad. Hamba Engkau dan utusan Engkau Nabi yang ummi dan atas keluarga Sayyidina Muhammad dan atas sekalian istrinya dan keluarganya sebagaimana telah Engkau berikan shalawat atas Nabi Ibrahim dan atas keluarga Nabi Ibrahim.
Dan berikanlah barokah atas Sayyidina Muhammad. Hamba Engkau dan utusan Engkau Nabi yang ummi, dan atas keluarga Sayyidina Muhammad. Dan atas sekalian istrinya dan keluarganya, sebagaimana telah Engkau berikan barokah atas Nabi Ibrahim dan atas keluarga Nabi Ibrahim.
Di dalam sekalian bahwasanya Engkau jua Yang Terpuji lagi Yang Amat Mulya.
Hai Tuhanku bahwasanya aku berlindung dengan Engkau daripada siksa api neraka, Dan daripada siksa kubur, dan daripada fitnah dimasa hidup maupun setelah mati. Dan daripada kejahatan fitnah si mata buta sebelah yaitu dajjal. Dan daripada perutangan dan perbuatan dosa.
Hai Tuhanku ampuni bagiku daripada segala dosa yang terdahulu, dan yang akan datang, dan yang aku sembunyikan, dan yang aku nampakkan, dan yang aku terlampaukan Dan yang Engkau terlebih mengetahui daripadaku, dan Engkaulah mendahulukan, dan Engkau yang mengakhirkan.
Tiada Tuhan yang disembah hanya Engkau adanya.
Sejahtera atas kamu dan Rahmat Allah (2X)



Pasal Ke duapuluhlima
Zikir-zikir setelah Shalat

2. Setengah daripada zikir dan do’a yang dibaca setelah habis Shalat lima waktu adalah:

a. (3×) اَسْتَغْفِرُ اللهَ
Artinya:
Aku mohon ampunan daripada Allah.


b. Kemudian dilanjutkan dengan:

اَللَّـهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلاَمُ، وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ. فَحَيِّنَا رَبَّنَا بِا لسَّلاَمِ، وَأَدْخِلْنَا الْجَنَّةَ دَارَالسَّلاَمِ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ يَا ذَالْجَلاَلِ وَاْلإِكْرَامِ.
اَللَّـهُمَّ لاَ مَا نِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ، وَلاَ مُعْطِيَ لِمَا مَنَعْتَ، وَلاَ رَادَّ لِمَا قَضَيْتَ، وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ.
سُبْحَانَ اللهِ. (33×)
اَلْحَمْدُ ِللهِ. (33×)
اَللهُ اَكْبَرُ. (33×)
Artinya:
Hai tuhanku Engkau bernama As-Salaam, dan daripada Engkau jua Salaam, dan pada Engkau kembalinya Salaam. Maka hormatkanlah kami wahai Tuhan kami dengan Salaam, dan masukkanlah kami kedalam surga darus salaam. Telah Amat Kebesaran Engkau Ya Tuhan kami, dan Amat Ketinggian Engkau Ya Tuhan yang mempunyai Kebesaran dan Kemuliaan.
Ya Tuhanku tidak ada yang menambah bagi barang yang Engkau berikan, dan tidak ada yang memberi bagi barang yang engkau tambahkan, dan tidak ada yang dapat menolak bagi barang yang Engkau hukumkan. Dan tidak dapat memberi manfaat akan orang yang mempunyai harta daripada siksa Engkau oleh hartanya.
Maha Suci Allah. (33X)
Segala Puji Allah. (33X)
Allah yang Maha Besar. (33X)

c. Dan ditambah lagi khusus sehabis Shalat Shubuh dan Shalat Maghrib, sebelumnya yang demikian itu (sehabis Istighfar) dan sebelum menggeser atau merubah posisi duduk iftirash, maka dibaca sebagai berikut:

