Jumaat, Disember 30

Imam al-Qusyairi, Maha Guru Sufi



Nama lengkapnya adalah Abdul Karim al Qusyairi. Nasabnya, Abdul Karim bin Hawazin bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad. Panggilannya Abul Qasim, sedangkan gelarnya cukup banyak, antara lain yang bisa kita sebutkan:

An-Naisaburi

Dihubungkan dengan Naisabur atau Syabur, sebuah kota di Khurasan, salah satu ibu kota terbesar Negara Islam pada abad pertengahan disamping Balkh, Harrat dan Marw. Kota di mana Umar Khayyam dan penyair sufi Fariduddin 'Atthaar lahir. Dan kota ini pernah mengalami kehancuran akibat perang dan bencana. Sementara di kota inilah hidup Maha Guru asy Syeikh al Qusyairi hingga akhir hayatnya.

Al-Qusyairi.

Dalam kitab al Ansaab' disebutkan, al Qusyairy sebenarnya dihubungkan kepada Qusyair. Sementara dalam Taajul Arus disebutkan, bahwa Qusyair adalah marga dari suku Qahthaniyah yang menempati wilayah Hadhramaut. Sedangkan dalam Mu'jamu Qabailil 'Arab disebutkan, Qusyair adalah Ibnu Ka'b bin Rabi'ah bin Amir bin Sha'sha'ah bin Mu'awiyah bin Bakr bin Hawazin bin Manshur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka mempunyai beberapa cucu cicit. Keluarga besar Qusyairy ini bersemangat memasuki Islam, lantas mereka datang berbondong bondong ke Khurasan di zaman Umayah. Mereka pun ikut berperang ketika membuka wilayah Syam dan Irak. Di antara mata rantai keluarganya adalah para pemimpin di Khurasan dan Naisabur, namun ada juga yang memasuki wilayah Andalusia pada saat penyerangan di sana.

Al-Istiwaiy
Mereka yang datang ke Khurasan dari Astawa berasal dari Arab. Sebuah negeri besar di wilayah Naisabur, memiliki desa yang begitu banyak. Batas batasnya berhimpitan dengan batas wilayah Nasa. Dan dari kota itu pula para Ulama pernah lahir.
Asy-Syafi'y
Dihubungkan pada mazhab asy Syafi'y yang dilandaskan oleh Muhammad bin Idris bin Syafi'y (150 204 H./767 820 M.).
Gelar Kehormatan
Ia memiliki gelar gelar kehormatan, seperti: Al Imam, al Ustadz, asy Syeikh (Maha Guru), Zainul Islam, al jaa'mi bainas Syariah wal haqiqat (Pengintegrasi antara Syariat dan Hakikat), dan seterusnya.
Nama nama (gelar) ini diucapkan sebagai penghormatan atas kedudukannya yang tinggi dalam bidang ilmu pengetahuan di dunia islam dan dunia tasawuf

Nasab Ibundanya:

Beliau mempunyai hubungan dari arah ibundanya pada as Sulamy. Sedangkan pamannya, Abu Uqail as Sulamy, salah seorang pemuka wilayah Astawa. Sementara nasab pada as Sulamy, terdapat beberapa pandangan. Pertama, as Sulamy adalah nasab pada Sulaim, yaitu kabilah Arab yang sangat terkenal. Nasabnya, Sulaim bin Manshur bin Ikrimah bin Khafdhah bin Qais bin Ailan bin Nashr. Kedua, as Salamy yang dihubungan pada Bani Salamah. Mereka adalah salah satu keluarga Anshar. Nisbat ini berbeda dengan kriterianya.

Kelahiran dan Wafatnya

Ketika ditanya tentang kelahirannya, al Qusyairy mengatakan, bahwa ia lahir di Astawa pada bulan Rablul Awal tahun 376 H. atau tahun 986 M. Syuja' al Hadzaly menandaskan, beliau wafat di Naisabur, pada pagi hari Ahad, tanggal 16 Rablul Akhir 465 H./l 073 M. Ketika itu usianya 87 tahun.
Ia dimakamkan di samping makam gurunya, Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq ra, dan tak seorang pun berani memasuki kamar pustaka pribadinya dalam waktu beberapa tahun, sebagai penghormatan atas dirinya.

Kehidupan Al-Qusyairi

Tidak banyak diketahui mengenai masa kecil al-Qusyairy, kecuali hanya sedikit sahaja.. Namun, yang jelas, beliau lahir sebagai yatim. Ayahnya telah wafat ketika usianya masih kecil. Kemudian pendidikannya diserahkan padaAbul Qasim al Yamany, salah seorang sahabat dekat keluarga al Qusyairy. Pada al Yamany, ia belajar bahasa Arab dan Sastra.
Para penguasa negerinya sangat menekan beban pajak pada rakyatnya. Al Qusyairy sangat terpanggil atas penderitaan rakyatnya ketika itu. Karenanya, dirinya tertantang untuk pergi ke Naisabur, mempelajari ilmu hitung, agar bisa menjadi pegawai penarik pajak, sehingga kelak bisa meringankan beban pajak yang amat memberatkan rakyat.
Naisabur ketika itu merupakan ibu kota Khurasan. Seperti sebelumnya, kota ini merupakan pusat para Ulama dan memberikan peluang besar berbagai disiplin ilmu. Syeikh al Qusyairy sampal di Naisabur, dan di sanalah beliau mengenal Syeikh Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan panggilan ad-Daqqaq, seorang pemuka pada zamannya. Ketika mendengar ucapan ucapan ad-Daqqaq, al-Qusyairy sangat mengaguminya. Ad-Daqqaq sendiri telah berfirasat mengenai kecerdasan muridnya itu. Karena itu ad-Daqqaq mendorongnya untuk menekuni ilmu pengetahuan.
Akhirnya, al Qusyairy merevisi keinginan semula, dan cita cita sebagai pegawai pemerintahan hilang dari benaknya, memilih jalan Tharikat.
Ustadz asy Syeikh mengungkapkan panggilannya pada Abu Ali ad-Daqqaq dengan panggilan asy-Syahid.

Kepandaian Berkuda

Al Qusyairy dikenal sebagai penunggang kuda yang hebat, dan ia memiliki keterampilan permainan pedang serta senjata sangat mengagumkan.

Perkahwinan

Syeikh al-Qusyairy mengawini Fatimah putri gurunya, Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury (ad Daqqaq). Fatimah adalah seorang wanita yang memiliki prestasi di bidang pengetahuan sastra, dan tergolong wanita ahli ibadat di masanya, serta meriwayatkan beberapa hadis. Perkawinannya berlangsung antara tahun 405 412 H./1014-1021 M.

Putera Puterinya

Al Qusyairy berputra enam orang dan seorang putri. Putra-putranya menggunakan nama Abdu. Secara berurutan: 1) Abu Sa'id Abdullah, 2) Abu Sa'id Abdul Wahid, 3) Abu Manshur Abdurrahman, 4) Abu an Nashr Abdurrahim, yang pernah berpolemik dengan pengikut teologi Hanbaly karena berpegang pada mazhab Asy'ari. Abu an Nashr wafat tahun 514 H/1120 M. di Naisabur, 5) Abul Fath Ubaidillah, dan 6) Abul Mudzaffar Abdul Mun'im. Sedangkan seorang putrinya, bernama Amatul Karim.
Di antara salah satu cucunya adalah Abul As'ad Hibbatur-Rahman bin Abu Sa'id bin Abul Qasim al Qusyairy.

Menunaikan Haji

Maha Guru imam ini menunaikan kewajiban haji bersamaan dengan para Ulama terkenal, antara lain: 1) Syeikh Abu Muhammad Abdullah binYusuf al-Juwainy (wafat 438 H./1047 M.), salah seorang Ulama tafsir, bahasa dan fiqih, 2) Syeikh Abu Bakr Ahmad ibnul Husain al-Balhaqy (384 458 H./994 1066 M.), seorang Ulama pengarang besar, dan 3) Sejumlah besar Ulama ulama masyhur yang sangat dihormati ketika itu.

Belajar dan Mengajar

Para guru yang menjadi pembimbing Syeikh al Qusyairy tercatat:

Abu Ali al-Hasan bin Ali an Naisabury, yang populer dengan nama ad-Daqqaq.
Abu Abdurrahman - Muhammad ibnul Husain bin Muhammad al-Azdy as Sulamy an Naisabury (325 412 H./936 1021 M.), seorang Ulama Sufi besar, pengarang sekaligus sejarawan.
Abu Bakr - Muhammad bin Abu Bakr ath-Thausy (385 460 H./995 1067 M.). Maha Guru al Qusyairy belajar bidang fiqih kepadanya. Studi itu berlangsung tahun 408 H./1017 M.
Abu Bakr - Muhammad ibnul Husain bin Furak al Anshary al-Ashbahany (wafat 406 H./1015 M.), seorang Ulama ahli Ilmu Ushul. Kepadanya, beliau belajar ilmu Kalam.
Abu Ishaq - Ibrahim bin Muhammad bin Mahran al Asfarayainy (wafat 418 H./1027 M.), Ulama fiqih dan ushul. Hadir di Asfarayain. Di sana (Naisabur) beliau dibangunkan sebuah madrasah yang cukup besar, dan al-Qusyairy belajar di sana. Di antara karya Abu Ishaq adalah al-jaami' dan ar-Risalah. Ia pernah berpolemik dengan kaum Mu'tazilah. Pada syeikh inilah al-Qusyairy belajar Ushuluddin.
Abul Abbas bin Syuraih. Kepadanya al-Qusyairy belajar bidang fiqih.
Abu Manshur - Abdul Qahir bin Muhammad al Baghdady at-Tamimy al-Asfarayainy (wafat 429 H./1037 M.), lahir dan besar di Baghdad, kemudian menetap di Naisabur, lalu wafat di Asfarayain.

Di antara karya karyanya, Ushuluddin; Tafsiru Asmaail Husna; dan Fadhaihul Qadariyah. Kepadanya al Qusyairy belaj'ar mazhab Syafi'y.

Disiplin Ilmu Keagamaan

Ushuluddin: Al Qusyairy belaj'ar bidang Ushuluddin menurut mazhab Imam Abul Hasan al Asy'ary.
Fiqih: Al Qusyairy dikenal pula sebagai ahli fiqih mazhab Syafi'y.
Tasawuf: Beliau seorang Sufi yang benar benar jujur dalam ketasawufannya, ikhlas dalam mempertahankan tasawuf Komitmennya terhadap tasawuf begitu dalam. Beliau menulis buku Risalatul Qusyairiyah, sebagaimana komitmennya terhadap kebenaran teologi Asy'ary yang dipahami sebagai konteks spirit hakikat Islam. Dalam pleldoinya terhadap teologi Asy'ary, beliau menulis buku: Syakayatu Ahlis Sunnah bi Hikayati maa Naalahum minal Mihnah.
Karena itu al Qusyairy juga dikenal sebagai teolog, seorang hafidz dan ahli hadis, ahli bahasa dan sastra, seorang pengarang dan penyair, ahli dalam bidang kaligrafi, penunggang kuda yang berani. Namun dunia tasawuf lebih dominan dan lebih populer bagi kebesarannya.

Forum Imla'

Maha Guru al Qusyairy dikenal sebagai imam di zamannya. Di Baghdad misalnya, beliau mempunyai forum imla' hadis, pada tahun 32 H./1040 M. Hal itu terlihat dalam bait bait syairnya. Kemudian forum tersebut berhenti. Namun dimulai lagi ketika kembali ke Naisabur tahun 455 H./1063 M.

Forum Muzakarah

Maha Guru al Qusyairy juga sebagai pemuka forum-forum muzakarah. Ucapan-ucapannya sangat membekas dalam jiwa ummat manusia. Abul Hasan Ali bin Hasan al-Bakhrazy menyebutkan pada tahun 462 H./1070 M dengan memujinya bahwa al-Qusyairy sangat indah nasihat-nasihatnya. "Seandainya batu itu dibelah dengan cambuk peringatannya, pasti batu itu meleleh. seandainya iblis bergabung dalam majelis pengajiannya, bisa bisa iblis bertobat. Seandainya harus dipilah mengenai keutamaan ucapannya, pasti terpuaskan.
Hal yang senada disebutkan oleh al-Khatib dalam buku sejarahnya, Ketika Maha Guru ini datang ke Baghdad, kemudian berbicara di sana, kami menulis semua ucapannya. Beliau seorang yang terpercaya, sangat hebat nasihatnya dan sangat manis isyaratnya."
Ibnu Khalikan dalam Waftyatul Ayan, menyebutkan nada yang memujinya, begitu pula dalam Thabaqatus Syafi'iyah, karya Tajudddin as-Subky.

Murid-muridnya yang Terkenal

Abu Bakr - Ahmad bin Ali bin Tsabit al-Khatib al-Baghdady (392463 H./1002 1072 M.).
Abu Ibrahim - Ismail bin Husain al-Husainy (wafat 531 H./l 137 M.)
Abu Muhammad - Ismail bin Abul Qasim al-Ghazy an-Naisabury.
Abul Qasim - Sulaiman bin Nashir bin Imran al-Anshary (wafat 512 H/118 M.)
Abu Bakr - Syah bin Ahmad asy-Syadiyakhy.
Abu Muhammad - Abdul Jabbar bin Muhammad bin Ahmad al-Khawary.
Abu Bakr bin Abdurrahman bin Abdullah al-Bahity.
Abu Muhammad - Abdullah bin Atha'al-Ibrahimy al-Harawy.
Abu Abdullah - Muhammad ibnul Fadhl bin Ahmad al-Farawy (441530 H./1050 1136 M.)
Abdul Wahab ibnus Syah Abul Futuh asy-Syadiyakhy an-Naisabury.
Abu Ali - al-Fadhl bin Muhammad bin Ali al-Qashbany (444 H/ 1052 M).
Abul Tath - Muhammad bin Muhammad bin Ali al-Khuzaimy.

Cubaan yang Mendatang

Ketika popularitinya di Naisabur semakin meluas, Maha Guru telah mendapatkan cobaan melalui taburan kedengkian dan dendam dari jiwa para fuqaha di kota tersebut. Para fuqaha tersebut menganjurkan agar menghalangi langkah langkah popularitasnya dengan menyebar propaganda. Fitnah itu dilemparkan dengan membuat tuduhan tuduhan dusta dan kebohongan kepada orang orang di sekitar Syeikh. Dan fitnah itu benar benar berhasil dalam merekayasa mereka. Ketika itulah al Qusyairy ditimpa bencana yang begitu dahsyat, dengan berbagai ragam siksaan, cacian dan pengusiran, sebagaimana diceritakan oleh as-Subky.

Mereka yang mengecam. Al-Qusyairy rata-rata kaum Mu'tazilah dan neo-Hanbalian, yang memiliki pengaruh dalam pemerintahan Saljuk. Mereka menuntut agar sang raja menangkap al-Qusyairy, dicekal dari aktivitas dakwah dan dilaknati di berbagai masjid-masjid di negeri itu.
Akhirnya para murid muridnya bercerai-berai, orang-orang pun mulai menyingkir darinya. Sedangkan majelis-majelis dzikir yang didirikan oleh Maha Guru ini dikosongkan. Akhirnya, bencana itu sampai pada puncaknya, Maha Guru harus keluar dari Naisabur dalam keadaan terusir, hingga cobaan ini berlangsung selama limabelas tahun, yakni tahun 440 H. sampai tahun 455 H. Di selasela masa yang getir itu, beliau pergi ke Baghdad, dimana beliau dimuliakan oleh Khallfah yang berkuasa. Pada waktu waktu luangnya, beliau pergi ke Thous.
Ketika peristiwa Thurghulbeg yang tragis berakhir dan tampuk Khalifah diambil alih oleh Abu Syuja', al-Qusyairy kembali bersama rombongan berhijrah dari Khurasan ke Naisabur, hingga sepuluh tahun di kota itu. Sebuah masa yang sangat membahagiakan dirinya, karena pengikut dan murid-muridnya bertambah banyak.