لاَ إِلَـهَ إِلاَّاللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، يُحْيِي وَيُمِيْتُ، وَهُوَ اَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيْرٌ. (10×)
اَللَّـهُمَّ أَجِرْنَا مِنَ النّاَرِ (7×)

Artinya:
Tiada Tuhan yang disembah dengan sebenar-benarnya hanya Allah, tiada sekutu bagi-Nya. Dan bagi-Nya Kerajaan, dan bagi-Nya segala Puji, dan adalah Tuhan yang menghidupkan dan yang mematikan, dan Ia-lah atas tiap-tiap sesuatu itu Maha Kuasa. (10 X)
Ya Tuhanku Jauhkan aku daripada siksa api neraka.(7 X)

d. Kemudian setelah itu membaca:

اَللَّـهُمَّ أَنْتَ السَّلاَمُ، وَمِنْكَ السَّلاَمُ، وَإِلَيْكَ يَعُوْدُ السَّلاَمُ.
Dan seterusnya ……

e. Kemudian membaca do’a di bawah ini, diawali dengan membaca Shalawat atas Nabi Muhammad Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan diakhiri atau ditutup juga dengan Shalawat.
Inilah do’anya:

اَللَّـهُمَّ أَعِنِّيْ عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ.
اَللَّـهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ عُمُرِ أَخِرَهُ، وَ خَيْرَ عَمَلِيْ خَوَاتِيْمَهُ، وَاجْعَلْ خَيْرَ أَيَّامِيْ يَوْمَ الْقَائِكَ.
اَللَّـهُمَّ إِنِّى أَسْأَ لُكَ الْجَنَّةَ، وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ، وَعَمَلٍ، وَنِيَّةٍ، وَاعْتِقَادِ. وَ أَعُوْذُبِكَ مِنْ النَّارِ، وَمَا قَرَّبَ إِلَيْهَا مِنْ قَوْلٍ، وَعَمَلٍ، وَنِيَّةٍ، وَاعْتِقَادِ.
اَللَّـهُمَّ إِنِّى أَسْأَ لُكَ الْعَفْوَ وَالْعَا فِيَةَ، فِى الدِّيْنِ وَالدُّنْيَا وَ اْلآ خِرَةِ.

Artinya:
Ya Allah Tuhanku, tolongkan aku atas mengucap Zikir pada Engkau, dan atas memberi Syukur pada Engkau, dan membaguskan ibadah pada Engkau
Ya Allah Tuhanku, jadikanlah yang terlebih kebajikan umurku diakhirnya, dan jadikanlah terlebih kebajikan segala amalku dipenghabisannya, dan jadikanlah yang terlebih kebajikan segala hari-hariku, yaitu hari yang aku bertemu pada Engkau.
Ya Allah Tuhanku, bahwasanya aku mohon pada Engkau Syurga, dan segala amal yang mendekatkan aku padanya dari perkataanku, perbuatanku, niatku dan keyakinanku. Dan aku berlindung dengan Engkau daripada api neraka, dan daripada segala amal yang mendekatkan padanya dari perkataanku, perbuatanku, niatku dan keyakinanku.
Ya Allah Tuhanku, bahwasanya aku mohon pada Engkau ma’af dan affiat di dalam perkara Agama, dan di dalam hal dunia dan akhirat. Amiiin.

Syarah (5)