RISALAH AL QUSYAIRI BAB 43: RINDU (SYAUQ)

مَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَأَتٍ۬‌ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ 

Sesiapa yang percaya akan pertemuannya dengan Allah (untuk menerima balasan), maka sesungguhnya masa yang telah ditetapkan oleh Allah itu akan tiba (dengan tidak syak lagi) dan Allah jualah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. (Al-Ankabut: 5)
'Atha'bin As-Sa'ib menuturkan bahawa ayahnya menceritakan kepadanya, "Suatu ketika Ammar bin Yasir mengimami kami solat dan dia mempercepatnya. "Aku berkata, “Anda tergesa-gesa dalam mengimami solat, wahai Abul Yaqzan.” Dia menjawab, “Hal itu tidak ada salahnya kerana aku memanjatkan kepadaAllah sebuah doa yang pernah kudengar dari Rasulullah saw.”
Ketika kami hendak pergi, salah seorang jamaah mengikutinya dan bertanya kepadanya tentang doa yang dibacanya itu. Dia pun mengulanginya,
Ya Allah, dengan ilmu-Mu tentang yang ghaib dan dengan kekuasaan-Mu atas semua makhluk, hidupkanlah aku jika Engkau tahu bahawa hidup itu membawa kebaikan untukku, dan matikanlah aku jika Engkau tahu bahawa mati itu membawa kebaikan untukku. Ya Allah, aku meminta kepada-Mu agar aku menjadi orang yang takut kepada-Mu dalam semua perkara, baik yang diketahui mahupun yang tidak diketahui. Aku meminta kepada-Mu [kemampuan untuk mengucapkan] perkataan yang adil ketika aku senang mahupun ketika aku marah. Aku meminta kepada-Mu kesederhanaan dalam kekayaan mahupun kemiskinan. Aku meminta kepada-Mu ketenangan dan kebahagiaan. Aku meminta kepada-Mu kerelaan dengan apa yang telah ditentukan untukku [di dunia ini], dan aku meminta kepada-Mu kehidupan yang diberkahi sesudah mati. Aku meminta agar dapat melihat wajah-Mu yang Agung. Aku meminta rindu kepada-Mu tanpa terkena bahaya atau [menjadi korban] godaan yang menipu. Ya Allah, hiasilah kami dengan keindahan iman. Ya Allah, hiasilah kami dengan keindahan iman. Ya Allah, jadikanlah kami sebagai pemberi petunjuk mahupun penerima petunjuk.”
Rindu adalah keadaan kekacauan hati yang berharap untuk berjumpa dengan sang Kekasih. [Dalamnya] rindu sebanding dengan cinta si hamba kepada Tuhan. Syeikh Abu AIi Ad-Daqqaq membezakan antara rindu (syauq) dan hasrat yang berkobar (isytiyaq): rindu terlerai oleh perjumpaan dengan Tuhan dan memandang kepada-Nya, tetapi hasrat yang berkobar tetap berlanjut bahkan setelah perjumpaan terjadi.
Mengenai hal ini para sufi bersyair,
Mata tidak pernah berpaling ketika melihat-Nya -
Tanpa segera kembali kepada-Nya, dengan penuh hasrat.
An-Nasrabadhi menyatakan, "Semua orang mempunyai hasrat yang berkobar. Barangsiapa yang memasuki hasrat yang berkobar akan demikian tenggelam di dalamnya hingga tidak ada lagi bekas atau kesan yang tertinggal tentang dirinya."
Diceritakan bahawa Ahmad bin Hamid Al-Aswad datang kepada Abdullah bin Munazil dan berkata kepadanya- “Aku bermimpi engkau akan meninggal setahun lagi. Barangkali engkau harus bersiap-siap untuk mati” Abdullah bin Munazil menjawab, “Engkau memberiku waktu lama sekali, satu tahun penuh! Aku selalu menyukai syair yang kudengar dari Abu Ali Ats-Tsaqafi ini:
Wahai engkau yang menderita rindu kerana lama berpisah,
Bersabarlah. Esok engkau pasti akan bertemu dengan Kekasihmu.
Abu Utsman menuturkan, “Tanda rindu adalah cinta yang tenteram kepada kematian”. Yahya bin Muadz menyatakan, “Tanda rindu adalah membebaskan jasad dari hawa nafsu.”
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan, “Pada suatu hari Dawud as pergi ke luar menuju padang pasir di mana Allah berwahyu kepadanya, “Wahai Dawud, bagaimana boleh Aku menemukanmu sendirian di sini?” Dawud menjawab, “Ya Allah, rinduku untuk bertemu dengan-Mu telah menghanguskan hatiku, aku tidak boleh lagi bersama-sama dengan manusia!”
Maka Allah lalu berfirman, “Kembalilah kepada mereka. Jika engkau hanya menunjuki satu orang hamba yang telah tersesat hingga dia kembali kepada-Ku, Aku akan menuliskan namamu di Lauh Mahfuzh sebagai seorang bijaksana yang besar.”
Diceritakan bahawa seorang pemuda yang termasuk dalam keluarga seorang wanita tua, kembali ke rumah setelah melakukan perjalanan. Semua anggota keluarganya bergembira kecuali si wanita tua, yang menangis. Orang-orang bertanya kepadanya, “Mengapa engkau menangis?” Dia menjawab, “Pulangnya pemuda ini mengingatkan aku pada hari kita akan kembali kepada Allah SWT.”
Ketika Ibn 'Atha' ditanya tentang rindu, dia menjawab, “Organ-organ dalaman terbakar, hati berkobar, dan jantung terpotong berkeping-keping.” Di kali yang lain dia ditanya, "Manakah yang lebih utama, rindu ataukah cinta?" Dia menjawab, “Cinta, kerana rindu lahir dari cinta." Salah seorang Sufi menyatakan, "Rindu adalah kobaran yang dinyalakan di dalam organ dalaman tubuh manusia; ia muncul kerana perpisahan [dengan Tuhan]. Manakala persatuan terjadi, maka kobaran itu padam, dan jika penyaksian atas sang Kekasih menguasai batin seseorang, maka rindu tidak akan menyatakan dirinya."
Salah seorang Sufi ditanya, “ Apakah engkau rindu kepada Allah?” Dia menjawab, "Tidak. Rindu hanyalah untuk orang yang tidak hadir sedang Dia selalu hadir."
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq berpendapat mengenai firman Allah,
قَالَ هُمۡ أُوْلَآءِ عَلَىٰٓ أَثَرِى وَعَجِلۡتُ إِلَيۡكَ رَبِّ لِتَرۡضَىٰ 
Nabi Musa menjawab: Mereka itu ada mengiringi daku tidak jauh dari sini dan aku segera datang kepadaMu, wahai Tuhanku, supaya Engkau reda akan daku. (Ta-Ha: 84)
Beliau mengatakan, "Maksud Musa adalah , "Aku bersegera kepada-Mu kerana rindu kepada-Mu," dan dia menyatakan hal itu dengan mengatakan, "Agar supaya Engkau redha kepadaku."
Beliau juga menyatakan, "Salah satu tanda rindu adalah keinginan untuk mati ketika dalam keadaan sihat dan gembira. Begitulah halnya Yusuf as. Ketika beliau dilemparkan ke dalam telaga, beliau tidak berkata kepada Allah, “Biarkanlah aku mati saja!” Ketika beliau dimasukkan ke dalam penjara, beliau tidak mengatakan, “,Biarkanlah aku mati saja!” Tetapi ketika orang tuanya datang kepadanya dan semua saudaranya bersujud kepadanya, beliau berkata,
رَبِّ قَدۡ ءَاتَيۡتَنِى مِنَ ٱلۡمُلۡكِ وَعَلَّمۡتَنِى مِن تَأۡوِيلِ ٱلۡأَحَادِيثِ‌ۚ فَاطِرَ ٱلسَّمَـٰوَٲتِ وَٱلۡأَرۡضِ أَنتَ وَلِىِّۦ فِى ٱلدُّنۡيَا وَٱلۡأَخِرَةِ‌ۖ تَوَفَّنِى مُسۡلِمً۬ا وَأَلۡحِقۡنِى بِٱلصَّـٰلِحِينَ 
"Wahai Tuhanku! Sesungguhnya Engkau telah mengurniakan daku sebahagian dari kekuasaan (pemerintahan) dan mengajarku sebahagian dari ilmu tafsiran mimpi. Wahai Tuhan yang menciptakan langit dan bumi Engkau Penguasa dan Pelindungku di dunia dan di akhirat; sempurnakanlah ajalku (ketika mati) dalam keadaan Islam dan hubungkanlah daku dengan orang-orang yang soleh". (Yusuf: 101)
Mengenai hal ini para Sufi membacakan syair berikut,
Kami hidup penuh kegembiraan,
Tapi hanya melalui Engkau kegembiraan dapat sempurna.
Cacat yang ada, wahai orang-orang yang kucintai,
Adalah bahawa kamu semua, tidak hadir sedangkan kami hadir.
Mereka juga membacakan,
Siapakah yang dapat digembirakan dengan pesta ini -
Sebab aku tidak merasakan hebahagiaan hari ini.
Kegembiraanku hanya akan sempurna,
Jika orang-orang yang kucintai dekat denganku.
Ibn Khafif mengatakan, "Rindu adalah kenikmatan hati yang muncul dari perasaan kerohanian dan kecintaan untuk berjumpa dengan Allah dengan cara dekat [dengan-Nya]."
Abu Yazid berkata, “Allah mempunyai hamba-hamba tertentu, jika Dia tidak berkenan menganugerahkan penyaksian kepada mereka, maka mereka akan berdoa minta dikeluarkan saja dari syurga sebagaimana para penghuni neraka minta dikeluarkan dari neraka.”
Al-Husain Al-Ansari menuturkan, "Aku bermimpi hari Kiamat telah tiba. Kulihat ada seseorang yang berdiri di bawah Arasy. Allah SWT bertanya, "Wahai para malaikat-Ku, siapakah ini?" Mereka menjawab, "Engkaulah yang Maha Mengetahui." Dia berfirman, "Ini adalah Ma'ruf Al-Karkhi. Dia mabuk cinta dengan-Ku; dia hanya akan tersedar setelah berjumpa dengan-Ku." Riwayat lain tentang mimpi ini mengatakan, "Ini adalah Makruf Al-Karkhi. Dia meninggalkan dunia dalam keadaan rindu kepada Allah. Maka Allah lalu mengizinkannya menatap wajah-Nya."
Faris menegaskan, "Hati orang-orang yang dipenuhi dengan rindu disinari dengan cahaya Allah SWT. Manakala kerinduan mereka berdesir dalarn hati mereka, maka cahaya itu menerangi langit dan bumi, dan Allah lalu menunjukkan mereka kepada para malaikat, seraya berkata: "Inilah orang-orang yang rindu kepada-Ku. Aku memanggilmu semua untuk menyaksikan bahawa Aku juga rindu kepada mereka, bahkan lebih besar dari kerinduan mereka ini.”

Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menjelaskan mengenai ucapan Nabi saw, "Aku memohon kepada-Mu agar diberi rindu untuk berjumpa dengan-Mu" dengan mengatakan, " [Pada mulanya] rindu terdiri dari seratus bahagian. Nabi memiliki sembilan puluh sembilan bahagian darinya, dan yang satu bahagian dibagi-bagi di kalangan ummat manusia. Beliau juga menginginkan yang satu bahagian itu, kerana beliau cemburu jika satu bahagian rindu diberikan kepada orang lain."
Dikatakan, "Orang-orang yang menikmati berdekatan dengan Tuhan mempunyai kerinduan yang lebih penuh kepada-Nya daripada mereka yang terhijab dari-Nya." Demikianlah dikatakan:
Yang paling buruk dari semuanya adalah hasrat di satu hari,
Ketika tenda-tenda saling rnendekat.
Dikatakan juga, "Orang-orang yang dipenuhi dengan rindu tidak merasakan apa pun selain kemanisan pada saat datangnya maut, kerana kegembiraan mencapai [Kekasih mereka] telah diungkapkan kepada mereka sebagai lebih manis daripada madu."
As-Sari menyatakan, "Rindu adalah keadaan yang paling besar bagi seorang arif. Manakala dia mencapai kerinduan, dia menjadi lupa akan segala sesuatu yang mungkin akan memalingkannya dari sumber kerinduannya."
Mengenai firman Allah SWT,
مَن كَانَ يَرۡجُواْ لِقَآءَ ٱللَّهِ فَإِنَّ أَجَلَ ٱللَّهِ لَأَتٍ۬‌ۚ وَهُوَ ٱلسَّمِيعُ ٱلۡعَلِيمُ 
Sesiapa yang percaya akan pertemuannya dengan Allah (untuk menerima balasan), maka sesungguhnya masa yang telah ditetapkan oleh Allah itu akan tiba (dengan tidak syak lagi) dan Allah jualah Yang Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui. (Al-Ankabut: 5)
Abu Utsman Al-Hirri menyatakan: "Ayat ini dimaksudkan untuk menenangkan hati mereka yang penuh dengan kerinduan. Ia bererti: "Aku tahu bahawa rindu kamu kepada-Ku begitu menenggelamkan. Aku telah menetapkan satu waktu bagi kamu untuk berjumpa dengan-Ku. Kamu semua akan segera datang kepada Dia yang kamu rindukan."
Dikatakan bahawa Allah SWT berwahyu kepada Dawud as, "Katakanlah kepada para pemuda Bani Israel, "Mengapa kamu menaruh perhatian kepada selain Aku di saat Aku rindu kepada kamu? Ini adalah kezaliman yang besar."
Dikatakan bahawa Dia juga berwahyu kepada Dawud, "Jika hanya mereka yang telah berpaling dari-Ku mengetahui betapa Aku telah menunggu mereka, melimpahkan kebaikan kepada mereka, dan merindukan agar mereka meninggalkan kemaksiatan terhadap-Ku, dan sendi-sendi mereka seakan meleleh kerana cinta kepada-Ku. Wahai Dawud, inilah cara-Ku bertindak terhadap mereka yang telah berpaling dari-Ku bayangkanlah bagaimana perlakuan-Ku terhadap mereka yang berpaling kepada-Ku."
Dikatakan bahawa dalam kitab Taurat tertulis, "Kami bangkitkan rindu dalam dirimu, namun engkau tidak rindu kepada Kami. Kami tanamkan rasa takut clalam dirimu, tapi engkau tidak takut kepada Kami, Kami menangisimu, tapi engkau sendiri tidak menangis.'
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menuturkan, "Suatu ketika Syuib menangis hingga matanya buta. Allah SWT mengembaliknn penglihatannya. Dia menangis lagi sampai buta, Allah mengembalikan lagi penglihatannya. Sekali lagi dia menangis sampai buta, dan Allah mengembalikan lagi penglihatannya. Kemudian, Allah berfirman kepadanya, “Jika engkau menangis kerana syurga, maka yakinilah bahawa Aku telah mengizinkanmu memasukinya. Jika engkau menangis kerana neraka, maka yakinilah bahawa Aku telah menjadikanmu selamat darinya.'
Syuib menjawab, “Aku menangis bukan kerana hal-hal itu. Aku menangis kerana rindu kepada-Mu. Allah berwahyu kepadanya, “Kerana itu Aku menunjuk rasul dan kalim (yang diajak bicara)-Ku [Musa as] untuk melayanimu selama sepuluh tahun.” Dikatakan, “Barangsiapa rindu kepada Tuhan, maka segala sesuatu merindukannya.”
Ada hadith yang mengatakan, “Syurga merindukan Ali, Ammar dan Salman.” Salah seorang syeikh menyatakan, "Aku pergi ke bazaar, dan barang-barang di situ merindukan aku. Tetapi aku bebas dari mereka semua."
Malik bin Dinar menyatakan, “Aku membaca dalam Taurat, “ Kami bangkitkan rindu dalam dirimu tetapi engkau tidak rindu kepada Kami. Kami mainkan seruling untukmu, tetapi engkau tidak menari.”
Al-Junaid ditanya, "Apa yang membuat seorang pencinta menangis manakala dia bertemu dengan Kekasihnya?" Dia menjawab, “Itu hanya kerana kegembiraannya yang besar atas-Nya dan kerana kerohanian yang lahir dari rindunya yang besar kepada-Nya. Aku telah mendengar sebuah cerita tentang dua orang bersaudara yang saling berpelukan [setelah lama berpisah]. Yang satu berkata, Wahai kerinduan! dan yang lain menjawab, Wahai kerohanian!"