Babush Shalah
Bab yang menerangkan perihal shalat


Pasal Ke sembilanbelas
Syarat-syarat Sahnya Shalat

Syarat-syarat sahnya shalat 10 perkara, yaitu:
1. Beragama Islam.
2. Tamyiz (dapat membedakan barang yang najis).
3. Suci daripada dua hadash (kecil dan besar).
4. Suci daripada najis dibadannya, pakaiannya dan di tempat shalatnya, melainkan najis yang ada maafnya yaitu seumpama sedikit darah daripada tubuhnya atau dari lainnya, demikian pula sedikit nanah jika daripada tubuhnya, demikian pula setitik najis yang tidak dapat dilihat dengan mata karena amat sedikitnya.
5. Menutup Aurat, yaitu aurat laki-laki antara pusar sampai lutut, dan aurat perempuan sekalian badannya melainkan muka dan kedua telapak tangannya hingga pergelangan.
6. Menghadap Kiblat, adapun kiblat untuk Jakarta dan negeri-negeri yang dekat padanya yaitu sebelah kanan dari barat laut sekedar tiga derajat. Maka jika dari barat daya ke kanan sekedar duapuluh lima derajat, diketahuinya itu menggunakan kompas.
7. Masuk waktu, bermula waktunya shalat Zhuhur yaitu gelincir matahari dan berakhirnya jika telah bersamaan bayangan tiap-tiap suatu benda yang berdiri tegak dengan sekedar tingginya setelah dibuang zhalul istiwa’ jika ada. Adapun waktu shalat Ashar yaitu apabila telah keluar waktu Zhuhur dan berakhir masuknya (terbenam) Matahari. Sedangkan waktunya shalat Maghrib adalah masuknya (terbenam) Matahari dan berakhirnya masuk Syafaqul Ahmar, yaitu mega merah disebelah barat. Adapun waktunya shalat Isya’ yaitu apabila keluar waktu Maghrib dan berakhir terbitnya fajar shadiq. Sedangkan waktunya shalat Shubuh yaitu terbitnya sinar fajar shadiq yaitu yang terang sinarnya disebelah timur, dan berakhirnya adalah terbitnya Matahari. Pengetahuan segala jadwal waktu shalat dengan jam demikian juga pengetahuan arah Kiblat, maka telah diatur kedua-duanya itu didalam jadwal waktu adanya.
8. Mengetahui bahwa Shalat Lima Waktu itu Fardhu, dan mengetahui akan rukun-rukunnya.
9. Jangan meng-I’tiqad-kan (berkeyakinan) bahwa sesuatu daripada rukun-rukunnya (dianggap) bahwa ia sunnah.
10. Menjauhkan (diri dari) segala yang membatalkan shalat.



Pasal Ke duapuluh
Rukun-rukun Shalat

Rukun-rukun Shalat 13 (tiga belas) perkara dengan menjadikan segala thuma’ninah yang di empat rukun itu lazimnya satu rukun, adapun jikalau dijadikan tiap-tiap thuma’ninah yang di empat rukun itu bahwa ia rukun sendiri-sendiri, maka jadilah bilangan rukun Shalat itu 17 (tujuhbelas) perkara, yaitu:
1. Niat di dalam hati ketika mengucapkan takbiratul ihram (اَللهُ اَكْبَرُ)
Apabila Shalat Fardhu maka:
a. wajib qashad, artinya “sajahku Shalat”.
b. wajib ta’ridh lilfardhiyah, artinya menyebut kata “fardhu”
c. wajib ta’yin, artinya menentukan waktu “Zhuhur” atau “Ashar” atau lainnya.

Adapun jikalau Shalat Sunnat yang ada waktunya atau ada sebabnya, maka wajib qashad dan wajib ta’yin saja. Sedangkan jikalau Shalat Sunnat yang tidak ada waktu dan tidak ada sebabnya, yaitu nafal muthlaq maka wajib qashad saja, sebagian lagi mengatakan wajib maqarinah ‘arfiyah yaitu wajib mengadakan qashad ta’ridh ta’yin di dalam hati ketika mengucapkan اَللهُ اَكْبَرُ (takbiratul ihram).
Artinya maqarinah ‘arfiyah yakni dengan mengucapkan ketiga-tiganya itu di dalam hati seluruhnya, atau beraturan maka jangan ada yang keluar daripada masa mengucapkan اَللهُ اَكْبَرُ.
Adapun jikalau Shalat berjama’ah maka wajib hukumnya atas ma’mum menambah lagi niat مَأْمُوْمًا (artinya mengikuti imam)
Adapun jikalau Shalat Jum’at maka wajib hukumnya atas imam menambah niat اِمَامًا artinya menjadi imam.
Sedangkan pada Shalat yang lain seperti Shalat Zhuhur atau Ashar atau lainnya, maka hukumnya Sunnah bagi imam niat اِمَامًا.

2. Takbiratul Ihram.
Syarat takbiratul ihram adalah bahwa wajib dengan lafadz bahasa arab, yaitu اَللهُ اَكْبَرُ, dan wajib ketika mengucapkan itu berdiri sendiri dan jangan menukarkan sesuatu daripada hurufnya dengan huruf yang lain, dan jangan menambah atau mengurangi satu hurufpun, dan jangan memanjangkan alif-nya atau ha-nya atau ba-nya. Dan wajib tertib antara dua lafadznya itu yakni wajib mendahulukan اَللهُ atas lafaz اَكْبَرُ.

3. Qiyam, artinya berdiri jika kuasa yaitu didalam Shalat Fardhu.
Adapun jikalau Shalat Sunnah maka boleh berduduk sekalipun kuasa untuk berdiri, akan tetapi afdhalnya adalah berdiri.
Adapun jikalau tidak kuasa berdiri di dalam Shalat Fardhu, maka boleh berduduk, dan jika tidak kuasa berduduk maka boleh berbaring atau sebagaimana kuasanya.

4. Membaca Surah Al-Fatihah.
Membaca Al-Fatihah dengan segala syiddah-nya, dan jangan digantikan hurufnya dengan huruf yang lain, seperti Ha dengan Kha, atau ‘ain dengan hamzah dan lain sebagainya.
Demikian pula hukumnya pada lain-lain rukun qauli seperti tasyahud akhir. Dan wajib membaca Al-Qur’an dengan tajwid sebagaimana telah diatur didalam tajwid, dan demikian pula hukum salah membaca Al-Fatihah atau Surah atau rukun qauli yang lain maka telah diatur didalam jadwal Al-Fatihah dengan segala dalil-dalilnya.
5. Ruku’.
Bermula sekurang-kurangnya Ruku’ adalah menunduk hingga mendapatkan dua telapak tangan pada lutut dengan berdiri lurus dua kakinya. Adapun afdhalnya yaitu hingga rata punggung dan tengkuknya, dan wajib thuma’ninah artinya berdiam segala anggota badannya sekedar masa mengucapkan سُبْحَانَ اللهِ .

6. I’tidal.
Artinya bangkit daripada Ruku’ kepada sebelumnya Ruku’, yakni jika ia Shalat berdiri maka kembali berdiri, dan jika ia Shalat berduduk maka kembali berduduk, dan wajib thuma’ninah.

7. Sujud.
Yakni dilakukan dua kali, dengan meletakkan tujuh anggota badannya, yaitu: Jidat/keningnya maka wajib terbuka, kedua telapak tangan, kedua lutut maka wajib tertutup, dan setengah perut jari kedua kakinya maka sunnah terbuka bagi laki-laki dan wajib tertutup bagi perempuan. Dan wajib thuma’ninah.

8. Duduk antara dua Sujud.
Duduk antara dua sujud afdhalnya adalah duduk Iftirasy yaitu seperti duduk pada tahiyat awwal dan duduk istirahat. Adapun artinya duduk iftirasy adalah duduk diatas telapak kaki kiri, dan wajib thuma’ninah.

9. Membaca Tasyahud Akhir.
Membaca tasyahud akhir dengan segala syarat-syaratnya seperti yang tersebut di rukun fatihah di atas.

10. Duduk didalam membaca tasyahud akhir.
Maka afdhalnya adalah duduk tawarruk artinya mengeluarkan kaki kiri dari sebelah bawah kaki kanan, dan duduknya di atas tikar/sejadah.