RISALAH AL QUSYAIRI BAB 42: CINTA (MAHABBAH)

يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَن يَرۡتَدَّ مِنكُمۡ عَن دِينِهِۦ فَسَوۡفَ يَأۡتِى ٱللَّهُ بِقَوۡمٍ۬ يُحِبُّہُمۡ وَيُحِبُّونَهُ ۥۤ أَذِلَّةٍ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ أَعِزَّةٍ عَلَى ٱلۡكَـٰفِرِينَ يُجَـٰهِدُونَ فِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَلَا يَخَافُونَ لَوۡمَةَ لَآٮِٕمٍ۬‌ۚ ذَٲلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُ‌ۚ وَٱللَّهُ وَٲسِعٌ عَلِيمٌ 
Wahai orang-orang yang beriman! Sesiapa di antara kamu berpaling tadah dari agamanya (jadi murtad), maka Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Dia kasihkan mereka dan mereka juga kasihkan Dia; mereka pula bersifat lemah-lembut terhadap orang-orang yang beriman dan berlaku tegas gagah terhadap orang-orang kafir, mereka berjuang dengan bersungguh-sungguh pada jalan Allah dan mereka tidak takut kepada celaan orang yang mencela. Yang demikian itu adalah limpah kurnia Allah yang diberikanNya kepada sesiapa yang dikehendakiNya; kerana Allah Maha Luas limpah kurniaNya, lagi Meliputi PengetahuanNya. (Al-Maidah: 54)
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahawa Rasulullah saw telah bersabda, "Barangsiapa yang senang bertemu dengan Allah, maka Allah akan senang bertemu dengannya. Dan barangsiapa yang tidak senang bertemu dengan Allah, maka AIIah pun tidak akan senang bertemu dengannya."
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik, Rasulullah saw menuturkan bahawa Jibril as memberitahu bahawa Tuhannya SWT telah berfirman, "Barangsiapa yang menyakiti salah seorang wali-Ku, bererti telah memaklumkan perang kepada-Ku. Dan tidaklah Aku merasa ragu-ragu dalam melakukan sesuatu pun sebagaimana keraguan-Ku untuk mencabut nyawa hamba-Ku yang beriman, kerana dia membenci kematian dan Aku tidak suka menyakitinya, namun tidak ada jalan lari darinya. Cara yang paling baik bagi seorang hamba untuk mendekati-Ku adalah dengan melaksanakan kewajipan-kewajipan yang telah Ku-perintahkan kepadanya. Dan sentiasa dia mendekat kepada-Ku dengan melakukan ibadah-ibadah sunnah sampai Aku menyintainya. Dan bagi barangsiapa yang Ku-cintai, maka Aku menjadi telinganya, matanya, tangannya dan aku mewakilinya."
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahawa Nabi saw telah mengatakan, “ Apabila Allah menyintai salah seorang hamba-Nya, maka Dia berfirman kepada Jibril, “Wahai Jibril, Aku menyintai orang ini, maka cintailah dia juga.” Jibril pun lalu menyintai orang itu, dan dia berseru kepada para malaikat lainnya, “Allah SWT menyintai orang ini, maka hendaklah kamu juga menyintainya.” Para malaikat pun lalu menyintai orang itu, dan dia pun diterima oleh manusia di muka bumi.”
Malik menyatakan, "Aku percaya bahawa beliau mengatakan sesuatu yang sama mengenai kebencian Allah kepada seorang hamba."
Cinta adalah keadaan yang mulia yang telal dikukuhkan Allah sebagai sifat yang menjadi milik si hamba, dan Dia telah memaklumkan cinta-Nya kepada si hamba. Jadi Allah SWT disifatkan sebagai mencinta si hamba, dan si hamba disifatkan sebagai mencinta Allah.
Para ulama berpendapat bahawa cinta bererti kehendak atau hasrat. Tetapi kaum sufi memaksudkannya sebagai sesuatu yang lain dari kehendak yang sederhana manakala mereka berbicara tentang cinta. Hasrat tidak dapat dinisbahkan kepada Yang Abadi kecuali jika dengan menggunakan perkataan itu si hamba memaksudkan hasrat untuk membawa manusia mendekati Tuhan dan untuk memuliakan-Nya. Kamj akan membahas masalah ini secara singkat untuk mendukung pendapat para Sufi ini, Insya Allah.
Cinta Allah kepada si hamba adalah kehendak-Nya untuk melimpahkan rahmat secara khusus kepada seorang hamba tertentu, sebagaimana kasih sayang-Nya kepadanya adalah kehendak-Nya yang lebih umum untuk melimpahkan rahmat. Jadi rahmat mengandungi makna yang lebih khusus daripada kehendak, dan cinta mengandungi makna yang lebih khusus daripada rahmat. Kehendak Allah untuk memperluaskan pahala dan anugerah kepada si hamba disebut "rahmat," dan kehendak-Nya untuk menganugerahkan berdekatan dan keadaan yang luhur kepadanya disebut "cinta." Kehendak Allah adalah suatu sifat yang mengambil nama-nama yang berbeza menurut berbagai tindakan yang kepadanya sifat itu dikaitkan. Jika ia dikaitkan dengan hukuman, maka ia disebut “kemurkaan”. Jika ia dikaitkan secara khusus dengan anugerah-anugerah yang dilimpahkan secara universal, ia disebut "kasih rayang." Jika ia dikaitkan dengan anugerah-anugerah yang dilimpahkan secara khusus, ia disebut "cinta."
Sebahagian orang mengatakan, "Cinta Allah kepada seorang hamba terdiri dari pujian Allah kepadanya, dan ia menuju Allah terus-menerus.” Maksud cinta Allah kepada hamba menurut pandangan ini, iaitu kembali kepada ucapan-ucapan-Nya, dan ucapan-ucapan-Nya adalah abadi.
Sebahagian orang mengatakan, "Cinta Allah kepada si hamba terdiri dari sifat-sifat tindakan-Nya, sebagai manifestasi khusus kebaikan yang dengannya si hamba berjumpa dengan Tuhan dan keadaan khusus yang kepadanya Dia menaikkan si hamba."
Sebagaimana telah dijelaskan oleh salah seorang Sufi, "Rahmat Allah kepada si hamba berupa tindakan-Nya melimpahkan anugerah kepadanya."
Sekelompok kaum salaf menyatakan, "Kasih sayang Tuhan merupakan sifat yang disebut-sebut di dalam hadith." Mereka menggunakan kata tersebut tetapi tidak bersedia menafsirkannya. Di samping kemungkinan-kemungkinan tersebut di atas mengenai makna cinta Tuhan kepada si hamba adalah jenis-jenis cinta yang dialami dikalangan manusia, seperti menyintai sesuatu, merasakan kesenangan yang akrab dengan sesuatu, atau merasakan apa yang dirasakan oleh seorang manusia pencinta kepada kekasihnya; tetapi Allah Yang Baqa SWT melampaui semua jenis cinta ini. Mengenai cinta si hamba kepada Tuhan, itu adalah keadaan yang dialami dalam hatinya, yang terlalu pelik untuk dikatakan. Keadaan ini mendorong si hamba memahasucikan Tuhan dan berusaha memperoleh keredhaan-Nya.
Si hamba hanya memiliki sedikit saja kesabaran dalam berpisah dengan-Nya, merasakan kerinduan yang mendesak kepada-Nya, tidak menemukan kenyamanan dalam sesuatu pun selain-Nya, dan mengalami keakraban dalam hatinya dengan melakukan dzikir yang terus menerus kepada-Nya. Cinta si hamba kepada Tuhannya tidak menyiratkan kasih sayang atau kenikmatan dalam pengertian manusiawi. Bagaimana hal ini dapat terjadi jika esensi kemandirian Tuhan yang abadi melampaui semua hujung, pandangan dan pemahaman?
Menggambarkan si pencinta sebagai musnah dalam Sang Kekasih adalah lebih sesuai daripada menggambarkannya sebagai memperoleh kenikmatan pada-Nya. Tidak ada gambaran yang lebih jelas atau lebih mudah difahami tentang cinta daripada cinta itu sendiri. Orang terlibat dalam pembicaraan yang panjang lebar tentang masalah tersebut hanya jika timbul kesulitan-kesulitan, tetapi sekali kesamaran dan kekeliruan menghilang, maka tidak ada lagi keperluan untuk melibatkan diri dalam penafsiran kata-kata.
Orang telah berbicara banyak tentang cinta dan berspekulasi tentang etimologinya.
Dikatakan, "Cinta (hubb) adalah nama bagi jenis cinta yang paling murni, dan rasa sayang sebab orang Arab mengatakan tentang gigi yang paling putih 'habab al-asnan’. Dikatakan "Hubab adalah gelembung-gelembung yang terbentuk di atas permukaan air ketika hujan besar, jadi 'cinta (mahabbah) adalah menggelembungnya hati ketika ia haus dan berputus-asa untuk bertemu dengan kekasihnya."
Dikatakan juga, "Habab alma' adalah permukaan air yang paling tinggi. Cinta dinamakan mahabbah kerana ia adalah perhatian yang paling tinggi dari hati."Dikatakan, "Cinta disebut 'cinta kerana orang mengatakan ahabba untuk menggambarkan seekor unta yang berlutut dan menolak untuk bangkit lagi. Maka demikian pula, sang pencinta (mukibb) tidak akan menggerakkan hatinya menjauh dari mengingat kekasihnya (mahbub). "
Dikatakan, "Cinta (hubb) berasal dari kata 'hibb' yang bererti 'anting-anting.' Mengenai ini seorang penyair mengatakan,
Rambutnya yang seperti ular menjulur-julurkan lidahnya.
Menghabiskan malam di samping anting-anting,
mendengarkan rahsia - rahsia.
Dalam syair di atas, digunakan kata 'hibb' untuk anting-anting dikeranakan posisinya yang tetap ditelinga, atau kerana caranya bergoyang-goyang. Kedua maksud ini berlaku juga pada 'cinta’.
Dinyatakan, "'Cinta' diambil dari kata 'habb' (biji-bijian, mufradnya habbah), dan habbat al-qalb adalah apa yang seumpamanya. Dengan demikian'cinta [hubb] dinamakan hubb dikeranakan ia tersimpan dalam habbat al-qalb." Dikatakan, "Kata-kata untuk 'biji-bijian' dan 'cinta' [habb dan hubb] hanyalah pelbagai pembacaan dari satu [erti yang sama], seperti halnya kata-kata untuk 'masa hidup' (‘amr dan'umr)."
Dikatakan juga, "Kata 'cinta' berasal dari kata ‘hibbah’ yang bererti biji-bijian dari padang belantara. Cinta dinamakan 'habb' kerana ia adalah benih kehidupan, sebagaiman ‘habb' adalah benih tanaman." Dikatakan, 'Hubb' adalah keempat sisi di mana wadah air ditempatkan. Cinta dinamakan 'hubb' kerana ia memikul beban kejayaan mahupun kehinaan yang muncul dalam kesanggupan mencari sang kekasih.' Dikatakan juga, "Cinta berasal dari kata 'hibb' (kendi air) kerana ia berisi air, dan manakala ia penuh, tidak ada lagi tempat untuk sesuatu yang lain. Demikian pula, bilamana hati telah penuh dengan cinta, tidak ada lagi tempat di dalamnya untuk apa pun selain dari kekasih."
Ucapan-ucapan para syeikh tentang cinta banyak sekali. Salah seorang Sufi mengatakan, "Cinta adalah sentiasa berpaling kepada sang Kekasih dengan hati yang merasa kerana cinta."
Dikatakan, "Cinta bererti mengutamakan sang Kekasih di atas semua yang dikasihi." Dikatakan, "Cinta bererti bahawa si pencinta menyesuaikan diri dengan keinginan sang Kekasih, baik dia hadir di sisi-Nya ataupun berada jauh dari-Nya.”
Dikatakan, "Cinta adalah penghapusan oleh si pencinta atas sifat-sifatnya dan peneguhan Sang Kekasih dalam dzat-Nya."