11. Membaca Shalawat atas Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pada Tasyahud Akhir. Maka sekurang-kurangnya adalah: اَللَّـهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ. Adapun afdhalnya maka nanti akan diterangkan pula dengan segala artinya.

12. Memberi Salam.
Maka sekurang-kurangnya adalah: اَلسَّلاَمُ عَلَيْكُمْ. Adapun afdhalnya nanti akan diterangkan pula dengan segala artinya.

13. Tertib.
Tertib artinya beraturan satu persatu daripada segala Rukun Shalat tersebut di atas.



Pasal Ke duapuluhsatu
Pembagian akan Rukun-rukun Shalat

Segala rukun-rukun Shalat yang tersebut di atas, terbagi kepada tiga bagian, yaitu:
1. Rukun Qalbi, artinya suatu rukun yang diwajibkan hadirnya di dalam hati, maka yaitu Niat Shalat.
2. Rukun Qauli, artinya suatu rukun yang diwajibkan untuk mengucapkannya, yaitu: Takbiratul Ihram, Al-Fatihah, Tasyahud Akhir, Shalawat atas Nabi Muhammad SAW dan Salam yang pertama.
3. Rukun Fi’li, artinya suatu rukun yang diwajibkan untuk melakukannya dengan perbuatan, yaitu: Qiyam atau berdiri, Ruku’, I’tidal, Kedua Sujud, Duduk antara dua Sujud, Duduk Tasyahud Akhir dan Tertib.






Pasal Ke duapuluh dua
Sunnah-sunnah dalam Shalat

Sunnah Shalat terbagi dengan 3 (tiga) bahagian, yaitu:
A. Sunnah sebelum Shalat.
B. Sunnah di dalam Shalat.
C. Sunnah setelah habis Shalat.

Adapun sunnah yang dibaca maka disebut sunnah qauliyah, sedangkan yang dihadirkan di dalam hati disebut sunnah qalbiyah, dan yang dikerjakannya dengan perbuatan disebut sunnah fi’liyah.
Adapun segala rukun-rukun qauli dan sunah-sunnah qauliyah maka sekaliannya itu nanti akan dijelaskan di dalam satu pasal tersendiri dengan memakai gantung luqhat.

A. Segala sunnah sebelum Shalat, maka yaitu:
1. Sunnah Adzan, maka terbagi itu dengan 3 (tiga) bahagian, yaitu:
a. Sunnah a’in, yaitu bagi laki-laki yang bershalat munfarid yakni shalat sendiri, maka tidak di sunnahkan jahir yakni keras.
b. Sunnah Kifayah khash-shah, yaitu sekedar berjama’ah yang hendak bershalat, maka sunnah jahir (keras) sekedar didengar oleh jama’ah itu saja.
c. Sunnah Kifayah ‘aqah, yaitu bagi sekalian orang yang di dalam suatu kampung atau dusun, maka sunnah jahir (keras) dengan suara keras lagi bagus, ditempat yang tinggi, dan sunnah berpaling kepalanya (si peng-azan) kekanan di حَيَّ عَلَىالصَّلاَةِ dan kekiri di حَيَّ عَلَىالْفَلاَحِ.
Dan sunnah di waktu Adzan Shubuh sesudahnya حَيَّ عَلَىالْفَلاَحِ membaca اَلصَّلاَةُ خَيْرٌمِنَ النَّوْمِ , artinya: Shalat lebih berkebajikan daripada tidur.

2. Sunnah Iqamat, Yaitu bagi laki-laki dan perempuan, dan sunnah bahwa tempat melakukan qamat berlainan tempatnya dengan adzan, dan lebih perlahan suaranya daripada adzan.
3. Sunnah membaca shalawat dan berdo’a sesudah selesai dari adzan maupun qamat.
4. Sunnah membuat suatu batas dihadapan orang yang sedang shalat seperti tembok, atau pagar atau tiang yang jarak antaranya tiga hasta.
5. Sunnah bersugi (bersikat gigi dengan siwak) sebelum melakukan shalat.
6. Sunnah berlafaz niat shalat.
7. Sunnah meratakan shaf (barisan), dan menyuruh meratakannya oleh seorang imam adalah lebih afdhal.

B. Segala Sunnah di dalam Shalat, maka yaitu:
1. Sunnah mengangkat kedua tangan pada; takbiratul ihram, ketika hendak ruku, bangun daripada ruku’ dan bangun daripada tasyahud awal.
2. Sunnah membaca do’a istiftah setelah takbiratul ihram.
3. Sunnah membaca اَعُوْذُبِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ sebelum membaca Al-Fatihah.
4. Sunnah membaca آمِيْنْ setelah membaca Al-Fatihah.
5. Sunnah membaca surah pada dua raka’at Shalat Subuh dan dua raka’at pada shalat-shalat yang lain.
6. Sunah membaca dengan jahir (keras) bagi munfarid (shalat sendiri) dan bagi imam pada dua raka’at Shalat Shubuh, Shalat Jum’at, Shalat Idhul Fitri & Idul Adha, dan dua raka’at pada permulaan Shalat Maghrib dan Isya.
7. Sunnah mengucapkan takbir intiqal yakni mengucapkan اَللهُ اَكْبَرُ ketika berpindah daripada suatu rukun kepada rukun yang lain, melainkan ketika bangun dari ruku’ maka sunnah mengucapkan سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ..
8. Sunnah membaca tasbih pada saat ruku’ dan sujud sebanyak tiga kali.
9. Sunnah membaca do’a I’tidal.
10. Sunnah membaca do’a qunut setelah do’a I’tidal pada Shalat Subuh.
11. Sunnah membaca do’a antara dua sujud.
12. Sunnah membaca do’a setelah tasyahud akhir.
13. Sunnah meletakkan kedua tangan dibawah dan diatas pusar ketika sedang berdiri Shalat.
14. Sunnah memandang kepada tempat sujud.
15. Sunnah meletakkan kedua tangan di atas lutut ketika duduk tasyahud, dan sunnah memegang seluruh jari-jari tangan kanannya kecuali telunjuknya maka dilepaskannya dan diangkatnya ketika mengucapkan اِلاَّ اللهُ.
16. Sunnah berpaling muka ke kanan pada salam yang pertama dan berpaling ke kiri pada salam yang kedua.



Pasal Ke duapuluh tiga
Bacaan Rukun Qauli & Sunnah Qauliyah

Segala lafadz rukun qauli dan segala sunnah qauliyah adalah sebagai berikut:
1. Sunnah qauliyah Adzan:
Inilah Lafaznya:


* اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ. (2×)
* اَشْهَدُاَنْ لآَ اِلَـهَ اِلاَّاللهُ. (2×)
* اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدً ارَّسُوْلُ اللهْ. (2×)
* حَيَّ عَلَىالصَّلاَةِ. (2×)
* حَيَّ عَلَىالْفَلاَحِ. (2×)
* اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ.
* لآَ اِلَـهَ اِلاَّاللهُ.

Artinya:
* Allah Tuhan Yang Maha Besar, Allah Tuhan Yang Maha Besar. (2X)
* Aku ketahui dengan Ikrar bahwasanya tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah. (2X)
* Aku ketahui dengan ikrar bahwasanya Nabi Muhammad Utusan Allah. (2X)
* Marilah atas ber-Shalat. (2X)
* Marilah atas keberuntungan. (2X)
* Allah Tuhan Yang Maha Besar, Allah Tuhan Yang Maha Besar.
* Tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah.