Dikatakan, "Cinta adalah kesesuaian hati dengan keinginan Rabb.” Dikatakan juga, "Cinta bererti seseorang merasa takut kalau-kalau dia kurang hormat manakala melaksanakan sebuah pengabdian."
Abu Yazid Al-Bistami berpendapat, "Cinta adalah mengabaikan hal-hal yang sebesar apa pun yang datang dari dirimu, dan memandang besar hal-hal sekecil mana pun yang datang dari Kekasihmu." Sahl menyatakan "Cinta bererti memeluk kepatuhan [kepada sang Kekasih] dan berpisah dari ketidak patuhan [terhadap-Nya]." Ketika A]-Junaid ditanya tentang cinta dia mengatakan, "Cinta bererti sang kekasih mengambil sifat-sifat Kekasihnya dan membuang sifat-sifatnya sendiri." Di sini Al-Junaid menunjukkan betapa hati si pencinta disentap oleh ingatan kepada sang Kekasih hingga tidak satu pun yang tertinggal selain ingatan akan sifat-sifat sang Kekasih, hingga si pencinta lalai dan tidak sedar akan sifat-sifatnya sendiri.
Abu Ali Ar-Rudzbari menyatakan, "Cinta adalah kesesuaian dengan [keinginan sang Kekasih].” Abu Abdullah Al-Qurasyi menyatakan, "Hakekat cinta bererti bahawa engkau memberikan segenap dirimu kepada Dia yang kau cintai hingga tidak sesuatu pun yang tinggal dari dirimu untuk dirimu sendiri." Asy-Syibli menjelaskan, "Cinta disebut 'rnahabbah' kerana ia melenyapkan segala sesuatu dari hati, selain sang Kekasih." Ibn 'Atha' mengatakan, "Cinta bererti mengundang celaan yang tidak henti-hentinya."
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menegaskan, "Cinta adalah kemanisan, tetapi hakekatnya adalah kebingungan."
Beliau juga mengatakan, "Cinta yang berkobar-kobar ('isyq) melampaui semua batas dalam mahabbah. Allah SWT tidak dapat digambarkan sebagai melampaui batas, jadi Dia tidak dapat disifatkan sebagai memiliki 'isyq terhadap sesuatu. Jika cinta seluruh ummat manusia digabung menjadi satu dalam diri seorang manusia, maka cinta itu akan masih sangat jauh dari ukuran cinta yang seharusnya di persembahkan kepada-Nya. Janganlah hendaknya dikatakan, “Orang ini telah melampaui semua batas dalam mencintai Allah.” Allah tidak dapat dikatakan memiliki sifat cinta yang berkobar-kobar, tidak pula si hamba dapat digambarkan sebagai memilikinya dalam hubungannya dengan Tuhan. Cinta yang berkobar-kobar tidak dapat digunakan dalam menggambarkan hubungan antara manusia dengan Tuhan, sebab tidak ada dasar untuk mengaitkan hal itu dengan Tuhan, baik dari Dia kepada si hamba ataupun dari hamba kepada Tuhan."
Asy-Syibli menyatakan, "Cinta bererti engkau cemburu demi Sang Kekasih jangan-jangan seorang manusia sepertimu juga mencintai-Nya.” Ketika ditanya tentang cinta, Ibn'Atha' menjawab, "Cinta adalah bibit kecil yang ditanamkan dalam hati, yang berbuah sesuai dengan kemampuan akal." An-Nasrabadhi berpendapat, "Satu macam cinta mencegah pertumpahan darah sedang macam yang lain menyebabkan pertumpahan darah."
Samnun menyatakan, "Para pecinta Tuhan telah membawa kemuliaan di dunia dan di akhirat, sebab Nabi saw telah berkata, “Seseorang akan bersama dengan yang dicintainya, dan mereka bersama Allah SWT."
Yahya bin Muadz menyatakan, "Hakekat cinta adalah bahawa ia tidak akan berkurang manakala seseorang mengalami kesulitan, tidak pula bertambah jika dia disuguhi kebaikan." Dia juga mengatakan, "Orang yang mendakwakan diri mencintai Tuhan adalah pendusta jika dia mengabaikan batas-batas yang ditetapkan-Nya." Al-Junaid menegaskan, "Jika cinta seseorang itu sahih, maka-ketentuan mengenai adab menjadi tidak berlaku." Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq mengarang syair berikut tentang ucapan Al-Junaid,
Jika kasih sayang di kalangan manusia itu murni,
Dan cinta di kalangan mereka suci, nescaya saling puji di antara mereka tidak disukai.
Al-Junaid juga mengatakan, "Engkau tidak akar menjumpai seorang ayah yang baik memanggil anaknya dengan panggilan yang penuh penghormatan, sementara orang lain menggunakan sebutan yang penuh kesopanan untuk memanggil anaknya itu. Si ayah biasanya akan memanggil, “Hai fulan!"
Al-Kattani berkata, "Cinta adalah mengutamakan sang Kekasih [atas diri sendiri]." Bundar binAl-Husain menuturkan, "Seseorang bermimpi melihat Majnun dari Banu Amir dan bertanya kepadanya, “Apa yang telah dilakukan Tuhan terhadapmu?' Majnun menjawab, “Dia telah mengampuniku dan menjadikanku sebagai ada keupayaan terhadap para pecinta."
Abu Yaaqub As-Susi menyatakan, "Hakekat cinta adalah bahawa si hamba melupakan bahagian yang telah ditakdirkan baginya dari Tuhan dan juga keperluannya akan Dia di dunia ini." Al-Husain bin Mansur menyatakan, "Hakekat cinta adalah bahawa engkau selalu tinggal bersama Kekasihmu dan membuang sifat-sifatmu sendiri."
Seseorang mengatakan kepada An-Nasrabadhi, "[Mereka mengatakan] bahawa engkau belum pernah mengalami cinta." Dia menjawab, “Mereka benar. Tetapi aku memiliki kesedihan mereka, dan dalam hal itu aku terbakar.”
Dia juga mengatakan, "Cinta adalah menghindari kelalaian dalam semua keadaan." Kemudian dia bersyair:
Orang yang hasratnya memanjang merasakan semacam kelupaan,
Tapi aku tidak merasakan kelupaan kepada Laila.
Semakin dekat aku bersatu dengannya.
Terbentuk dari keinginan yang tidak terwujud,
berlalu bagaikan kilat.
Muhammad bin Al-Fadhl mengatakan, "Cinta bererti semua cinta, selain cinta sang Pencinta, lenyap dari hati." Al-Junaid menyatakan, “Cinta adalah perjuangan berterusan [demi Kekasih] tanpa hujung.” Dikatakan, “Cinta adalah gangguan yang ditempatkan oleh sang Kekasih dalam hati.” Dikatakan juga, "Cinta adalah goncangan besar yang ditempatkan dalam hati oleh Dia yang mereka hasratkan."
Ibn 'Atha' membacakan syair,
Kutanam satu cabang nafsu bagi orang-orang yang bercinta.
Dan tidak seorang pun tahu, sebelum aku, apa nafsu itu.
Ia menumbuhkan cabang-cabang, dan kerinduan sensual mematang.
Dan meninggalkan aku dengan rasa pahit dari buah-buahan yang manis.
Hasrat dari semua pencinta yang berkobar;
Jika mereka menelusurinya, datang dari sumber itu.
Dikatakan, “Awal mula cinta adalah penipuan, dan akhirnya pembunuhan.” Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq memberikan pandangan tentang hadith Nabi saw "Ia membutakan seseorang terhadap orang lain kerana cemburu, dan terhadap sang Kekasih kerana gentar." Kemudian beliau membacakan syair:
Jika kebesaran-Nya yang melimpah tidak nampak olehmu,
Nescaya aku akan diusir kembali dalam keadaan yang sama dengan orang yang belum pernah sampai -
Al-Harits Al-Muhasibi menjelaskan, "Cinta cenderung kepada sesuatu dengan segenap wujudmu, kemudian mengutamakannya atas dirimu sendiri, jiwamu sendiri, atau harta bendamu, kemudian berada dalam keserasian dengannya, baik secara lahir mahupun batin, kemudian mengetahui bahawa engkau masih berkekurangan dalam cintamu kepadanya"
As-Sari menyatakan, "Cinta antara dua pihak tidaklah sempurna sampai salah satunya dapat mengatakan kepada yang lain, “Wahai Diriku.” Asy-Syibli mengatakan, "Sang pecinta akan binasa jika berdiam diri, tetapi sang arif akan binasa jika tidak berdiam diri." Dikatakan, "Cinta adalah api dalam hati yang membakar segala sesuatu selain kehendak sang Kekasih'" Dikatakan juga, "Cinta adalah upaya besar sementara sang Pencinta melaksanakan kehendak sang Kekasih." An-Nuri mengatakan, "Cintabererti merobek tabir dan menyingkap rahsia-rahsia."
Abu Yaaqub As-Susi berkata, "Cinta hanya dapat dianggap benar jika orang telah meninggalkan kesedaran akan sang Kekasih dengan melupakan ilmu tentang cinta." Al-Junaid menuturkan, "As-Sari memberikan sepotong kertas kepadaku dan berkata,'Ini lebih baik bagimu daripada tujuh ratus kisah saleh atau hadith yang mengangkat [semangat].'
Pada kertas itu tertulis syair:
Ketika aku mengaku cinta kepadanya, dia berkata, 'Engkau berdusta kepadaku,'
Sebab apa yang harus kulakukan jika aku melihat anggota badanmu yang bulat penuh dan indah?
Tidak akan ada cinta sampai hati melekat pada organ-organ dalam.
Dan engkau mengering layu sampai tidak ada yang tinggal untuk menjawab sang penyeru,
Dan engkau tersia-sia sampai tidak ada lagi hasrat yang tinggal,
Selain mata yang menangis dan membisikkan hepadaku rahsiamu."
Ibn Masruq berpendapat, "Aku hadir ketika Samnun sedang berbicara tentang cinta, dan semua lampu di masjid lalu berguguran." Ibrahim bin Fatik menuturkan, "Suatu ketika aku sedang mendengarkan Samnun berbicara tentang cinta ketika seekor burung kecil datang dan bergerak ke arahnya. Ia terus mendekat hingga akhirnya duduk di tangannya. Kemudian ia mematuk-matukkan paruhnya ke lantai sampai darah mengalir dari mulutnya dan ia mati."
Al-Junaid menjelaskan, "Semua cinta adalah untuk satu tujuan. Jika tujuan itu tidak ada lagi, maka cinta pun akan berhenti." Diceritakan bahawa sekelompok orang datang mengunjungi Asy-Syibli ketika dia sedang dikurung di rumah sakit jiwa. Dia bertanya, "Siapa kamu ini?" Mereka menjawab, “Kami adalah orang-orang yang mencintaimu, wahai Abu Bakr!” Kemudian dia mulai melempari mereka dengan batu, dan mereka pun lari. Dia lalu berkata, “Jika kamu benar-benar mencintaiku, tentu kamu akan bersabar menghadap ujianku."
Lalu dia bersyair,
Wahai Tuan yang mulia, cinta kepadamu tersimpan dalam hatiku.
Wahai engkau yang menghilangkan tidur dari kelopak mataku,
engkau tahu semua yang menimpaku.
Yahya bin Muadz menulis kepada Abu Yazid, "Aku mabuk kerana minuman yang kuteguk dari cangkir cinta-Nya." Abu Yazid membalas, "Orang lain telah meminum lautan langit dan bumi namun rasa hausnya belum terpuaskan. Lidahnya menjulur dan dia me mohon, 'Apakah masih ada lagi?"
Para Sufi membacakan syair berikut,
Aku takjub terhadap orang yang berkata, "Aku mengingat-ingat kekasihku. "
Bagaimana aku dapat melupakan dan masih punya sesuatu untuk diingat?
Aku mati, tapi bila aku mengingat-Mu, aku hidup kembali.
Kalaulah bukan kerana harapanku akan Engkau, nescaya ahu tidak akan hidup.
Aku hidup dengan hasratku, dan aku mati kerana rindu.
Berapa kali aku telah hidup melalui harapan akan Engkau, dan berapa kali pula aku telah mati!