2. Adapun yang mendengar Adzan maka sunnah baginya mengikuti lafaz adzan tersebut, melainkan pada: حَيَّ عَلَىالصَّلاَةِ dan حَيَّ عَلَىالْفَلاَحِ maka dijawab dengan:

لاَحَوْلَ وَلاَقُوَّةَ إِلاَّبِاللهِ.
Artinya:
Tiada daya upaya atas membuat taat atau meninggalkan maksiat hanya dengan pertolongan Allah Ta’ala.

Dan ketika muadzzin (peng-adzan) mengucapkan:

أَلصَّلاَةُ خَيْرٌمِنَ النَّوْمِ.

pada Adzan Subuh, maka dijawab dengan:

صَدَقْتَ وَبَرِرْتَ.
Artinya:
Benarlah engkau dan berbaktilah engkau.

3. Sunnah membaca shalawat dan berdo’a sesudah selesai dari adzan.
Inilah Lafaznya:

اَللَّـهُمَّ صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ.

Artinya:
Hai Tuhanku beri Rahmat ta’zim dan sejahtera atas Sayyidina Muhammad dan atas keluarga Sayyidina Muhammad.

اَللَّهُمَّ رَبَّ هَـذِهِ الدَّعْوَةِ التَّآمَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَآئِمَةِ، آتِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدَا اِنلْوَسِيْلَةَ وَالْفَضِيْلَةَ، وَابْعَثْهُ الْمَقَامَا لْمَحْمُوْدَ انِلّ‍ًَذِيْ وَعَدْتَهُ، يَآ اَرْحَمَ ارَّحِمِيْنَ.

Artinya:
Allah Tuhanku, ini panggilan yang sempurna yakni Adzan, Dan Shalat yang berdiri, Berilah kiranya oleh Engkau atas Sayyidina Muhammad tempat yang amat tinggi di surga.






4. Sunnah qauliyah Qamat:
Inilah Lafaznya:

* اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ.
* اَشْهَدُ اَنْ لآَ اِلَـهَ اِلاَّ اللهُ.
* اَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدً ارَّسُوْلُ اللهْْ.
* حَيَّ عَلَى الصَّلاَةِ.
* حَيَّ عَلَى الْفَلاَحِ.
* قَدْقَامَتِ الصَّلاَةُ.
* قَدْقَامَتِ الصَّلاَةُ.
* اَللهُ اَكْبَرُ، اَللهُ اَكْبَرُ.
* لآَ اِلَـهَ اِلاَّ اللهُ.

Artinya:
* Allah Tuhan Yang Maha Besar, Allah Tuhan Yang Maha Besar.
* Aku ketahui dengan Ikrar bahwasanya tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah.
* Aku ketahui dengan ikrar bahwasanya Nabi Muhammad Utusan Allah.
* Marilah atas ber-Shalat.
* Marilah atas menuju keberuntungan.
* Telah hampir berdiri Shalat.
* Telah hampir berdiri Shalat.
* Allah Tuhan Yang Maha Besar, Allah Tuhan Yang Maha Besar.
* Tiada Tuhan yang disembah melainkan Allah.

Do’a sesudah selesai dari Qamat.
Inilah Bacaannya:

اَللَّـهُمَّ رَبَّ هَـذِهِ الدَّعْوَةِ التَّآمَّةِ، وَالصَّلاَةِ الْقَآئِمَةِ، صَلِّ وَسَلِّمْ عَلَىسَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَآتِهِ سُؤْلَهُ يَوْمَ الْقِيَامَتِ.

Artinya:
Allah Tuhanku, ini panggilan yang sempurna yakni Qamat, Dan Shalat yang berdiri, Shalawat serta sejahtera atas Sayyidina Muhammad, Berikanlah padanya segala permintaan dihari Qiyamat.
5. Sunnah dibaca ketika berdiri pada Shaf Shalat.
Inilah Bacaannya:

اَللَّـهُمَّ آتِنِى أَفْظَلَ مَا تُؤْتِى عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ.
Artinya:
Allah Tuhanku, berikanlah aku yang lebih afdhal yang Engkau berikan kepada segala hamba Engkau yang shaleh.

Syarah (4)

Pasal Ke enambelas
Barang-barang yang Najis

Perihal barang-barang yang najis adalah:
1. Anjing dan babi.
2. Arak (minuman keras) dan tiap-tiap minuman yang memabukkan.
3. Air kencing manusia atau binatang.
4. Kotoran manusia atau kotoran binatang.
5. Darah.
6. Nanah.
7. Madzi (cairan yang keluar sebelum keluar air mani) dan wadhi (cairan yang keluar bila seseorang yang bekerja keras)
8. Bangkai segala binatang kecuali bangkai ikan dan balang kayu.
9. Segala anggota tubuh binatang yang hidup jika berpisah daripada binatangnya maka hukumnya itu seperti bangkai, kecuali bulu binatang yang halal dimakan dagingnya.



Pasal Ke tujuhbelas
Membasuhkan Barang yang terkena Najis

Membasuh barang yang terkena najis yang mughalladhah (najis besar) yaitu anjing dan babi, maka wajib di sertu yaitu membasuhkannya tujuh kali, dan yang sekalinya itu dengan campuran tanah atau lumpur yang suci, sesudah hilang akan rasa, bau dan rupanya.
Adapun najis yang lain maka jika najis ‘ayniyah, yaitu najis yang ada rupanya atau rasanya atau baunya, maka wajib dibasuh hingga hilang ketiga-tiganya itu.
Adapun jikalau najis hukmiyah, yaitu bekas terkena najis akan tetapi tidak ada rupanya atau rasanya atau baunya, maka memadai membasuhnya dengan menyiram air padanya sekali saja, yaitu jika rata terkena air berjalan pada tempat-tempat yang terkena najis itu.



Pasal Ke delapanbelas
Perihal Haid dan Nifash

Bermula sekurang-kurangnya waktu haid (mens) sehari semalam, dan ghalibnya (umumnya) enam atau tujuh hari, dan sebanyak-banyaknya lima belas hari, inilah yang dihinggakan (batas) hari banyaknya (bilamana lebih dari 15 hari adalah darah dari suatu penyakit).
Sedangkan sekurang-kurangnya suci antara dua haid yaitu lima belas hari, dan tidak dihinggakan (batas) hari banyaknya.
Sekurang-kurangnya nifash itu sekali mengeluarkan darah sehabis melahirkan, dan ghalibnya (umumnya) empat puluh hari, dan sebanyak-banyaknya enampuluh hari.
Akan tetapi apabila dapat suci (bersih darah) daripada haidh, sekalipun belum cukup hari sebagaimana biasanya, atau dapat suci (bersih darah) daripada nifash sekalipun belum empatpuluh hari, maka wajib atas keduanya itu mandi hadash, kemudian melakukan shalat jika masih ada waktu shalat.
Dan apabila waktu itu tiada boleh (tidak cukup waktu) buat mandi hadash beserta shalat, maka diwajibkan qadha’ shalatnya itu sekalipun di akhir waktu sekedar takbiratul ihram lamanya.
Dan apabila mendapat suci itu (bersih darah) di akhir waktu ashar, maka wajib mengqadha’ Ashar dan Zhuhur.
Demikian pula jika mendapat suci (bersih darah) di waktu Isya’ maka wajib mengqadha’ Isya dan Maghrib.
Akan tetapi jika mendapat suci (bersih darah) diluar akhir waktu shalat itu (misalnya diakhir waktu zhuhur atau maghrib), maka diwajibkan mengqadha’ shalat di waktu itu saja.
Adapun perempuan yang kedatangan haid atau nifash sesudah masuknya waktu shalat fardhu sekedar cukup waktunya untuk melakukan shalat, padahal ia belum melakukan shalat, maka diwajibkan atasnya mengqadha’ shalat tersebut setelah suci nanti.