Aku meminum, cinta cangkir demi cangkir,
Namun si cangkir tetap saja penuh dan penuh lagi dan hausku pun tidak pernah reda.
Dikatakan bahawa Allah SWT mewahyukan kepada'Isa as, "Jika Aku melihat kepada hati seseorang dan Aku tidak menemukan cinta di dalamnya terhadap dunia ini ataupun akhirat, maka Aku akan memenuhinya dengan cinta-Ku.”
Saya melihat kisah berikut ini ditulis oleh Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq, "Salah satu kitab wahyu mengatakan, “ Wahai hamba-Ku, engkau mempunyai hak atas cinta-Ku, maka adalah hak-Ku bahawa engkau menyintai-Ku!”
Abdullah bin Mubarak menyatakan, "Barangsiapa dianugerahi satu bahagian cinta tapi tidak dianugerahi sejumlah rasa takut yang sama, bererti telah tertipu." Dikatakan, "Cinta menghapus semua bekas dirimu dari dirimu."
Dikatakan pula, "Cinta adalah keadaan mabuk; kesedaran hanya datang dengan melihat sang Kekasih. Tetapi kemabukan yang muncul kerana melihat Kekasih justru tidak dapat dilukiskan." Para Sufi membacakan syair berikut:
Cangkir diedarkan, dan mereka pun mabuk,
Tapi mabukku datang dari si pembawa cangkir itu sendiri
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq sering membacakan syair berikut:
Aku menikmati dua keadaan mabuk sedangkan teman-teman minumku hanya satu.
Hanya akulah di antara mereka yang mendapat anugerah itu.
Ibn 'Atha' mengatakan, " Cinta bererti mengundang celaan yang terus- menerus". Syeikh Abu Ali mempunyai seorang budak perempuan bernama Fairuz yang beliau cintai. Beliau mengatakan kepadaku, "Pada suatu hari Fairuz menghinaku, dengan mengucapkan kata-kata yang kasar dan kesat. Abul Hasan Al-Qari' bertanya kepadanya, “Mengapa engkau membuat Syeikh marah?” Dia menjawab, "Kerana saya mencintainya."
Yahya bin Muadz menyatakan- "Aku lebih suka memiliki cinta sebesar debu daripada ibadah selama tujuh puluh tahun tanpa cinta."
Diceritakan bahawa seorang pemuda memandang kepada orang-orang yang berkumpul pada hari raya dan bersyair,
Hendaklah orang yang ingin mati seperti pecinta mati seperti ini -
Cinta tanpa kematian tidaklah ada gunanya.
Kemudian dia melemparkan dirinya dari atas loteng rumah dan mati. Diceritakan bahawa seorang laki-laki dari India menaruh cinta yang berkobar-kobar kepada seorang budak perempuannya. Pada suatu hari si budak meninggalkannya, dia ke luar untuk mengucapkar selamat berpisah kepadanya. Air mata mengalir dari salah satu matanya, tapi matanya yang satu lagi tidak mengeluarkan air mata. Selama lapan puluh empat tahun dia menutup mata yang tidak menangis itu sebagai hukuman kerana tidak menangis ketika kekasihnya pergi.
Mengenai hal ini para sufi bersyair;
Mataku menangis di pagi hari kita berpisah,
Namun mata yang kikir menolak menangis.
Maha kuhukum mata yang kikir itu -
Dengan menutupnya di hari ketika kami saling mengucapkan selamat berpisah.
Salah seorang Sufi berkata, "Pada suatu hari ketika kami sedang berbincang-bincang dengan Dzun Nun Al-Mishri tentang cinta, dia meminta, ‘Tinggalkanlah pembicaraan ini, agar orang lain tidak mendengarmu dan mendakwakan dirimu [tahu] tentang cinta."' Kemudian dia bersyair:
Takut sesuai buat pelaku kejahatan ketika dia meratap, dan sedih,
Sementara cinta sesuai buat mereka yang saleh dan benar-benar suci.
Yahya bin Muadz menyatakan, "Siapa pun yang menyebarkan cinta di kalangan orang-orang yang asing terhadapnya, adalah pendusta dalam pernyataannya” Dikatakan bahawa seorang laki-laki menyatakan bahawa dia mencintai seorang pemuda. Suatu ketika si pemuda berkata kepadanya, "Bagaimana engkau dapat mencintaiku sementara saudaraku lebih tampan dan gagah dariku?" Laki-laki itu mengangkat kepalanya mencari-cari saudara si pemuda itu. Mereka berdua sedang berada di atas atap rumah, dan si pemuda lalu melemparkan laki-laki itu ke bawah, sambil berkata, “ Inilah balasan bagi orang yang menyatakan cinta kepadaku tapi lalu mencari-cari yang lain!"
Samnun lebih mengutamakan cinta daripada makrifat, tetapi kebanyakan sufi mengutamakan makrifat atas cinta. Menurut mereka yang telah mencapai hakekat, cinta bererti lebur ke dalam keadaar kemanisan, dan makrifat bererti menyaksikan dalam keadaan bingung dan terhapus dalam kegentaran.
Abu Bakr Al-Kattani menuturkan, “Persoalan cinta sedang dibicarakan di antara para syeikh di Makkah selama musim haji. Al-Junaid adalah orang termuda yang hadir. Mereka memanggilnya suatu kali, dan bertanya kepadanya, “Hai, orang Iraq, katakanlah kepada kami apa pendapatmu.” Al-Junaid menundukkan kepalanya dan menangis, kemudian menjawab, 'Cinta adalah seorang pelayan yang meninggalkan jiwanya dan melekatkan dirinya pada dzikir kepada Tuhannya, mengukuhkan diri dalam melaksanakan perintah-perintah Tuhan dengan kesedaran yang terus-menerus akan Dia dalam hatinya. Cahaya Dzat-Nya membakar hatinya dan dia ikut meminum minuman suci dari cangkir cinta-Nya. Yang Maha Kuasa terungkapkan kepadanya dari balik tabir alam ghaib-Nya, hingga manakala dia berbicara, dia berbicara dengan perintah Allah, dan apa yang dikatakannya adalah dari Allah. Manakala dia bergerak, dia bergerak dengan perintah Allah, dan manakala dia diam, maka diamnya itu adalah bersama Allah. Dia berbuat melalui Allah, dia milik Allah, dia bersama Allah.” Mendengar kata-kata Al-Junaid itu, semua syeikh itupun menangis, dan berkata, 'Tak ada lagi yang perlu dikatakan. Semoga Allah menguatkanmu, wahai mahkota para arifin!"
Diriwayatkan bahawa Allah SWT berwahyu kepada Dawud as, "Aku telah melarang cinta untuk-Ku memasuki hati manusia jika cinta kepada selain Aku juga punya tempat di dalamnya."
Abul Abbas, pelayan Al-Fudhail bin Iyadh, menuturkan, "Suatu ketika Al-Fudhail menderita sakit kencing manis. Dia mengangkat kedua tangannya ke atas dan berdoa, “Ya Allah, demi cintaku kepada-Mu, lepaskanlah penyakit ini dariku.” Begitu kami berpisah untuk pergi, dia pun sembuh."
Saya mendengar Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq mengatakan bahawa cinta bererti lebih mengutamakan orang lain daripada diri sendiri, seperti halnya isteri curang ketika dia menyesali apa yang telah dilakukannya, dengan menjelaskan,
قَالَتِ ٱمۡرَأَتُ ٱلۡعَزِيزِ ٱلۡـَٔـٰنَ حَصۡحَصَ ٱلۡحَقُّ أَنَا۟ رَٲوَدتُّهُ ۥ عَن نَّفۡسِهِۦ وَإِنَّهُ ۥ لَمِنَ ٱلصَّـٰدِقِينَ 
Isteri Al-Aziz pun berkata: "Sekarang ternyatalah kebenaran (yang selama ini tersembunyi), akulah yang memujuk Yusuf berkehendakkan dirinya (tetapi dia telah menolak); dan sesungguhnya dia adalah dari orang-orang yang benar. (Yusuf: 51)
Sebelumnya dia telah mengatakan [di hadapan suaminya setelah dia mencuba menggoda Yusuf],
وَٱسۡتَبَقَا ٱلۡبَابَ وَقَدَّتۡ قَمِيصَهُ ۥ مِن دُبُرٍ۬ وَأَلۡفَيَا سَيِّدَهَا لَدَا ٱلۡبَابِ‌ۚ قَالَتۡ مَا جَزَآءُ مَنۡ أَرَادَ بِأَهۡلِكَ سُوٓءًا إِلَّآ أَن يُسۡجَنَ أَوۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ۬ 
Dan mereka berdua pun berkejaran ke pintu, serta perempuan itu mengoyakkan baju Yusuf dari belakang; lalu terserempaklah keduanya dengan suami perempuan itu di muka pintu. Tiba-tiba perempuan itu berkata (kepada suaminya): Tidaklah ada balasan bagi orang yang mahu membuat jahat terhadap isterimu melainkan dipenjarakan dia atau dikenakan azab yang menyiksanya". (Yusuf: 25)
Jadi, mula-mula dia menuduhYusuf telah berbuat jahat, tetapi akhirnya dia menyalahkan dirinya sendiri atas pengkhianatannya itu.
Abu Sa'id Al-Kharraz mengatakan, "Aku bermimpi bertemu dengan Nabi saw dan berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, maafkanlah saya. Cinta saya kepada Allah telah memenuhi kalbu saya dan tidak menyisakan tempat bagi cinta kepada Tuan.” Beliau menjawab, “Rahmat Allah atasmu. Barangsiapa menyintai Allah, bererti mencintaiku.”
Diceritakan bahawa Rabiah meminta dalam munajahnya, “Ya Allah, akankah Engkau membakar di neraka sebuah hati yang menyimpan cinta kepada-Mu?” Atas doanya itu, sebuah suara ghaib menjawab, "Kami tidak akan melakukan hal seperti itu. Janganlah engkau menyangka begitu jelek terhadap Kami."
Dikatakan, “Kata 'cinta' (hubb) terdiri dari dua huruf, ha' dan ba', yang menunjukkan bahawa si pencinta meninggalkan jiwanya sendiri (roh) dan juga jasadnya (badan).” Sebagaimana dinyatakan oleh pendapat umum di kalangan para sufi, cinta adalah penyesuaian yang harmoni [dengan sang Kekasih] dan cara yang paling berat dalam hal ini adalah melalui hati. Cinta itu sendiri mengakhiri perpisahan hingga si pecinta bersama dengan Kekasihnya.
Mengenai masalah ini ada sebuah hadith yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asy'ari yang mengatakan bahawa seseorang bertanya kepada Nabi saw: "Dapatkah seseorang mencintai suatu kaum tapi tidak berkumpul dengan mereka?" Nabi menjawab, "Seseorang bersama dengan yang dicintainya."
Abu Hafs menegaskan, "Keadaan-keadaan yang rosak kebanyakan timbul dari hal-hal berikut: dosa para 'arifin, pengkhianatan para pencinta [Tuhan], dan dustanya para salik."
'Abu Utsman menyatakan, "Dosa para 'arifin adalah menggunakan ucapan, penglihatan, dan pendengaran mereka untuk melayani perjuangan-perjuangan duniawi dan memperoleh keuntungan darinya. Pengkhianatan para pencinta [Tuhan] adalah mengutamakan hawa nafsu mereka sendiri atas keredhaan Allah SWT dalam urusan-urusan mereka. Dusta para salik adalah bahawa mereka lebih peduli terhadap kesedaran akan manusia dan perhatian mereka daripada dzikir kepada Allah." .
Abu Ali Mamsyad bin Sa'id Al-'Ukbari menuturkan, “Seekor burung pipit jantan cuba mencumbui seekor burung pipit betina di bawah kubah Sulaiman as, tetapi si betina menolak. Si jantan bertanya kepadanya, “ Bagaimana kamu dapat menolakku sedangkan jika aku mahu, aku dapat membuat kubah ini runtuh menimpa Sulaiman?' [Mendengar ucapan burung itu] Sulaiman lalu memanggilnya dan menanyakan kepadanya, “Apa yang membuatmu berkata begitu?” Si burung menjawab, “Wahai Nabi Allah, ucapan-ucapan yang keluar dari mulut seorang pecinta tidak dapat dituntut terhadap mereka.” Sulaiman menjawab, “Perkataanmu memang benar.”

RISALAH AL QUSYAIRI BAB 41: MENGENAL ALLAH (MAKRIFAH)

Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahawa Nabi saw telah mengatakan, "Landasan sebuah rumah adalah asasnya. Landasan agama adalah pengenalan langsung terhadap Allah, keyakinan, dan akal yang menjaga dari kekeliruan." Aisyah lalu bertanya, "Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, apakah akal yang menjaga dari kekeliruan itu?" Beliau menjawab, "Menahan diri dari ketidak-patuhan terhadap Allah dan bersemangat dalam mentaati-Nya."
Ditinjau dari segi bahasa, para ulama mengertikan makrifat (ma'rifah) sebagai ilmu ('ilm). Jadi dalam pandangan mereka semua ilmu adalah makrifat, dan semua makrifat adalah ilmu, dan setiap orang yang mempunyai ilmu (alim) tentang Tuhan adalah seorang arif (ahli makrifat), dan sebaliknya.
Tetapi di kalangan Sufi, makrifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah SWT dengan nama-nama serta sifat-sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah dengan perbuatan-perbuatannya, yang lalu mensucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah serta cacat-cela, yang berdiri lama di pintu, dan yang sentiasa mengundurkan hatinya (dari hal-hal duniawi). Kemudian dia menikmati berdekatan dengan Tuhan, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaannya.
Godaan jiwanya berhenti, dan dia tidak mencondongkan hatinya kepada fikiran apa pun yang akan memancing perhatiannya kepada selain Allah, sebab, ketika dia menjadi orang asing bagi manusia dan bebas dari petaka-petaka jiwanya, ketika dirinya telah suci dari rasa gembira, dan perhatian terhadap selain Allah, ketika munajat-munajatnya dengan Allah SWT secara rahsia bersifat berterusan, ketika dia yakin akan setiap kilasan dari Allah dan akan kembalinya dia kepada-Nya, dan ketika Allah SWT mengilhamkannya dengan membuatnya menyedari akan rahsia-rahsia-Nya mengenai takdirnya, maka dia pada saat itu, disebut seorang arif dan keadaannya disebut makrifat' Singkatnya, darjat makrifat yang akan dicapainya ditentukan oieh darjat di mana dia terasing dari dirinya sendiri.
Manakala para syeikh berbicara tentang makrifat, maka masing-masing dari mereka mengemukakan pengalamannya sendiri dan menunjukkan apa yang datang kepadanya pada saat tertentu.
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, "Salah satu tanda makrifat adalah dicapainya rasa gentar. Bagi orang yang makrifatnya meningkat, maka rasa gentarnya kepada Allah juga meningkat."
Beliau juga menyatakan, "Makrifat membawa ketenteraman dalam hati, sebagaimana pengetahuan membawakan kedamaian. Jadi, orang yang makrifatnya bertambah, maka bertambah pula ketenteramannya."
Asy-Syibli berpendapat, "Bagi sang arif, tidak ada ikatan, bagi sang pencinta tidak ada kesedihan, bagi sang hamba tidak ada tuntutan, bagi orang yang takut kepada Allah tidak ada kelegaan, dan bagi setiap orang tidak ada jalan lari dari Allah." Ketika Asy-Sibli ditanya tentang makrifat, dia menjawab: “Yang pertama daripadanya adalah Allah SWT dan yang terakhir tidak mempunyai hujung.”
Abu Hafs berkata, "Sejak aku mencapai makrifat, tidak ada lagi kebenaran atau pun kebatilan yang memasuki hatiku."
Ucapan Abu Hafs ini tidak mudah difahami. Mungkin sekali Abu Hafs menunjukkan bahawa dalam pandangan sufi, makrifat menjadikan si hamba kosong dari dirinya sendiri kerana dia dilimpahkan oleh dzikir kepada-Nya dan dengan demikian tidak melihat apa pun selain Allah SWT, tidak pula dia berpaling kepada selain Dia. Sebagaimana seorang yang berakal berpaling kepada hati dan bahagian-bahagian bayangan dan ingatannya berkenaan dengan fikiran-fikiran yang datang ke dalam benaknya atau keadaan-keeadaan yang ditemuinya, maka sandaran sang arif adalah Tuhannya. Jika seseorang disibukkan dengan Tuhannya semata, maka dia tidak akan berpaling kepada hatinya sendiri. Lebih jauh, bagaimana mungkin masalah tersebut memasuki hati seseorang yang tidak punya hati? Ada perbezaan antara orang yang hidup dengan hatinya dan orang yang hidup dengan Tuhannya.
Ketika ditanya tentang makrifat, Abu Yazid menjawab,
قَالَتۡ إِنَّ ٱلۡمُلُوكَ إِذَا دَخَلُواْ قَرۡيَةً أَفۡسَدُوهَا وَجَعَلُوٓاْ أَعِزَّةَ أَهۡلِهَآ أَذِلَّةً۬‌ۖ وَكَذَٲلِكَ يَفۡعَلُونَ 
Raja perempuan itu berkata: Sesungguhnya raja-raja, apabila masuk ke sebuah negeri, mereka merosakkannya dan mereka menjadikan penduduknya yang mulia hina-dina; dan sedemikian itulah mereka akan lakukan. (An-Naml: 34)
Inilah erti yang dimaksud oleh Abu Hafs. Abu Yazid menyatakan, "Manusia mempunyai keadaan-keadaan, tapi sang arif tidak. Sifat-sifat manusiawinya terhapus dan dzatnya telah berubah menjadi dzat lain. Sifat-sifatnya telah hilang kerana sifat-sifat dari selain dirinya telah menggantikannya.”
Al-Wasiti berkata, "Makrifat tidaklah sahih jika dalam diri si hamba masih ada rasa kepuasan dengan Tuhan dan keperluan terhadapNya." Dengan ucapan ini Al-Wasiti memaksudkan keperluan dan kepuasan adalah tanda-tanda ketenangan dan kewarasan jiwa pada diri si hamba dan tanda-tanda tetapnya sifat sifatnya, kerana keperluan dan kepuasan adalah di antara sifat-sifatnya; tetapi sang arif lebur dalam sumber makrifatnya. Bagaimana dapat makrifatnya menjadi sahih, sementara dia lebur dalam wujud-Nya atau terserap dalam menyaksikan-Nya, tetapi belum sepenuhnya mencapai wujud dan masih dipisahkan oleh kesedaran akan sifat apa pun yang mungkin dimilikinya?
Kerana alasan ini, Al-Wasiti juga mengatakan, “Barangsiapa memiliki pengetahuan langsung tentang Allah, bererti terputus; dia menjadi bisu dan tidak berkemampuan.”
Nabi saw menyatakan, “Aku tidak dapat memuji-Mu secukupnya.”
Ucapan ini merujuk kepada mereka yang tujuannya jauh. Mengenai mereka yang puas dengan sesuatu yang lebih mudah dicapai, mereka telah berbicara tentang makrifat dengan cukup panjang lebar.
Ahmad bin 'Asim Al-Antaki berkata, “ Semakin orang mengenal Tuhan, semakin dia takut pada-Nya.” Salah seorang sufi menyatakan, "Barangsiapa mengenal Allah SWT nescaya merasa sakit akan wujudnya sendiri, dan bumi dengan keluasannya terasa sempit baginya.” Dikatakan, “Barangsiapa mengenal Allah, maka penghidupan akan menggembirakan baginya dan hidup menyenangkan; segala sesuatu gentar kepadanya, dia sendiri tidak takut pada seuatu pun di antara makhluk-makhluk Allah, dan dia menjadi akrab dengan Allah SWT.”
Dikatakan, “Barangsiapa mengenal Allah, maka keinginan kepada harta benda akan meninggalkannya, dan dia tidak terikat ataupun terpisah dari mereka.” Dikatakan juga, “Makrifat mendatangkan rasa malu dan sikap memahasucikan Tuhan, sebagaimana mengeaskan tauhid mendatangkan kerelaan dan kepasrahan kepada Tuhan.”
Ruwaim berpendapat, "Makrifat adalah cermin sang arif. Jika dia menatapnya, nampaklah junjungannya." Dzun Nun Al-Mishri menuturkan, "Roh para nabi berlumba di padang makrifat, dan roh Nabi kita saw memimpin mereka semua (semoga Allah melimpahkan kesejahteraan kepada mereka) ke lembah kesatuan." Dia juga mengatakan, "Perilaku sang arif (terhadap orang lain) adalah seperti perilaku Allah SWT - dia bersabar terhadapmu kerana dia meniru sifat-sifat Allah." Ibn Yazdanyar ditanya, "Bilakah seorang arif menyaksikan Allah SWT?" Dia menjawab, "Ketika Saksi terungkapkan, saranan penyaksian lenyap, pancaindera musnah dan ketulusan melebur."
Al-Husain bin Manshur berkata, “Apabila si hamba mencapai tahap makrifat, Allah bahkan menjadikan fikiran-fikirannya yang menyimpang sebagai sarana ilham, dan Dia menjaga batinnya agar fikiran-fikiran tentang selain Dia tidak muncul di situ." Dia juga mengatakan, “Tanda seorang arif adalah bahawa dia kosong dari dunia ini mahupun dari akhirat." Sahl bin Abdullah mengatakan, "Darjat paling tinggi dalam makrifat adalah kekecewaan dan kebingungan."
DzunNun Al-Mishri menegaskan, "Orang-orang yang paling mengenal Allah adalah yang paling besar kebingungannya tentang diri-Nya." Seorang laki-laki berkata kepada Al-Junaid, "Di antara para'arifin, ada sebahagian yang mengatakan, “Meninggalkan setiap macam kegiatan adalah bahagian dari kesalehan dan kebajikan." Al-Junaid menjawab, "Mereka itu adalah orang-orang yang mengusulkan agar meninggalkan semua amalan, yang menurut pendapatku merupakan kekeliruan serius. Pencuri dan penzina berkeadaan lebih baik dari mereka, sebab sang arif memperoleh amal-amal dari AIIah SWT dan mereka kembali kepada Allah melalui amal-amal tersebut. Seandainya aku hidup seribu tahun, aku tidak akan mengurangi pelaksanaan amal kesalehanku sedikit pun."
Ditanya kepada Abu Yazid, "Dengan apa engkau mencapai makrifat?" Dia menjawab, "Melalui perut yang lapar dan tubuh yang telanjang." Abu Ya'qub An-Nahrajuri menuturkan, "Aku bertanya kepada Abu Ya'qub As-Susi, “Apakah sang arif bersedih kerana sesuatu selain Allah SWT?” Dia menjawab, "Dan apakah dia melihat sesuatu selain Dia yang kerananya dia mungkin bersedih?” Aku lalu hertanya,"Lantas, dengan mata yang mana dia melihat benda-benda?" Dia menjawab, "Dengan mata peleburan dan kelenyapan."
Abu Yazid berkata, "Sang arif terbang dan sang Zahid berjalan kaki." Dikatakan, "Mata sang arif menangis, tetapi hatinya tertawa." Al-Junaid menyatakan, "Seseorang tidak akan menjadi arif sampai dia menjadi seperti bumi: diinjak oleh orang yang saleh mahupun yang jahat, dan sampai dia menjadi seperti awan: menaungi semua makhluk, dan sampai dia menjadi seperti hujan: menyirami segala sesuatu, baik yang menyintainya mahupun yang membencinya."
Yahya bin Muadz menyatakan, "Sang arif meninggalkan dunia ini tanpa mencapai tujuannya dalam dua hal: menangisi dirinya sendiri dan memuji Tuhannya SWT."
Abu Zaid berkata, "Mereka mencapai makrifat hanya dengan mengorbankan apa yang mereka miliki dan tinggal dengan apa yang Dia miliki." Yusuf bin Ali menegaskan, "Seseorang tidak akan menjadi arif sejati sampai seandainya kerajaan Sulaiman as diberikan kepadanya, kerajaan itu tidak memalingkan perhatiannya sesaat pun dari Allah."
Ibn Atha' men' jelaskan, "Makrifat dibangun dengan tiga tiang: rasa gentar, malu dan keakraban."
Dzun Nun Al-Mishri ditanya, "Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu'!" Dia nenjawab, "Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Kalaulah tidak kerana Tuhanku, nescaya aku tidak akan mengenal Tuhanku." Dikatakan, "Ulama adalah sumber tauladan, dan seorang arif adalah sumber petunjuk." Asy-Syibli mengatakan, "Sang arif tidaklah rampak sesuatu pun selain Dia. tidak pula dia berbicara lengan pembicaraan tentang sesuatu selain-Nya, dan tidak melihat satu pelindung pun bagi dirinya selain Allah SWT."
Dikatakan, "Sang arif memperoleh keakraban dengan dzikir kepada-Nya, dan lari dengan penuh rasa takut dari ciptaan-Nya. Dia memerlukan Tuhan, dan Tuhan membuatnya tidak bergantung pada makhluk-Nya. Dia bersikap rendah diri terhadap Tuhan, dan Dia memuliakannya di antara makhluk-Nya." Abu Thayyib As-Samarri menyatakan, "Makrifat adalah terbitnya Kebenaran [seperti matahari] atas batin melalui pancaran cahaya yang terus menerus."
Dikatakan, "Sang arif itu lebih besar dari apa yang dlikatakannya, dan sang ulama lebih kecil dari apa yang dikatakannya." Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, “Allah SWT mengungkapkan kepada sang arif di tempat bidurnya apa yang Dia ungkapkan kepada orang lain ketika mereka solat." Al-Junaid menyatakan, "Allah cerbicara dari batin seorang arif ketika dia diam." Dzun Nun menyatakan, "Bagi setiap orang ada [bentuk] hukuman [tertentu], dan hukuman bagi seorang arif adalah terputus dari dzikir kepada-Nya." Ruwaim berkata, "Kemunafikan seorang arif lebih baik daripada ketulusan seorang Salik ("pencari").
Abu Bakr Al-Warraq berpendapat, "Diamnya seorang arif adalah paling bermanfaat, dan bicaranya adalah paling baik dan paling menyenangkan." Dzun Nun menegaskan, "Meskipun para zahid adalah raja-raja di akhirat, namun dibanding dengan para 'arifin, mereka bagaikan para pengemis."
Ketika Al-Junaid ditanya tentang sang arif, dia menjawab, "'Warna air adalah warna wadahnya."
Ertinya, sifat seorang arif selalu ditentukan oleh sifat keadaannya pada saat tertentu. Abu Yazid' ditanya tentang sang arif. Dia mengatakan, “Dia tidak melihat sesuatu pun selain Tuhan dalam tidurnya dan tidak melihat satu pun selain Tuhan dalam di saat bangunnya. Dia tidak serasi dengan selain Tuhan, dan dia tidak memandang kepada selain Tuhan."
Salah seorang syeikh ditanya, "Dengan apa anda mengenal AIIah SWT?" Dia menjawab, "Dengan ledakan cahaya yang memancar melalui lidah manusia yang dijauhkan dari cara-cara pembezaan cermat yang biasa dan dengan satu kata yang meluncur melalui lidah seseorang yang ditakdirkan untuk binasa dan tersesat.” Si pembicara menunjuk kepada suatu pengalaman kerohanian yang jelas dan menuturkan sebuah rahsia yang samar-samar; dia adalah dirinya sendiri berdasarkan apa yang diungkapkannya, tapi bukan dirinya sendiri berdasarkan apa yang dibiarkannya samara-samar."
Kemudian sang syeikh membacakan syair:
Engkau berbicara tanpa pembicaraan. Ini adalah bicara yang sebenarnya,
Bicara menjadi milik-Mu, baik ia bersifat parcakapan ataupun berbeza dari pembicaraan.
Engkau muncul ketika sebelum Engkau tersembunyi,
Engkau membuat kilasan cahaya narnpak padaku, yang membuatmu berbicara.
Ketika ditanya tentang tanda seorang arif, Abu Turab menjelaskan, "Dia tidak dibuat kotor oleh sesuatu pun, dan segala sesuatu dibuat menjadi suci olehnya.” Abu Utsman Al-Maghribi berkata, “Cahaya pengetahuan bersinar bagi sang arif, hingga dia melihat dengan ilmu hal-hal ghaib yang menakjubkan." Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menyatakan, "Sang Arif tenggelam dalam lautan hakekat. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang sufi, "Makrifat adalah seperti ombak yang muncul ke atas - ia naik dan turun."
Yahya bin Muadz ditanya tentang sang arif, dan menjawab, "Dia adalah manusia yang berada bersama makhluk dan sekaligus berpisah darinya." Di waktu yang lain dia berkata, “Mula-mula dia ada; kemudian dia terpisah." Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, "Ada tiga tanda seorang arif; cahaya makrifatnya tidak menghalangi cahaya tarekat (hidup serba minima) nya; dia tidak percaya pada pengetahuan batin apa pun yang bertentangan dengan ketentuan lahir, dan melimpahnya rahmat Allah SWT kepadanya tidak mendorongnya untuk merobek tirai yang menutupi kesucian ghaib Ilahi."
Dikatakan, "Orang yang berbicara tentang makrifat di hadapan orang-orang yang [hatinya] terikat pada akhirat bukanlah arif, dan lebih-lebih lagi bukan arif iika dia berbicara tentang hal itu di hadapan orang-orang yang terikat pada dunia." Abu Sa'id Al-Kharraz menyatakan, "Makrifat datang dari sebuah mata yang menangis berlimpahan dan curahan usaha yang besar."
Ketika ditanya tentang perkataan Dzun Nun N-Mishri mengenai tanda seorang arif, bahawa "Dia tadi ada di sini, tetapi sekarang telah pergi," Al-Junaid menjawab, "Satu keadaan tidak menahan seorang arif dari keadaan lainnya, dan satu tahap tidak menabirinya dari perubahan tahapan. Jadi dia berada bersama orang banyak dari setiap tempat seperti halnya mereka, dia nengalami apapun yang mereka alami, dan dia berbicara dengan bahasa mereka agar mereka dapat nemberikan manfaat dengan pembicaraannya. "
Muhammad bin Al-Fadhl menyatakan, “Makrifat adalah kehidupan hati bersama Tuhan.” Abu Sa'id Al-Kharraz ditanya, "Apakah sang arif berakhir pada keadaan di mana dia tidak pernah menangis?” Dia menjawab, “Ya. Menangis termasuk dalam masa ketika mereka melakukan perjalanan menuju Tuhan. Ketika mereka turun dari kenderaan dan berhenti di hakekat-hakekat taqarrub (kedekatan) dan mengalami rasa mencapai anugerah ini, mereka tidak lagi menangis.

RISALAH AL QUSYAIRI BAB 41: MENGENAL ALLAH (MAKRIFAH)

Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahawa Nabi saw telah mengatakan, "Landasan sebuah rumah adalah asasnya. Landasan agama adalah pengenalan langsung terhadap Allah, keyakinan, dan akal yang menjaga dari kekeliruan." Aisyah lalu bertanya, "Semoga ayah dan ibuku menjadi tebusanmu, apakah akal yang menjaga dari kekeliruan itu?" Beliau menjawab, "Menahan diri dari ketidak-patuhan terhadap Allah dan bersemangat dalam mentaati-Nya."
Ditinjau dari segi bahasa, para ulama mengertikan makrifat (ma'rifah) sebagai ilmu ('ilm). Jadi dalam pandangan mereka semua ilmu adalah makrifat, dan semua makrifat adalah ilmu, dan setiap orang yang mempunyai ilmu (alim) tentang Tuhan adalah seorang arif (ahli makrifat), dan sebaliknya.
Tetapi di kalangan Sufi, makrifat adalah sifat dari orang yang mengenal Allah SWT dengan nama-nama serta sifat-sifat-Nya dan berlaku tulus kepada Allah dengan perbuatan-perbuatannya, yang lalu mensucikan dirinya dari sifat-sifat yang rendah serta cacat-cela, yang berdiri lama di pintu, dan yang sentiasa mengundurkan hatinya (dari hal-hal duniawi). Kemudian dia menikmati berdekatan dengan Tuhan, yang mengukuhkan ketulusannya dalam semua keadaannya.
Godaan jiwanya berhenti, dan dia tidak mencondongkan hatinya kepada fikiran apa pun yang akan memancing perhatiannya kepada selain Allah, sebab, ketika dia menjadi orang asing bagi manusia dan bebas dari petaka-petaka jiwanya, ketika dirinya telah suci dari rasa gembira, dan perhatian terhadap selain Allah, ketika munajat-munajatnya dengan Allah SWT secara rahsia bersifat berterusan, ketika dia yakin akan setiap kilasan dari Allah dan akan kembalinya dia kepada-Nya, dan ketika Allah SWT mengilhamkannya dengan membuatnya menyedari akan rahsia-rahsia-Nya mengenai takdirnya, maka dia pada saat itu, disebut seorang arif dan keadaannya disebut makrifat' Singkatnya, darjat makrifat yang akan dicapainya ditentukan oieh darjat di mana dia terasing dari dirinya sendiri.
Manakala para syeikh berbicara tentang makrifat, maka masing-masing dari mereka mengemukakan pengalamannya sendiri dan menunjukkan apa yang datang kepadanya pada saat tertentu.
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq berkata, "Salah satu tanda makrifat adalah dicapainya rasa gentar. Bagi orang yang makrifatnya meningkat, maka rasa gentarnya kepada Allah juga meningkat."
Beliau juga menyatakan, "Makrifat membawa ketenteraman dalam hati, sebagaimana pengetahuan membawakan kedamaian. Jadi, orang yang makrifatnya bertambah, maka bertambah pula ketenteramannya."
Asy-Syibli berpendapat, "Bagi sang arif, tidak ada ikatan, bagi sang pencinta tidak ada kesedihan, bagi sang hamba tidak ada tuntutan, bagi orang yang takut kepada Allah tidak ada kelegaan, dan bagi setiap orang tidak ada jalan lari dari Allah." Ketika Asy-Sibli ditanya tentang makrifat, dia menjawab: “Yang pertama daripadanya adalah Allah SWT dan yang terakhir tidak mempunyai hujung.”
Abu Hafs berkata, "Sejak aku mencapai makrifat, tidak ada lagi kebenaran atau pun kebatilan yang memasuki hatiku."
Ucapan Abu Hafs ini tidak mudah difahami. Mungkin sekali Abu Hafs menunjukkan bahawa dalam pandangan sufi, makrifat menjadikan si hamba kosong dari dirinya sendiri kerana dia dilimpahkan oleh dzikir kepada-Nya dan dengan demikian tidak melihat apa pun selain Allah SWT, tidak pula dia berpaling kepada selain Dia. Sebagaimana seorang yang berakal berpaling kepada hati dan bahagian-bahagian bayangan dan ingatannya berkenaan dengan fikiran-fikiran yang datang ke dalam benaknya atau keadaan-keeadaan yang ditemuinya, maka sandaran sang arif adalah Tuhannya. Jika seseorang disibukkan dengan Tuhannya semata, maka dia tidak akan berpaling kepada hatinya sendiri. Lebih jauh, bagaimana mungkin masalah tersebut memasuki hati seseorang yang tidak punya hati? Ada perbezaan antara orang yang hidup dengan hatinya dan orang yang hidup dengan Tuhannya.
Ketika ditanya tentang makrifat, Abu Yazid menjawab,
قَالَتۡ إِنَّ ٱلۡمُلُوكَ إِذَا دَخَلُواْ قَرۡيَةً أَفۡسَدُوهَا وَجَعَلُوٓاْ أَعِزَّةَ أَهۡلِهَآ أَذِلَّةً۬‌ۖ وَكَذَٲلِكَ يَفۡعَلُونَ 
Raja perempuan itu berkata: Sesungguhnya raja-raja, apabila masuk ke sebuah negeri, mereka merosakkannya dan mereka menjadikan penduduknya yang mulia hina-dina; dan sedemikian itulah mereka akan lakukan. (An-Naml: 34)
Inilah erti yang dimaksud oleh Abu Hafs. Abu Yazid menyatakan, "Manusia mempunyai keadaan-keadaan, tapi sang arif tidak. Sifat-sifat manusiawinya terhapus dan dzatnya telah berubah menjadi dzat lain. Sifat-sifatnya telah hilang kerana sifat-sifat dari selain dirinya telah menggantikannya.”
Al-Wasiti berkata, "Makrifat tidaklah sahih jika dalam diri si hamba masih ada rasa kepuasan dengan Tuhan dan keperluan terhadapNya." Dengan ucapan ini Al-Wasiti memaksudkan keperluan dan kepuasan adalah tanda-tanda ketenangan dan kewarasan jiwa pada diri si hamba dan tanda-tanda tetapnya sifat sifatnya, kerana keperluan dan kepuasan adalah di antara sifat-sifatnya; tetapi sang arif lebur dalam sumber makrifatnya. Bagaimana dapat makrifatnya menjadi sahih, sementara dia lebur dalam wujud-Nya atau terserap dalam menyaksikan-Nya, tetapi belum sepenuhnya mencapai wujud dan masih dipisahkan oleh kesedaran akan sifat apa pun yang mungkin dimilikinya?
Kerana alasan ini, Al-Wasiti juga mengatakan, “Barangsiapa memiliki pengetahuan langsung tentang Allah, bererti terputus; dia menjadi bisu dan tidak berkemampuan.”
Nabi saw menyatakan, “Aku tidak dapat memuji-Mu secukupnya.”
Ucapan ini merujuk kepada mereka yang tujuannya jauh. Mengenai mereka yang puas dengan sesuatu yang lebih mudah dicapai, mereka telah berbicara tentang makrifat dengan cukup panjang lebar.
Ahmad bin 'Asim Al-Antaki berkata, “ Semakin orang mengenal Tuhan, semakin dia takut pada-Nya.” Salah seorang sufi menyatakan, "Barangsiapa mengenal Allah SWT nescaya merasa sakit akan wujudnya sendiri, dan bumi dengan keluasannya terasa sempit baginya.” Dikatakan, “Barangsiapa mengenal Allah, maka penghidupan akan menggembirakan baginya dan hidup menyenangkan; segala sesuatu gentar kepadanya, dia sendiri tidak takut pada seuatu pun di antara makhluk-makhluk Allah, dan dia menjadi akrab dengan Allah SWT.”
Dikatakan, “Barangsiapa mengenal Allah, maka keinginan kepada harta benda akan meninggalkannya, dan dia tidak terikat ataupun terpisah dari mereka.” Dikatakan juga, “Makrifat mendatangkan rasa malu dan sikap memahasucikan Tuhan, sebagaimana mengeaskan tauhid mendatangkan kerelaan dan kepasrahan kepada Tuhan.”
Ruwaim berpendapat, "Makrifat adalah cermin sang arif. Jika dia menatapnya, nampaklah junjungannya." Dzun Nun Al-Mishri menuturkan, "Roh para nabi berlumba di padang makrifat, dan roh Nabi kita saw memimpin mereka semua (semoga Allah melimpahkan kesejahteraan kepada mereka) ke lembah kesatuan." Dia juga mengatakan, "Perilaku sang arif (terhadap orang lain) adalah seperti perilaku Allah SWT - dia bersabar terhadapmu kerana dia meniru sifat-sifat Allah." Ibn Yazdanyar ditanya, "Bilakah seorang arif menyaksikan Allah SWT?" Dia menjawab, "Ketika Saksi terungkapkan, saranan penyaksian lenyap, pancaindera musnah dan ketulusan melebur."
Al-Husain bin Manshur berkata, “Apabila si hamba mencapai tahap makrifat, Allah bahkan menjadikan fikiran-fikirannya yang menyimpang sebagai sarana ilham, dan Dia menjaga batinnya agar fikiran-fikiran tentang selain Dia tidak muncul di situ." Dia juga mengatakan, “Tanda seorang arif adalah bahawa dia kosong dari dunia ini mahupun dari akhirat." Sahl bin Abdullah mengatakan, "Darjat paling tinggi dalam makrifat adalah kekecewaan dan kebingungan."
DzunNun Al-Mishri menegaskan, "Orang-orang yang paling mengenal Allah adalah yang paling besar kebingungannya tentang diri-Nya." Seorang laki-laki berkata kepada Al-Junaid, "Di antara para'arifin, ada sebahagian yang mengatakan, “Meninggalkan setiap macam kegiatan adalah bahagian dari kesalehan dan kebajikan." Al-Junaid menjawab, "Mereka itu adalah orang-orang yang mengusulkan agar meninggalkan semua amalan, yang menurut pendapatku merupakan kekeliruan serius. Pencuri dan penzina berkeadaan lebih baik dari mereka, sebab sang arif memperoleh amal-amal dari AIIah SWT dan mereka kembali kepada Allah melalui amal-amal tersebut. Seandainya aku hidup seribu tahun, aku tidak akan mengurangi pelaksanaan amal kesalehanku sedikit pun."
Ditanya kepada Abu Yazid, "Dengan apa engkau mencapai makrifat?" Dia menjawab, "Melalui perut yang lapar dan tubuh yang telanjang." Abu Ya'qub An-Nahrajuri menuturkan, "Aku bertanya kepada Abu Ya'qub As-Susi, “Apakah sang arif bersedih kerana sesuatu selain Allah SWT?” Dia menjawab, "Dan apakah dia melihat sesuatu selain Dia yang kerananya dia mungkin bersedih?” Aku lalu hertanya,"Lantas, dengan mata yang mana dia melihat benda-benda?" Dia menjawab, "Dengan mata peleburan dan kelenyapan."
Abu Yazid berkata, "Sang arif terbang dan sang Zahid berjalan kaki." Dikatakan, "Mata sang arif menangis, tetapi hatinya tertawa." Al-Junaid menyatakan, "Seseorang tidak akan menjadi arif sampai dia menjadi seperti bumi: diinjak oleh orang yang saleh mahupun yang jahat, dan sampai dia menjadi seperti awan: menaungi semua makhluk, dan sampai dia menjadi seperti hujan: menyirami segala sesuatu, baik yang menyintainya mahupun yang membencinya."
Yahya bin Muadz menyatakan, "Sang arif meninggalkan dunia ini tanpa mencapai tujuannya dalam dua hal: menangisi dirinya sendiri dan memuji Tuhannya SWT."
Abu Zaid berkata, "Mereka mencapai makrifat hanya dengan mengorbankan apa yang mereka miliki dan tinggal dengan apa yang Dia miliki." Yusuf bin Ali menegaskan, "Seseorang tidak akan menjadi arif sejati sampai seandainya kerajaan Sulaiman as diberikan kepadanya, kerajaan itu tidak memalingkan perhatiannya sesaat pun dari Allah."
Ibn Atha' men' jelaskan, "Makrifat dibangun dengan tiga tiang: rasa gentar, malu dan keakraban."
Dzun Nun Al-Mishri ditanya, "Dengan apa engkau mengenal Tuhanmu'!" Dia nenjawab, "Aku mengenal Tuhanku dengan Tuhanku. Kalaulah tidak kerana Tuhanku, nescaya aku tidak akan mengenal Tuhanku." Dikatakan, "Ulama adalah sumber tauladan, dan seorang arif adalah sumber petunjuk." Asy-Syibli mengatakan, "Sang arif tidaklah rampak sesuatu pun selain Dia. tidak pula dia berbicara lengan pembicaraan tentang sesuatu selain-Nya, dan tidak melihat satu pelindung pun bagi dirinya selain Allah SWT."
Dikatakan, "Sang arif memperoleh keakraban dengan dzikir kepada-Nya, dan lari dengan penuh rasa takut dari ciptaan-Nya. Dia memerlukan Tuhan, dan Tuhan membuatnya tidak bergantung pada makhluk-Nya. Dia bersikap rendah diri terhadap Tuhan, dan Dia memuliakannya di antara makhluk-Nya." Abu Thayyib As-Samarri menyatakan, "Makrifat adalah terbitnya Kebenaran [seperti matahari] atas batin melalui pancaran cahaya yang terus menerus."
Dikatakan, "Sang arif itu lebih besar dari apa yang dlikatakannya, dan sang ulama lebih kecil dari apa yang dikatakannya." Abu Sulaiman Ad-Darani mengatakan, “Allah SWT mengungkapkan kepada sang arif di tempat bidurnya apa yang Dia ungkapkan kepada orang lain ketika mereka solat." Al-Junaid menyatakan, "Allah cerbicara dari batin seorang arif ketika dia diam." Dzun Nun menyatakan, "Bagi setiap orang ada [bentuk] hukuman [tertentu], dan hukuman bagi seorang arif adalah terputus dari dzikir kepada-Nya." Ruwaim berkata, "Kemunafikan seorang arif lebih baik daripada ketulusan seorang Salik ("pencari").
Abu Bakr Al-Warraq berpendapat, "Diamnya seorang arif adalah paling bermanfaat, dan bicaranya adalah paling baik dan paling menyenangkan." Dzun Nun menegaskan, "Meskipun para zahid adalah raja-raja di akhirat, namun dibanding dengan para 'arifin, mereka bagaikan para pengemis."
Ketika Al-Junaid ditanya tentang sang arif, dia menjawab, "'Warna air adalah warna wadahnya."
Ertinya, sifat seorang arif selalu ditentukan oleh sifat keadaannya pada saat tertentu. Abu Yazid' ditanya tentang sang arif. Dia mengatakan, “Dia tidak melihat sesuatu pun selain Tuhan dalam tidurnya dan tidak melihat satu pun selain Tuhan dalam di saat bangunnya. Dia tidak serasi dengan selain Tuhan, dan dia tidak memandang kepada selain Tuhan."
Salah seorang syeikh ditanya, "Dengan apa anda mengenal AIIah SWT?" Dia menjawab, "Dengan ledakan cahaya yang memancar melalui lidah manusia yang dijauhkan dari cara-cara pembezaan cermat yang biasa dan dengan satu kata yang meluncur melalui lidah seseorang yang ditakdirkan untuk binasa dan tersesat.” Si pembicara menunjuk kepada suatu pengalaman kerohanian yang jelas dan menuturkan sebuah rahsia yang samar-samar; dia adalah dirinya sendiri berdasarkan apa yang diungkapkannya, tapi bukan dirinya sendiri berdasarkan apa yang dibiarkannya samara-samar."
Kemudian sang syeikh membacakan syair:
Engkau berbicara tanpa pembicaraan. Ini adalah bicara yang sebenarnya,
Bicara menjadi milik-Mu, baik ia bersifat parcakapan ataupun berbeza dari pembicaraan.
Engkau muncul ketika sebelum Engkau tersembunyi,
Engkau membuat kilasan cahaya narnpak padaku, yang membuatmu berbicara.
Ketika ditanya tentang tanda seorang arif, Abu Turab menjelaskan, "Dia tidak dibuat kotor oleh sesuatu pun, dan segala sesuatu dibuat menjadi suci olehnya.” Abu Utsman Al-Maghribi berkata, “Cahaya pengetahuan bersinar bagi sang arif, hingga dia melihat dengan ilmu hal-hal ghaib yang menakjubkan." Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq menyatakan, "Sang Arif tenggelam dalam lautan hakekat. Sebagaimana dikatakan oleh salah seorang sufi, "Makrifat adalah seperti ombak yang muncul ke atas - ia naik dan turun."
Yahya bin Muadz ditanya tentang sang arif, dan menjawab, "Dia adalah manusia yang berada bersama makhluk dan sekaligus berpisah darinya." Di waktu yang lain dia berkata, “Mula-mula dia ada; kemudian dia terpisah." Dzun Nun Al-Mishri mengatakan, "Ada tiga tanda seorang arif; cahaya makrifatnya tidak menghalangi cahaya tarekat (hidup serba minima) nya; dia tidak percaya pada pengetahuan batin apa pun yang bertentangan dengan ketentuan lahir, dan melimpahnya rahmat Allah SWT kepadanya tidak mendorongnya untuk merobek tirai yang menutupi kesucian ghaib Ilahi."
Dikatakan, "Orang yang berbicara tentang makrifat di hadapan orang-orang yang [hatinya] terikat pada akhirat bukanlah arif, dan lebih-lebih lagi bukan arif iika dia berbicara tentang hal itu di hadapan orang-orang yang terikat pada dunia." Abu Sa'id Al-Kharraz menyatakan, "Makrifat datang dari sebuah mata yang menangis berlimpahan dan curahan usaha yang besar."
Ketika ditanya tentang perkataan Dzun Nun N-Mishri mengenai tanda seorang arif, bahawa "Dia tadi ada di sini, tetapi sekarang telah pergi," Al-Junaid menjawab, "Satu keadaan tidak menahan seorang arif dari keadaan lainnya, dan satu tahap tidak menabirinya dari perubahan tahapan. Jadi dia berada bersama orang banyak dari setiap tempat seperti halnya mereka, dia nengalami apapun yang mereka alami, dan dia berbicara dengan bahasa mereka agar mereka dapat nemberikan manfaat dengan pembicaraannya. "
Muhammad bin Al-Fadhl menyatakan, “Makrifat adalah kehidupan hati bersama Tuhan.” Abu Sa'id Al-Kharraz ditanya, "Apakah sang arif berakhir pada keadaan di mana dia tidak pernah menangis?” Dia menjawab, “Ya. Menangis termasuk dalam masa ketika mereka melakukan perjalanan menuju Tuhan. Ketika mereka turun dari kenderaan dan berhenti di hakekat-hakekat taqarrub (kedekatan) dan mengalami rasa mencapai anugerah ini, mereka tidak lagi menangis.

RISALAH AL QUSYAIRI AB 40: PERILAKU YANG BENAR (ADAB)

مَا زَاغَ ٱلۡبَصَرُ وَمَا طَغَىٰ 
Penglihatan (Nabi Muhammad) tidak berkisar daripada menyaksikan dengan tepat (akan pemandangan yang indah di situ yang diizinkan melihatnya) dan tidak pula melampaui batas. (An-Najm: 17)
Dikatakan bahawa ayat ini bererti , “Nabi melaksanakan adab di hadrat Allah.”
يَـٰٓأَيُّہَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قُوٓاْ أَنفُسَكُمۡ وَأَهۡلِيكُمۡ نَارً۬ا وَقُودُهَا ٱلنَّاسُ وَٱلۡحِجَارَةُ عَلَيۡہَا مَلَـٰٓٮِٕكَةٌ غِلَاظٌ۬ شِدَادٌ۬ لَّا يَعۡصُونَ ٱللَّهَ مَآ أَمَرَهُمۡ وَيَفۡعَلُونَ مَا يُؤۡمَرُونَ 
Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah diri kamu dan keluarga kamu dari Neraka yang bahan-bahan bakarannya: Manusia dan batu (berhala); Neraka itu dijaga dan dikawal oleh malaikat-malaikat yang keras kasar (layanannya); mereka tidak menderhaka kepada Allah dalam segala yang diperintahkanNya kepada mereka, dan mereka pula tetap melakukan segala yang diperintahkan. (At-Tahrim: 6)
Pendapat tentang ini, Ibn Abbas mengatakan, "Didiklah dan ajarlah mereka adab.”
Diriwayatkan oleh Aisyah ra bahawa Nabi saw telah berkata, "Hak seorang anak atas bapaknya adalah si bapak hendaknya memberikan nama yang baik, memberinya susu yang suci dan banyak, serti mendidiknya dalam adab dan akhlak.”
Sa'id bin Al-Musayyib berkata, “ Barangsiapa yang tidak mengetahui hak-hak Allah SWT atas dirinya dan tidak pula mengetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, bererti tidak mempunyai cara menuju adab.
Nabi saw berkata, “ Allah telah mendidikku dalam adab dan menjadikan pendidikanku istimewa.”
Hakikat adab adalah gabungan dari semua akhlak yang baik. Jadi oang yang beradab adalah orang yang pada dirinya didapati gabungan semua akhlak yang baik, dari sini muncul istilah ma’dubah yang bererti "jamuan makan," yakni berkumpul untuk makan-makan.
Syeikh Abu AIi Ad-Daqqaq berkata, "Seorang hamba akan mencapai syurga dengan mematuhi Allah. Dia akan mencapai Allah dengan mempraktekkan adab dalam mematuhi-Nya." Beliau juga mengatakan, "Aku melihat seseorang yang mahu menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam solat, namun tangannya terhenti." Jelas bahawa yang beliau maksudkan adalah diri beliau sendiri, sebab adalah mustahil melihat [dalam solat] bahawa tangan orang lain terhenti ketika hendak digerakkan.
Syeikh Abu Ali Ad'Daqqaq tidak pernah bersandar pada apa pun jika sedang duduk. Pada suatu hari beliau sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menempatkan sebuah bantal di belakang beliau sebab saya lihat beliau tidak punya tempat sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakang beliau, beliau lalu bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira beliau tidak suka akan bantal itu kerana ia tidak bersarung - tetapi beliau lalu menjelaskan, "Aku tidak menginginkan sandaran." Setelah itu saya merenungkan keadaan beliau dan [menyedari] bahawa beliau memang tidak pernah mahu bersandar pada apa pun [selain kepadan-Nya].
Al-Jalajili Al-Bashri berpendapat, "Menegaskar tauhid menuntut keimanan. Jadi orang yang tidak punya iman tidak akan dapat menegaskan tauhid. Iman menuntut [kepatuhan kepada] syariat. Jadi orang yang tidak mematuhi syariat bererti tidak mempunyai iman, tidak pula dia menegaskan tauhid. Mematuhi syariat menuntut adab. Jadi orang yang tidak mempraktekkan adab tidak akan dapat mematuhi syariat, memilik iman, ataupun menegaskan tauhid."
Ibn'Atha' berkata, "Adab bererti engkau sibuk dengan hal-hal yang terpuji." Seseorang bertanya, “Apa yang anda maksudkan?" Dia menjawab, "Maksudku, engkau harus beradab kepada Allah baik secara lahir mahupun batin. Jika engkau berprilaku demikan, engkau akan memiliki adab, sekalipun bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab.”
Kemudian, dia membacakan syair:
Manakala dia berbicara, dia memperlihatkan kefasihan penuh.
Jika dia diam, pun tetap fasih.
Abdullah Al-Jurayri menuturkan, "Selama dua puluh tahun dalam ‘uzlah-ku belum pernah aku melunjurkan kaki satu kali pun. Melaksanakan adab terhadap Tuhan adalah jalan yang terbaik.
Syeikh Abu AIi Ad-Daqqaq menyatakan, “Orang yang bersekutu dengan raja-raja dan memperlihatkan perilaku yang tidak patut akan dijerumuskan kepada kematian oleh kebodohannya sendiri.”
Diriwayatkan ketika Ibn Sirin ditanya, "Adab yang bagaimana yang akan menjadikan orang lebih dekat dengan Allah?” Dia menjawab, "Memiliki pengetahuan langsung mengenai Ketuhanan-Nya, berbuat- kerana patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-Nya atas kesejahteraan [yang dianugerahkanNya] dan bersabar dalam menjalani penderitaan.” Yahya bin Muadz berkata, "Jika seorang Arif meninggalkan adab di hadapa sumber makrifatnya, nescaya dia akan binasa bersama mereka yang celaka''
Syeikh Abu Ali Ad-Daqqa'q menyatakan. "Meninggalkan adab mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku buruk di balairung akan dikirim kembali ke pintu gerbang. Orang yang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim untuk menjaga binatang.”
Seseorang berkata kepada Hassan Al-Basri' "Begitu banyak yang telah dikatakan tentang berbagai ilmu berhubung dengan adab. Yang mana di antaranya yang paling bermanfaat di dunia dan paling berkesan untuk [memperoleh pahala yang baik] di akhirat?" Dia menjawab, "Mempelajari agama, berlaku sederhana dalam kehidupan dunia, dan mengetahui apa kewajipan-kewajipanmu terhadap Allah SWT."
Yahya bin Muadz berkata, "Orang yang mengetahui dengan baik adab terhadap Allah SWT akan menjadi salah seorang yang dicintai Allah." Sahl mengatakan, "Para Sufi adalah mereka yang meminta pertolongan Allah dalam [melaksanakan] perintah-perintah-Nya dan yang sentiasa memelihara adab terhadap-Nya."
Ibn Al-Mubarak berkata. "Kita lebih memerlukan sedikit adab daripada sejumlah besar pengetahuan.” Dia juga mengatakan, "Kita mencari ilmu tentang adab setelah mereka yang mengajarkannya meninggal dunia." Dituturkan, "Ada tiga perkara yang akan membuat orang merasa asing di suatu tempat]: menghindari orang yang berakhlak buruk, memperlihatkan adab, dan menahan diri dari menyakiti hati orang.”
Syeikh Abu Abdullah Al-Maghribi membacakan baris-baris syair berikut ini tentang masalah adab:
Tiga hal menghiasi seorang asing manakala dia jauh dari kampung halamannya:
Pertama, menjalankan adab,
kedua berakhlak baik dan-
ketiga menjauhi orang-orang yang berakhlak buruk.
Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, Al-Junaid mengatakan kepadanya, "Engkau telah mengajar sahabat-sahabatmu untuk berperilaku seperti raja-raja!” Abu Hafs menjawab, "Memperlihatkan perilaku yang sempurna pada segi lahiriah adalah tanda adanya perilaku yang sempurna dalam batinnya." Abdullah bin Al-Mubarak berkata, "Melaksanakan adab bagi seorang arif adalah seperti halnya taubat bagi para murid.
Manshur bin Khalat menuturkan, "Seseorang mengatakan kepada seorang sufi, “Alangkah jeleknya perilakumu!” Si sufi menjawab, “Aku tidak mempunyai perilaku buruk.” Orang itu bertanya, “Siapa yang mengajarmu adab?” Si sufi menjawab, “Para sufi."
Abu An-Nasr As-Sarraj mengatakan, "Manusia dapat dibahagi dalam tiga kategori berkenaan dengan adab: Manusia duniawi mengambil berat dengan penyempurnaan bahasa dan adab dalam menggunakannya, dengan gaya dan menghafalkan ilmu-ilmu pengetahuan, dengan nama-nama kerajaan, dan dengan syair. Manusia yang beragama memberi perhatian kepada melatih jiwa, mendidik bidang-bidang lahiriah manusia, menjaga batas-batas yang ditetapkan Allah, dan meninggalkan hawa nafsu. Kaum terpilih memberi perhatian kepada pembersihan hati, menjaga rahsia, setia kepada sumpah, berpegang pada saat kini, menghentikan perhatian kepada fikiran-fikiran yang sesat, dan menjalankan adab pada saat-saat meminta ke hadrat Allah, dan dalam tahap-tahap berdekatan [dengan-Nya].
Driwayatkan bahawa Sahl bin Abdullah mengatakan, “Orang yang menundukkan jiwanya dengan adab bererti telah menyembah Allah dengan tulus." Di katakan, "Kesempurnaan adab hanya dicapai oleh para nabi dan penegak kebenaran (shiddiqin)." Abdullah bin Al-Mubarak menegaskan, "Orang berbeza pendapat mengenai apa yang disebut.adab. Kami katakan, “Adab adalah ilmu tentang jiwa."
Asy-Syibli berkata, "Ketidakmampuan menahan diri dalam berbicara dengan Allah SWT bererti meninggalkan adab." Dzun Nun Al-Mishri berpendapat, "Perilaku seorang arif adalah lebih baik daripada perilaku siapa pun yang lain, sebab dia telah dididik dalam berperilaku oleh sumber makrifatnya."
Salah seorang sufi mengatakan, "Allah SWT berfirman, “Aku telah menjadikan adab mengikat orang yang kujadikan menyandang nama-nama dan sifat-sifat-Ku. Aku telah menjadikan kebinasaan mengikat bagi orang yang terhalang dari hakekat Dzat-Ku.” Maka pilihlah mana engkau sukai: adab atau kebinasaan.
Suatu hari Ibn'Atha' menjulurkan kakinya ketika dia sedang berada bersama sahabat-sahabatnya dan berkata, “Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang beradab adalah tindakan yang beradab” Pernyataan ini didukung oleh hadith yang menceritakan Nabi saw sedang berada bersama Abu Bakar dan Umar pada suatu hari ketika Utsman datang menjenguk betiau. Nabi menutupi paha beliau dan berkata' "Tidakkah aku harus merasa malu di hadapan orang yang di hadapannya para malaikat merasa malu?" Dengan ucapannya itu Nabi menunjukkan bahawa betapapun beliau menghargai keadaan Utsman, namun keakraban antara beliau dengan Abu Bakr dan Umar Iebih beliau hargai.
Mendekati makna riwayat ini adalah syair berikut:
Aku berbuat penuh kesantunan,
namun jika aku duduk bersama mereka yang memiliki kesetiaan dan kehormatan,
Maka kubebaskan diriku ke dalam cara wujudnya yang spontan.
Dan aku berbicara secara terbuka, tanpa malu-malu.
Al-Junaid menyatakan, "Manakala cinta seseorang telah bersemi, ketentuan-ketentuan mengenai adab disingkirkan. Tetapi Abu Utsman mengatakan, "Manakala cinta seseorang telah bersemi, berpegang pada adab merupakan tuntutan bagi si pencinta"
An-Nuri menegaskan, "Barangsiapa yang tidak menjalankan adab di saat kini akan menemui keadaan yang menjijikkan." Dzun Nun Al-Mishri berkata, "Jika seorang murid dalam jalan Sufi berpaling dari adab maka dia akan dikirim ke tempat dari mana dia datang." Syeikh Abu Ali Ad-Daqqaq memberikan penjelasan mengenai ayat,
وَأَيُّوبَ إِذۡ نَادَىٰ رَبَّهُ ۥۤ أَنِّى مَسَّنِىَ ٱلضُّرُّ وَأَنتَ أَرۡحَمُ ٱلرَّٲحِمِينَ 
Dan (sebutkanlah peristiwa) Nabi Ayub, ketika dia berdoa merayu kepada Tuhannya dengan berkata: Sesungguhnya aku ditimpa penyakit, sedang Engkaulah sahaja yang lebih mengasihani daripada segala (yang lain) yang mengasihani. (Al-Anbiya': 83)
"Ayub tidak mengatakan “Kasihanilah aku!” sebab die menjaga adab dalam berbicara kepada Tuhan." Dengan cara yang sama, 'Isa as mengatakan,
إِن تُعَذِّبۡہُمۡ فَإِنَّہُمۡ عِبَادُكَ‌ۖ وَإِن تَغۡفِرۡ لَهُمۡ فَإِنَّكَ أَنتَ ٱلۡعَزِيزُ ٱلۡحَكِيمُ 
Jika Engkau menyeksa mereka, (maka tidak ada yang menghalanginya) kerana sesungguhnya mereka adalah hamba-hambaMu dan jika Engkau mengampunkan mereka, maka sesungguhnya Engkaulah sahaja Yang Maha Kuasa, lagi Maha Bijaksana. (Al-Maidah: 118)
وَإِذۡ قَالَ ٱللَّهُ يَـٰعِيسَى ٱبۡنَ مَرۡيَمَ ءَأَنتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ ٱتَّخِذُونِى وَأُمِّىَ إِلَـٰهَيۡنِ مِن دُونِ ٱللَّهِ‌ۖ قَالَ سُبۡحَـٰنَكَ مَا يَكُونُ لِىٓ أَنۡ أَقُولَ مَا لَيۡسَ لِى بِحَقٍّ‌ۚ إِن كُنتُ قُلۡتُهُ ۥ فَقَدۡ عَلِمۡتَهُ ۥ‌ۚ تَعۡلَمُ مَا فِى نَفۡسِى وَلَآ أَعۡلَمُ مَا فِى نَفۡسِكَ‌ۚ إِنَّكَ أَنتَ عَلَّـٰمُ ٱلۡغُيُوبِ 
Dan (ingatlah) ketika Allah berfirman: Wahai Isa Ibni Mariam! Engkaukah yang berkata kepada manusia: Jadikanlah daku dan ibuku dua tuhan selain dari Allah? Nabi Isa menjawab: Maha Suci Engkau (wahai Tuhan)! Tidaklah layak bagiku mengatakan sesuatu yang aku tidak berhak (mengatakannya). Jika aku ada mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku, sedang aku tidak mengetahui apa yang ada pada diriMu; kerana sesungguhnya Engkau jualah Yang Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib. (Al-Maidah: 116)
Isa tidak mengatakan, "Aku tidak pernah mengatakan seperti itu!" kerana kecermatannya dalam menjaga adat di hadapan Tuhannya.
Al-Junaid menuturkan, “Pada suatu hari Jumaat, seorang laki-laki yang saleh datang kepadaku dan meminta, “Kirimlah salah seorang sufi kepadaku untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dengan cara makan bersamaku.” Aku pun lalu melihat ke sekitarku, dan kulihat seorang sufi yang aku harapkan. Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya, “Pergilah bersama syeikh ini dan berilah kebahagiaan kepadanya.”
Tidak lama kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata, “Wahai Abul Qasim, sufi itu hanya makan sesuap saja dan kenmudian pergi meninggalkan aku!” Aku menjawab, “Barangkali kamu mengatakan sesuatu yang menyakit hatinya.”
Dia menjawab, “Aku tidak mengatakan apa-apa.” Aku berpaling dan menemui si sufi yang sedang duduk dekat kami dan aku bertanya kepadanya, “ Mengapa engkau tidak membiarkannya bahagia [dengan menjamin dirimu] ?' Dia menjawab, “Wahai Syeikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tidak sopan di hadapan anda kerana kemiskinan saya dan terpaksa meminta makan kepada anda, tetapi ketika anda memanggil saya [untuk pergi bersama syeikh ini], saya gembira kerana anda mengetahui keperluan saya sebelum saya mengatakan apa-apa. Saya pun pergi bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan syurga baginya. Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyajikan makanan dan berkata, "Makanlah ini, kerana aku menyukainya lebih dari wang sepuluh ribu dirham." Ketika saya mendengar ucapannya itu, tahulah saya bahawa aspirasinya rendah sekali. Kerana itu, saya tidak suka makan makanannya.” Aku menjawab, “Tidakkah aku telah mengatakan kepadamu bahawa engkau bertindak tidak beradab dengan tidak membiarkannya bahagia?”
Dia berkata, “Wahai Abul Qasim, saya bertaubat!” Maka aku pun lalu menyuruhnya kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya.